Kamis, 07 April 2011

Implementasi al-Qur’an Surat Luqman ayat 13 – 19 dalam Sistem Pendidikan Nasional

Implementasi al-Qur’an Surat Luqman ayat 13 – 19 dalam Sistem Pendidikan Nasional
BAB I
PENDAHULUAN
1. A. Latar Belakang Masalah
Kurangnya jam pelajaran Agama Islam di semua tingkat pendidikan –mulai dari tingkat sekolah dasar (SD), sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) , hingga sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA)—adalah masalah yang sering dikemukakan para pemerhati remaja dan pelajar, khususnya para pengamat pendidikan di Indonesia. Masalah minimnya jam pelajaran Agama Islam ini dianggap sebagai penyebab utama para peserta didik itu terlibat di dalam berbagai macam perilaku negative. Mereka mudah sekali dipengaruhi oleh budaya dan peradaban barat yang modern atau teknologi komunikasi global yang sekuler sebagaimana corak kehidupan barat yang hedonis, kapitalis, konsumtif, dan permisif yang menyerbu Indonesia. Akan tetapi, tentu saja patut kita sesalkan dan kita khawatirkan karena semua itu amat sangat bertolak belakang dengan kebudayaan dan peradaban serta pandangan dan ajaran Islam.
Karena kurangnya jam pelajaran Agama Islam di semua tingkat sekolah (SD, SLTP, dan SLTA) itu maka para peserta didik pun menjadi serba minim di dalam mengenal dan memahami, menjiwai dan menghayati, serta menaati dan mengamalkan seluruh ajaran Islam itu, baik di rumah, di sekolah maupun terutama di lingkungan masyarakat.
Akibat minimnya pemahaman, penjiwaan, penghayatan dan pengamalan para peserta didik mengenai ajaran-ajaran Islam itu, maka mereka –yang adalah generasi muda penerus bangsa—itu pun terjebak ke dalam lingkaran berbagai kebejadan akhlak (dekadensi moral) karena mereka tidak memiliki pegangan hidup atau pedoman kehidupan yang sudah gamblang dan nyata tertuang di dalam al-Qur’an dan as- Sunnah.
Allah SWT berfirman yang artinya:
“Katakanlah (hai Muhammad): ‘Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar; agama Ibrahim yang lurus, dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik”. (Q.S. Al An’am, 6: 161).
Kekurangan jam untuk pelajaran agama Islam bagi para peserta didik yang sudah terjadi bertahun-tahun itu bersamaan dengan semakin gencarnya tontonan serta hiburan yang menggiurkan di dalam setiap tayangan televisi. Sehingga melenakan, memabukkan, atau bahkan melalaikan para generasi muda kita, mulai dari anak usia SD sampai mahasiswa, terhadap kewajiban dan larangan Allah SWT dan Rasulullah SAW.
Padahal jika kita mengkaji tayangan televisi itu maka sebagian besar justru melecehkan norma-norma agama Islam yang menjadi risalah para Nabi, termasuk Rasulullah SAW. Dengan demikian, maka para pemilik stasion televisi swasta, produser, dan sutradara program acara televisi itu mengabaikan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Allah berfirman yang artinya:
“Barang siapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka”. (Q.S. An Nisaa 4:80).
Para peserta didik, murid dan siswa kita, sebagai generasi muda, banyak yang lebih mengidolakan para artis-selebritis sebagai pujaan mereka. Banyak di antara mereka yang meniru potongan rambut, tata rias dan tata busana serta mengikuti gaya hidupnya. Mereka lebih hafal lagu-lagu pop dan Nampak sangat mudah menghafal jargon-jargon yang diucapkan para artis selebritis. Akan tetapi mereka telah melupakan sosok Rasulullah SAW yang sidiq, amanah, dan fatonah itu. Sesungguhnya segala macam contoh dan suri tauladan bagi manusia dan kehidupannya, seluruhnya bermuara pada sosok Rasulullah SAW yang wajib kita tiru, wajib kita hafal dan yang wajib kita idolakan, sepanjang hidup.
