Kamis, 07 April 2011

SISTEM PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN

SISTEM PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN

A. Pendahuluan
Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia dan telah berkembang dengan baik. Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang berperan sebagai lembaga sosial telah banyak memberikan warna yang khas dalam wajah masyarakat pedesaan sebagai lingkungan pesantren.
Potret Pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional dimana para siswanya tinggal bersama dan belajar ilmu-ilmu keagamaan di bawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan Kiai. Asrama untuk para siswa tersebut berada dalam komplek pesantren dimana Kiai bertempat tinggal. Disamping itu juga ada fasilitas ibadah berupa masjid. Mastuhu mendefinisikan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman prilaku sehari-hari. Keberadaan pondok pesantren ditengah-tengah masyarakat mempunyai peran dan fungsi sebagai tempat pengenalan dan pemahaman agama Islam sekaligus sebagai pusat penyebaran agama Islam.
Kebanyakan pondok pesantren didirikan sebagai bentuk reaksi terhadap pola kehidupan tertentu yang dianggap rawan, dengan demikian berdirinya pondok peantren menjadi salah satu bagian tranformasi kultural yang berjalan dalam jangka waktu yang relatif panjang. Karena hakekat pesantren sebagai titik awal tranformasi , dengan sendirinya pesantren dipaksa oleh keadaan untuk memperolah alternatif terbaik bagi kehidupan. Pesantren sebagai pilihan ideal ini sangat sesuai dengan kultur agama Islam di nusantara ini.
Walaupun pesantren diklaim sebagai lembaga pendidikan tradisional, bukan berarti pesantren tidak mengalami perubahan dan penyesuaian. Pesantren telah menjadi bagian dari sistem kehidupan sebagian besar umat Islam di indonesia, dan telah mengalami dinamika dan perubahan dari masa ke masa sesuai dengan perjalanan hidup umat. Hal ini juga dikatakan oleh Snouck Hurgronje dengan pernyataannya :
“ Islam tradisional di Jawa yang kelihatannya begitu statis dan begitu kuat terbelenggu oleh pemikiran-pemikiran ulama’ di abad pertengahan, sebenarnya juga telah mengalami perubahan-perubahan yang sangat fundamental, tetapi perubahan-perubahan tersebut demikian bertahap, rumit dan tertutup. Itulah sebabnya bagi para pengamat yang tidak kenal pola pikiran Islam, maka perubahan-perubahan tersebut tidak akan bisa dilihat, walaupun sebenarnya terjadi di depan matanya sendiri, kecuali bagi mereka yang mengamatinya secara seksama”

Perubahan-perubahan yang terjadi di dalam pesantren merupakan hasil dari dialog dengan zamannya, sehingga pesantren sebagai institusi pendidikan juga memiliki sistem sebagaimana lembaga-lembaga pendidikan yang lain.
Untuk mendapatkan gambaran tentang pendidikan di pondok pesantrem, maka makalah yang sederahana ini akan membahas tentang “Sistem Pendidikan Pondok Pesantren”.

B. Sejarah Perkembangan Pondok Pesantren di Indonesia
Sejak awal masuknya Islam ke Indonesia, adanya pendidikan Islam merupakan kebutuhan bagi kaum muslimin. Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang berperan dalam mengembangkan dan melestartarikan ajaran Islam di Indonesia. Walaupun begitu, sedikit sekali yang dapat kita ketahui tentang perkembangan pesantren di masa lalu, terutama sebelum Indonesia dijajah Belanda, karena dokumentasi sejarah sangat kurang.
Hanun Asrohah, menyimpulkan bahwa pesantren pertama kali mucul di Jawa sekitar abad ke-18 M. Dan beberapa pesantren pada masa awal pertumbuhannya memiliki status perdikan. Pada abad ke-19 M. Pesantren mengalami perkembangan pesat, yang didirikan oleh ulama’-ulama’ independen.
Pada masa penjajahan, Belanda memperkenalkan sistem dan metode pendidikan baru. Namun, pemerintahan Belanda tidak melaksanakan kebijaksanaan yang mendorong sistem pendidikan yang sudah ada di Indonesia, yaitu sistem pendidikan Islam. Bahkan pemerintahan penjajah Belanda membuat kebijaksanaan dan peraturan yang membatasi dan merugikan pendidikan Islam. Ini bisa kita lihat dari kebijaksanaan berikut.
Pada tahun 1882 pemerintah Belanda mendirikan Priesterreden (Pengadilan Agama) yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan pesantren. Tidak begitu lama setelah itu, dikeluarkan Ordonansi tahun 1905 yang berisi peraturan bahwa guru-guru agama yang akan mengajar harus mendapatkan izin dari pemerintah setempat. Peraturan yang lebih ketat lagi dibuat pada tahun 1925 yang membatasi siapa yang boleh memberikan pelajaran mengaji. Akhirnya, pada tahun 1932 peraturan dikeluarkan yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau yang memberikan pelajaran yang tidak disukai oleh pemerintah.
Peraturan-peraturan tersebut membuktikan kekurangadilan kebijaksanaan pemerintah penjajahan Belanda terhadap pendidikan Islam di Indonesia. Pendidikan pondok pesantren juga menghadapi tantangan pada masa kemerdekaan Indonesia. Setelah penyerahan kedaulatan pada tahun 1949, pemerintah Republik Indonesia mendorong pembangunan sekolah umum seluas-luasnya dan membuka secara luas jabatan-jabatan dalam administrasi modern bagi bangsa Indonesia yang terdidik dalam sekolah-sekolah umum tersebut. Dampak kebijaksanaan tersebut adalah bahwa kekuatan pesantren sebagai pusat pendidikan Islam di Indonesia menurun. Ini berarti bahwa jumlah anak-anak muda yang dahulu tertarik kepada pendidikan pesantren menurun dibandingkan dengan anak-anak muda yang ingin mengikuti pendidikan sekolah umum yang baru saja diperluas. Akibatnya, banyak sekali pesantren-pesantren kecil mati sebab santrinya kurang cukup banyak.
Jika kita melihat peraturan-peraturan tersebut baik yang dikeluarkan pemerintah Belanda maupun yang dibuat pemerintah RI, memang masuk akal apabila disimpulkan bahwa perkembangan dan pertumbuhan pendidikan Islam, terutama pendidikan pesantren, cukup pelan karena ruang gerak yang terbatas. Akan tetapi, ternyata apa yang dapat disaksikan dalam sejarah adalah pertumbuhan pendidikan pesantren yang kuat dan pesatnya luar biasa, Seperti yang dikatakan Zuhairini “ternyata jiwa Islam tetap terpelihara dengan baik di Indonesia.”
Berdasarkan laporan pemerintah kolonial Belanda, pada abad ke-19, jumlah pondok pesantren di Jawa lebih dari 1.853 buah, dengan jumlah santri lebih dari 16.500 orang.
Meskipun data-data yang dikemukakan diatas hanya untuk Jawa, data-data tersebut merupakan sampel yang menunjukkan bagaimana pondok pesantren secara kuantitatif telah mengalami perubahan dan perkembangan yang sangat pesat di Indonesia. Data-data tersebut juga menunjukkan bahwa pesantren tetap eksis (survive) ditengah berkembangnya berbagai jenis pendidikan Islam formal dalam bentuk Madrasah, IAIN dan Sekolah Tinggi Agama Islam.
Eksistensi pesantren terjadi karena pesantren mampu menyesuaiakan diri dengan kebutuhan masyarakat, dengan tanpa meninggalkan tradisi lama yang sudah mengakar di pesantren selama bertahun-tahun yang dianggap masih relevan dan baik, hal ini dapat dilihat dari sistem pendidikan pesantren.