Allah memperingatkan dalam firman-Nya yang artinya:
“Dan tidaklah patut bagi orang mukmin laki-laki atau perempuan, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara, ada pilihan lain bagi mereka dalam urusannya itu. Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sungguh ia telah sesat, kesesatan yang nyata”. (Q.S. Al Ahzab, 33 :36).
Dalam firman-Nya Allah menekankan ketaatan kita karena keimanan kita kepada Allah dan Rasulullah, serta para ulil amri. Seruan Allah ini tidak berlaku bagi mereka yang tidak beriman. Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia (masalah itu) kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (Q.S. An Nisa’, 4: 59).
Ditegaskan pula bahwa Rasulullah mewariskan dua pedoman hidup yang kekal melalui salah satu sabdanya:
“Kutinggalkan kepada kalian dua perkara. Kalian tidak akan sesat setelah (berpegang teguh) kepada keduanya, yakni Kitabullah dan Sunnahku. Dan keduanya tidak akan bercerai sehingga datang kepadaku sebuah telaga air.” (H.R. Al Hakim dari Abu Hurairah).
Hadits Riwayat Muslim memaparkan prinsip-prinsip dasar ajaran agama bagi Ummat Rasulullah mengenai Islam, Iman, Ihsan, dan tanda-tanda Kiamat:
Dari Umar bin Khattab r.a., ia berkata: Pada suatu hari, di tengah-tengah kami bersama Rasulullah SAW., tiba-tiba muncul di hadapan kami seorang laki-laki berbaju putih bersih dan berambut hitam legam. Tidak terlihat padanya bekas perjalanan jauh, dan tidak seorang pun di antara kami yang mengenalnya. Lalu orang tersebut duduk di hadapan Nabi SAW., dan menempelkan kedua lututnya pada kedua lutut beliau, dan meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua paha beliau, serta bertanya: “Wahai Muhammad, beritahukanlah padaku apakah Islam itu?” Rasulullah SAW. Bersabda: “Islam adalah engkau bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah, engkau menegakkan shalat, engkau membayar zakat, engkau berpuasa Ramadhan, dan engkau berhaji ke Baitullah jika mampu melakukan perjalanan ke sana.” Orang tersebut berkata: “Engkau benar, Muhammad.” Umar berkata: Kami pun terheran-heran, karena ia bertanya kepada beliau (menunjukkan ketidak tahuan) dan membenarkan beliau (menunjukkan dirinya telah mengetahui). Kemudian orang tersebut bertanya: “Beritahukanlah kepadaku, apakah iman itu?” Rasulullah SAW bersabda: “Engkau percaya kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, utusan-utusann-Nya, dan hari akhir, serta engkau percaya kepada takdir Allah, yang baik maupun yang buruk.” Orang tersebut berkata: “Engkau benar, Muhammad.” Kemudian ia bertanya: “Beritahukanlah kepadaku, apakah ikhsan itu.” Rasululah SAW. Bersabda: “Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Kemudian jika engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Allah melihatmu.” Kemudian orang tersebut bertanya: “Beritahukanlah kepadaku, kapan terjadinya hari kiamat?” Rasulullah SAW. bersabda: “Orang yang ditanya tentang masalah itu tidak lebih mengetahui daripada orang yang bertanya.” Kemudian orang tersebut bertanya: “Beritahukanlah kepadaku, apakah tanda-tandanya?” Rasulullah SAW bersabda: “Yaitu ketika hamba perempuan telah melahirkan tuannya, dan engkau menyaksikan orang-orang yang tak beralas kaki, bertubuh telanjang, miskin dan menggembalakan kambing, saling berlomba-lomba membangun gedung.” Umar berkata: Setelah itu orang tersebut pergi, dan aku pun diam termangu beberapa saat. Kemudian Rasulullah bertanya kepadaku: “WahaiUmar, apakah engkau mengetahui siapakah orang yang bertanya tadi?” Aku menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Rasulullah SAW. Bersabda: “Sesungguhnya ia adalah Jibril yang datang untuk mengajarkan agama kepada kalian.” (H.R. Muslim).