C. Sistem Pendidikan Pondok Pesantren
Sistem pendidikan pondok pesantren dapat diartikan serangkaian komponen pendidikan dan pengajaran yang saling berkaitan yang menunjang pencapaian tujuan yang telah ditetapkan oleh pondok pesantren.
Pondok pesantren tidak mempunyai rumusan yang baku tentang sistem pendidikan yang dapat dijadikan sebagai acuan bagi semua pendidikan di pondok pesantren. Hal ini disebabkan karakteristik pondok pesantren sangat bersifat personal dan sangat tergantung pada Kiai pendiri. Pondok pesantren mempunyai tujuan keagamaan, sesuai dengan pribadi dari Kiai pendiri. Sedangkan metode mengajar dan kitab yang diajarkan kepada santri ditentukan sejauh mana kualitas ilmu pengetahuan Kiai dan dipraktekkan sehari-hari dalam kehidupan. Kebiasaan mendirikan pondok pesantren dipengaruhi oleh pengalaman pribadi Kiai semasa belajar di pondok pesantren.
Amin Rais, mengemukakan bahwa dalam mekanisme kerjanya, sistem yang ditampilkan pondok pesantren mempunyai keunikan dibandingkan dengan sistem yang diterapkan dalam pendidikan pada umumnya, yaitu:
1. Memakai sistem tradisional yang mempunyai kebebasan penuh dibandingkan dengan sekolah modern, sehingga terjadi hubungan dua arah antara santri dan Kiai.
2. Kehidupan di pesantren menampakkan semangat demokrasi karena mereka praktis bekerja sama mengatasi problema nonkurikuler mereka.
3. Para santri tidak mengidap penyakit simbolis, yaitu perolehan gelar dan ijazah, karena sebagian besar pesantren tidak mengeluarkan ijazah, sedangkan santri dengan ketulusan hatinya untuk masuk pesantren tanpa adanya ijazah tersebut.
4. Sistem pondok pesantren mengutamakan kesederhanaan, idealisme, persaudaraan, persamaan, rasa percaya diri dan keberanian diri.
5. Alumni pondok pesantren tidak ingin menduduki jabatan pemerintahan, sehingga mereka hampir tidak dapat dikuasai oleh pemerintah.
Apa yang dikemukakan oleh Amin Rais tersebut diatas tidak sepenuhnya benar, karena ada beberapa hal yang perlu dikritisi, seperti semangat demokrasi yang terjadi hanya sebatas antar sesama santri dan tidak antara santri dengan Kiai. Indikator dari hal ini dapat dilihat sebagai berikut: pengangkatan Kiai ditentukan atas faktor genetika yaitu keturunan Kiai akan menjadi Kiai pengganti leluhurnya, ironisnya terkadang tanpa memperhatikan kualitas dan kapasitas keilmuannya; sistem administrasi dan menejemen yang dikelola yayasan, mulai cara pengangkatan, penggajian dan pemberhentian guru ditentukan sepihak oleh Kiai. Independen alumni pondok pesantren mulai ada pergeseran, karena mulai banyak alumni pondok pesantren yang menduduki jabatan publik. Walaupun ada yang perlu dikritisi, tetapi apa yang dikemukakan Amin Rais menunjukkan karakteristik dari pondok pesantren yang berbeda dengan sistem pendidikan yang lain.
Walaupun ada perbedaan-perbedaan didalam mengelola pesantren, tetapi ada titik kesamaan dalam sistem pedidikan pesantren sebagai berikut:

1. Tujuan Pendidikan Pondok Pesantren
Sebagian besar Kiai tidak mencantumkan tujuan pondok pesantren secara tertulis, kecuali diungkapkan dalam bentuk kalimat-kalimat yang berhubungan dengan nilai keagamaan pada saat pengajian kepada para santri. Tujuan-tujuan yang tidak secara tertulis dalam buku atau papan statistik, dimaksudkan sebagai upaya secara diam-diam untuk menghindari sikap ria’’ (memamerkan perbuatan baik).
Tujuan sistem pengajaran pondok pesantren lebih mengutamakan niat untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat dari pada mengejar hal-hal yang bersifat material. Seseorang yang mengaji disarankan agar memantabkan niatnya dan mengikuti pengajian itu semata-mata untuk menghilangkan kebodohan pada diri manusia.
Pemerintah melalui Depag RI, membuat standarisasi pendidikan agama di pondok pesantren. Dalam lokakarya intensifikasi pengembangan pondok pesantren pada tanggal 2-6 Mei 1978 tentang tujuan pondok pesantren adalah :
” untuk membina warga negara agar berkepribadian muslim sesuai dengan ajaran-ajaran agama Islam dan menanamkan rasa keagamaan tersebut pada semua segi kehidupan sebagai orang yang berguna bagi agama, masyarakat dan bangsa”.
H.M.Arifin, merumuskan bahwa tujuan pendidikan pondok pesantren adalah sebagai berikut:
a. Tujuan Umum
Membimbing anak didik untuk menjadi manusia yang berkepribadian Islam yang sanggup dengan ilmu agamanya Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amal.