Karena kurangnya jam pelajaran untuk pendidikan agama Islam di semua sekolah –kecuali tentu saja Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA)— maka berbagai peristiwa yang mengarah kepada “tanda-tanda kiamat” itu kian hari kian bertambah banyak jumlahnya. Apabila kita amati berita-berita di media massa, anak yang durhaka kepada orang tuanya, sudah bukan lagi seperti hanya dalam dongeng “Malin Kundang” atau “Sangkuriang-Dayang Sumbi” saja, melainkan sudah merupakan kejadian nyata. Ada anak membunuh ayah atau ibu kandungnya, atau neneknya hanya karena permintaan si anak tidak dipenuhi. Untuk menambah uang jajan, ada sejumlah anak menipu kedua orang tuanya, atau mencuri barang berharga milik mereka, serta tindakan kriminal yang merisaukan masyarakat.
Sopan-santun pun sudah sangat jarang diperlihatkan para peserta didik kepada orang tua dan gurunya. Pelanggaran demi pelanggaran terhadap peraturan guru atau sekolah sering kita temukan di kalangan mereka. Demikian juga keramahan terhadap teman sekolah telah menjadi sikap yang sangat langka kita temukan dari mereka. Kata-kata yang keluar dari mulut mereka dan tulisan kotor di buku, meja dan dinding sekolah mereka sudah biasa.
Para peserta didik kita merasa gengsi jika pergi sekolah naik sepeda atau naik angkutan umum, sebaliknya mereka menjadi sombong dan takabur karena bisa bersekolah sendiri dengan kendaraan bermotor. Di antara teman-temannya, mereka membanggakan kendaraannya masing-masing. Tidak sulit bagi kita untuk mencari penyebab menjamurnya sikap sombong dan takabur mereka, yakni karena “Pendidikan Budi Pekerti” telah dihapus dari kurikulum sekolah. Padahal, selain pelajaran agama Islam, pendidikan budi pekerti pun memiliki pengaruh yang kuat di dalam membentuk watak (character building) para peserta didik.
Demikian juga dengan kasus pornografi dan pornoaksi di kalangan para peserta didik mulai dari level SLTP, SLTA hingga para mahasiswa sebagai agent of intellectuality (pendukung ilmu-pengetahuan): Dalam kesehariannya, ternyata mereka sudah tidak lagi merasa berdosa jika pakaian yang mereka kenakan itu justru memamerkan aurat. Lebih dari itu kita saksikan pula dari berita media massa, bahwa para pelajar kita sudah banyak yang terlibat ke dalam pergaulan bebas dengan lawan jenis tanpa ikatan nikah.
Kasus lemahnya kadar Iman, Islam, dan Ikhsan dari para pelajar itu juga berakibat pada meningkatnya gejala “kenakalan remaja” yang menjurus pada tindak melanggar agama, susila, budi pekerti atau tindak kriminal, yang sering diistilahkan dengan sebutan crossboys atau remaja yang menyimpang. Generasi muda kita menjadi mudah terjerumus ke dalam lembah maksiat, pecandu minuman keras (miras), narkotik, obat terlarang dan zat adiktif (narkoba), atau perzinahan yang sudah menjadi gaya hidup remaja di seantero Nusantara ini.
Gaya hidup bebas, yaitu melanggar aturan agama dan budi pekerti, pergaulan bebas lelaki dan perempuan yang bukan muhrimnya, menjadi pemabuk miras dan narkoba, telah menjadi trendy (aliran atau anutan) di kalangan remaja.
Allah berfirman yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar (arak), berjudi, (berkurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S. Al-Maidah, 5: 90).
Sedangkan mengenai perbuatan zina, Allah SWT berfirman yang artinya:
“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (Q.S. Al-Isra’,17: 32).
Di dalam hadits yang diriwayatakan oleh Ubaidah ibnu Shamit ra., Rasulullah SAW memperingatkan pentingnya menggunakan paying hokum yang tepat di dalam rangka menyelamatkan ummat manusia umumnya dan ummat Islam khususnya dari berbagai penyimpangan:
“Ambillah (hukum) dariku. Ambillah (hukum) dariku. Allah telah membuat jalan untuk mereka (para pezina). Jejaka berzina dengan gadis hukumannya seratus kali cambukan dan diasingkan setahun. Duda berzina dengan janda, hukumannya seratus cambukan dan dirajam.” (H.R. Muslim).
Pelanggaran agama yang menggejala di kalangan generasi muda kita, di antaranya adalah sikap acuh tak acuh atau berleha-leha di dalam mengerjakan amal ibadah, khususnya shalat lima waktu.
Gejala tersebut bisa lebih jelas dibuktikan pada setiap menjelang shalat Jum’at. Banyak generasi muda yang berlaku santai di pekarangan mesjid pada saat adzan sudah berkumandang. Mereka masih mengobrol, merokok, bersenda-gurau dan tertawa-tawa justru saat khotib sedang berkhotbah di depan mihrab. Bahkan ada di antara mereka yang baru shalat saat menjelang rakaat kedua.
Allah berfirman yang artinya:
“Demi massa, Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat-menasehati supaya menaati kebenaran dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran”. (Q.S. Al ‘Ashr, 103: 1—3).
Bagaimana pun gencarnya tontonan dan hiburan yang membanjiri rumah kita, akan tetapi sikap para peserta didik yang berleha-leha dalam mengerjakan amal ibadah pokok, yaitu shalat, sesungguhnya berpulang kepada ketegasan para pendidik di sekolah dan para orang tua di rumah yang kurang begitu lugas dalam memperdulikan atau memperhatikan kegiatan yang menunjang sikap saleh di dalam beramal ibadah kepada Allah SWT.
Allah SWT. Menegaskan yang artinya:
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kami-lah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (Q.S. Thaahaa, 20: 132).
Selain sebagai ibadah pokok yang pertama dihisab, shalat juga ditegaskan sebagai tonggak atau tiang berdirinya menara cahaya agama Islam. Shalat adalah media atau alat bagi ummat manusia di dalam mencegah perilaku menyimpang.
Allah SWT berfirman yang artinya:
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengethui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al ‘Ankabuut, 29: 45).
Sikap santai di dalam menjalankan ibadah shalat juga mendapat kecaman Rasulullah SAW. Sebab melakukan ibadah sholat yang paling baik adalah tepat pada waktunya.
Rasulullah bersabda:
“Amal yang paling utama (afdhal) adalah mengerjakan shalat pada (awal) waktunya, dan berbuat baik kepada orang tua.” (H.R. Muslim).
Dengan hanya mengamati gejala itu saja kita bisa menduga betapa minimnya pengenalan, pemahaman dan penjiwaan mereka terhadap shalat, sebagai ibadah yang pertama kali dihisab. Oleh karena mereka malas di dalam melaksanakan shalat, maka kita juga kemudian, bisa memperkirakan betapa minimnya semangat mereka di dalam menegakkan aqidah-akhlak dan syariat Islam. Kita pantas khawatir akan lenyapnya generasi pejuang syariat.
Karena lemahnya aqidah-akhlak dan syariat Islam pada para peserta didik, ditambah minimnya pendidikan agama Islam, serta hilangnya pendidikan budi pekerti di sekolah, karena itu pelanggaran agama dan susila pun terjadi merata di mana-mana. Anak-anak kita menjadi mahluk yang tidak berilmu, tidak berpendidikan, tidak memiliki tatakrama kepada orang tua atau kepada orang yang lebih tua, bersikap kurang ajar, pembangkang, keras kepala dan sombong.