b. Tujuan husus
Mempersiapkan santri untuk menjadi manusia yang alim dalam ilmu agama imasyarakat.
Kedua rumusan tujuan pondok pesantren tersebut diatas, pada dasarnya tidak berbeda jauh, ada tiga unsur utamanya didalamnya yaitu: membina santri agar berkepribadian muslim, menghayati ajaran agama dan agar berguna bagi agama, masyarakat dan bangsa. Dengan demikian tujuan pendidikan pondok pesantren mencerminkan keinginan luhur para ulama’ yaitu meningkatkan kualitas muslim dengan jalan tafaqquh fi al-din (menguasai ilmu agama) dan sekaligus menjadi manusia yang berkepribadian utuh (kaffah).
2. Kurikulum Pendidikan Pondok Pesantren
Pendidikan pondok pesantren tidak bisa disamakan dengan lembaga pendidikan formal seperti sekolah pada umumnya. Kurikulum pondok pesantren lebih banyak ditentukan oleh otoritas seorang Kiai yang memangkunya, sehingga sering ditemukan kesamaan kurikulum atau kitab-kitab yang dijadikan standar dalam pengajarannya, bahkan disebagian pondok pesantren ada yang tidak ditemukan kurikulumnya, walaupun praktek pengajarannya, bimbingan rohani dan latihan kecakapan dalam kehidupan sehari-hari merupakan kesatuan dalam proses pendidikannya. Adanya perbedaan kurikulum dikalangan pondok pesantren menunjukkan bahwa perhatian kalangan pondok pesantren terhadap kurikulum masih kurang.
Kurikulum pondok pesantren, tidak seperti yang difahami dalam kurikulum pada lembaga pendidikan formal, yang mencakup seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, kompetensi dasar, materi standar, dan hasil belajar serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai kompetensi dasar dan tujuan pendidikan. Tetapi kurikulum pondok pesantren merupakan urutan kitab yang dipelajari oleh santri, dimana kurikulum pesantren tidak distandarisasi secara kolektif. Terkadang suatu kitab yang diajarkan untuk tingkat ibtidaiyh (dasar) di suatu pesantren, sedangkan pesantren lain mengajarkannya di tingkat thanawiyah (menengah). Namun demikian diantara pesantren mempunyai banyak kesamaan, antara lain dalam hal pengajaran ilmu-ilmu tertentu, seperti bidang akidah, fiqh, usul al-fiqih, tafsir/ ilmu al-tasir, hadith/ilmu al-Hadith, akhlaq, tasawwuf, tajwid, mantiq, nahwu, sharf dan balaghah. Kepada santri pemula, biasanya diajarkan pesantren mengenalkan pelajaran aqidah dan fiqih yang paling sederhana, seperti rukun iman, rukun Islam dan cara bersuci. Untuk menentukan urutan kitab yang pengajarannya didahulukan, pesantren mendasarkan pada kitab yang pembahasannya sederhana, seperti Safinah al-Najah dan Sullam al-Taufiq bagi santri pemula. Setelah itu baru dilanjutkan pada kitab yang pembahasannya lebih luas dan terurai.
Depag RI, sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap pembinaan dan pengembangan pendidikan Islam, berupaya untuk menyusun standarisasi kurikulum pendidikan pesantren yang dikembangkan menjadi lima jenjang pendidikan. Secara global kitab-kitab yang ditentukan hampir sama dengan kitab-kitab yang beredar di pondok pesantren. Namun sebagai lembaga pendidikan yang independen, pondok pesantren tetap memakai kurikulum sesuai dengan keinginan Kiai pengasuhnya.

3. Metode Pengajaran
Pondok pesantren pada bentuk aslinya menggunakan sistem pendidikan non klasikal, dimana dalam penyampaian pelajaran menggunakan dua sistem pengajaran, yaitu sistem sorogan, yang sering disebut sistem individual, dan sistem bandongan atau wetonan yang sering disebut kolektif. Dengan cara sistem sorogan tersebut, setiap murid mendapat kesempatan untuk belajar secara langsung dari Kiai atau pembantu Kiai. Sistem ini biasanya diberikan dalam pengajian kepada murid-murid yang telah menguasai pembacaan al-QurĂ¡n dan kenyataan merupakan bagian yang paling sulit sebab sistem ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi dari murid. Murid seharusnya sudah paham tingkat sorogan ini sebelum dapat mengikuti pendidikan selanjutnya di pesantren .
Metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren ialah sistem bandongan atau wetonan. Dalam sistem ini, sekelompok murid mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan, dan menerangkan buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Kelompok kelas dari sistem bandongan ini disebut halaqah yang artinya sekelompok siswa yang belajar dibawah bimbingan seorang guru.
Pada perkembangan selanjutnya sebagian pondok pesantren menyesuaikan diri dengan perkembangan lembaga pendidikan formal yang ada disekitarnya, yang menggunakan sistem klasikal, muncullah “Madrasah Diniyyah” yaitu madrasah yang hanya menyajikan materi pelajaran agama dengan sistem klasikal.
Dengan demikian pondok pesantren pada saat ini sudah banyak menggunakan metode pengajaran sebagaimana sistem klasikal dengan tidak meninggalkan sistem lama yaitu sorogan dan wetonan.

3. Organisasi dan Manajemen Pondok Pesntren
Pada masa awal pondok pesantren organisasi dan manajemen pondok pesantren sangat sederhana, dimana kehidupan dalam pesantren hampir seluruhnya diatur oleh para santri sendiri. Kiai tidak tidak terlibat langsung dalam kehidupan para santri. Dia hanya mengajar membaca kitab, menjadi imam dan khatib salat jum’at, menghibur kalau ada sakit yang datang kepadanya sambil mencoba menasehati dan mengobati dengan do’a-do’a. peraturan sehari-hari di pesantren seluruhnya diurus para santri dan keterlibatan Kiai terbatas pada pengawasan yang diam. Sesudah mendapat persetujuan Kiai, para santri memilih seorang “Lurah Pondok” yang akan bertanggung jawab pada kehidupan bersama para santri. Bersama Kiai, lurah pondok menyusun peraturan untuk persoalan-persoalan praktis,yang pelaksanaannya diserahkan kepada lurah pondok.
Pada perkembangan selanjutnya, pondok pesantren menggunakan prinsip-prinsip organisasi dan manajemen sebagaimana yang dipakai dalam lembaga pendidikan formal, walaupun dalam tingkat yang berbeda. Karena itulah Depag RI, menyusun buku panduan Administrasi Pesantren, untuk membantu pesantren dalam mengelola organisasi pesantren.

D. Kesimpulan
a. Pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman prilaku sehari-hari. Keberadaan pondok pesantren ditengah-tengah masyarakat mempunyai peran dan fungsi sebagai tempat pengenalan dan pemahaman agama Islam sekaligus sebagai pusat penyebaran agama Islam.
b. Eksistensi pesantren terjadi karena pesantren mampu menyesuaiakan diri dengan kebutuhan masyarakat, dengan tanpa meninggalkan tradisi lama yang sudah mengakar di pesantren selama bertahun-tahun yang dianggap masih relevan dan baik.
c. Pondok pesantren tidak mempunyai rumusan yang baku tentang sistem pendidikan yang dapat dijadikan sebagai acuan bagi semua pendidikan di pondok pesantren. Hal ini disebabkan karakteristik pondok pesantren sangat bersifat personal dan sangat tergantung pada Kiai pendiri.
d. Tujuan pendidikan pondok pesantren mencerminkan keinginan luhur para ulama’ yaitu meningkatkan kualitas muslim dengan jalan tafaqquh fi al-din (menguasai ilmu agama) dan sekaligus menjadi manusia yang berkepribadian utuh
e. Kurikulum pondok pesantren merupakan urutan kitab yang dipelajari oleh santri, dimana kurikulum pesantren tidak distandarisasi secara kolektif.
f. Pondok pesantren pada bentuk aslinya menggunakan sistem pendidikan non klasikal, dimana dalam penyampaian pelajaran menggunakan dua sistem pengajaran, yaitu sistem sorogan, yang sering disebut sistem individual, dan sistem bandongan atau wetonan yang sering disebut kolektif.


EmoticonEmoticon