Allah memperingatkan di dalam firman-Nya yang artinya:
“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.” (Q.S. Al Israa, 17: 37).
Anak-anak kita sudah tidak lagi memiliki rasa takut kepada hukum agama dan laknat Allah. Tidak lagi memiliki rasa hormat kepada kedua orang tuanya, krisis sopan santun kepada bapak-ibu guru, hilang rasa bersahabat terhadap sesamanya, atau lenyap rasa kasih sayang kepada saudara-saudaranya.
Persahabatan atau persaudaraan diperketat hanya berdasarkan pada kekayaan materi duniawi. Harta, harkat, derajat dan pangkat sudah merupakan syarat umum bagi terpeliharanya pergaulan. Dengan demikian gejala sekularisme (hubudunya), yaitu mentalitas menomor- satukan kekayaan daripada ketakwaan dan ketawakalan, termasuk ke dalam gejala syirik. Allah berfirman yang artinya:
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.” (Q.S. An Nisa’, 4: 36)
Mengenai sopan-santun atau tatakrama, hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah memaparkan sabda Rasulullah:
“Hendaklah salam itu diucapkan oleh yang muda kepada yang tua, yang berjalan kepada yang duduk, dan yang sedikit kepada yang banyak.” (Muttafaq Alaih). Menurut hadits riwayat Muslim: “Dan yang menaiki kendaraan kepada yang berjalan kaki.”
Anak-anak kita melupakan panutan atau teladan yang sudah ada. Idola mereka dengan mudah diganti dengan para artis-selebritis. Gaya hidup entertainer (penghibur) itu ditiru mentah-mentah. Padahal sebagian besar gaya hidup artis, selebritis dan entertainer itu pada umumnya bertentangan dengan ajaran Islam. Sebagian besar dari mereka bisa dikatakan telah melupakan atau menomor duakan sosok Rasulullah SAW. Yang justru seharusnya menjadi panutan dan suri tauladan kita bersama.
Allah menyampaikan peringatan di dalam firman-Nya yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (Q.S. Al-Anfal, 8: 27).
Allah SWT di dalam al-Qur’an Surat Al-An’am ayat 82 memberi jaminan keamanan dan petunjuk dari Allah bagi orang-orang yang bersiteguh di dalam tauhid:
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur-adukan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan, dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Kurangnya jam pelajaran untuk Pendidikan Agama Islam, dan dihapusnya Pendidikan Budi Pekerti dari kurikulum pendidikan kita di Indonesia, merupakan kebijakan pemerintah masa Orde Baru. Sedangkan daya upaya di dalam mengesampingkan pendidikan Agama Islam sudah berlangsung secara turun temurun dan sistematik sejak zaman kolonial Belanda, pendudukan tentara fasis Dai Nipon Jepang, masa Orde Lama, dan Orde Baru. Kemudian di masa Reformasi ini Pendidikan Agama Islam di SD, SLTP dan SLTA masih belum berkembang secara memuaskan. Kritik dan saran agar Pendidikan Budi Pekerti diterapkan kembali – sebagai bagian dari Pendidikan Agama Islam– pun belum ditanggapi pemerintah.
Pada zaman Belanda, pemerintah kolonial sangat menyadari bahwa ajaran Islam dapat membangkitkan antipati rakyat Nusantara terhadap bangsa Belanda sebagai orang kafir. Pemerintah kolonial Belanda mengekang keberadaan pondok-pondok pesantren, baik secara halus maupun kasar.
Jika pada zaman kolonial Belanda, keberadaan pondok-pondok pesantren dipinggirkan ke pedalaman-pedalaman, pegunungan-pegunungan sebagai politik yang halus di dalam menyingkirkan pengaruh alim ulama terhadap perjuangannya melawan ketidak-adilan bangsa kafir itu terhadap kaum muslimin. Maka pemerintah kolonial Belanda banyak mendirikan sekolah-sekolah Kristen di kota-kota besar yang peninggalannya masih ada sampai sekarang.
Pada zaman Jepang, tekanan pemerintah fasisme Dai Nippon dirasakan lebih kejam, bengis dan sadis terhadap ummat Islam, terutama terhadap para ulama, daripada yang dilakukan kolonial Belanda. Banyak ulama kharismatik kita yang wafat dibantai tentara Dai Nippon karena menolak melakukan Seikeirei, yaitu ruku menyembah Kaisar Hirohito.
Penolakan tegas dilakukan para ulama, karena Seikeirei adalah perbuatan syirik, yaitu manusia menyembah manusia. Jika para ulama melakukan Seikeirei, betapa kacau-balaunya aqidah akhlaknya jika para mustami, santri, atau jamaah Islam lainnya mengikuti jejak ulama melakukan kemusyrikan. Oleh karena itu banyak ulama Islam yang syuhada di masa pendudukan tentara fasisme beragama musyrik Shinto itu.
Pada zaman Orde Lama, pemerintah Indonesia berada di bawah kekuasaan Soekarno seorang presiden penganut faham nasionalisme yang di akhir kekuasaannya justru teguh mempertahankan faham Nasionalis-Agama-Komunis (Nasakom). Suatu faham yang mengerdilkan Islam dan mengabaikan Tauhid, tetapi menjunjung tinggi kekafiran.
Beberapa alim ulama kharismatik ada yang dijebloskan ke penjara di masa jaya Soekarno karena mereka menolak konsep Nasakom. Bagi para ulama tersebut penggabungan antara agama yang ukhrawi dengan faham Nasionalis yang duniawi serta komunis yang anti tuhan, sebagai konsep pemurtadan bangsa.
Pada zaman Orde Baru, pemerintahan Soeharto selama 32 tahun lebih memusatkan perhatiannya untuk membangun Indonesia dengan memanfaatkan dan melibatkan sepenuhnya investor Jepang dan Amerika Serikat, konglomerat Tionghoa, teknokrat Eropa serta dukungan partai Golkar yang berkuasa (the ruling party) dan para menterinya (terutama Sudomo, Ali Murtopo, Beni Murdani dan Daud Yusup) yang antipati pada semangat Islam.
Pada zaman Orba itu pula kita mengalami perlakuan diskriminatif (berat sebelah) terhadap perkembangan agama Islam, baik oleh menteri pendidikan dan kebudayaan (P dan K) maupun oleh menteri koordinator politik dan keamanan (Menkopolkam). Misalnya Menteri P dan K pada tahun 1970-an itu mengeluarkan keputusan yang kontroversial (bertolak belakang) dengan keyakinan seluruh ummat Islam, yaitu larangan menggunakan jilbab bagi para siswi muslimah.
Keputusan lainnya yang kontroversial dari Menteri P dan K di tahun 1970-an itu adalah dilakukannya pembubaran lembaga-lembaga Pendidikan Guru Agama (PGA), Sekolah Guru Agama (SGA), Sekolah Pendidikan Guru (SPG) dan Perguruan Tinggi Dakwah Islamiyah (PTDI). Mau tidak mau, pesantren-pesantren pun kalau ingin tetap bertahan (dalam arti luas) harus mendukung Golkar sekaligus kepemimpinan Soeharto.
Akan tetapi justru sebaliknya keputusan itu tidak berlaku bagi sekolah-sekolah berbasis Kristen, seperti sekolah methodis atau pendidikan calon missionaries (penyebar ajaran Kristen) yang sering disebut “penginjil” serta pendidikan calon pastor katolik.
Di kota-kota besar seperti Bandung, Jakarta, Surabaya, Semarang, Medan dan Solo, sejak zaman penjajahan Belanda sampai sekarang tetap berdiri sekolah-sekolah methodis seperti Santa Angela, Santa Ursula, Santo Yusup, Salib Suci, Maranatha, Tarakanita dan Trisakti (alias Trinitas), namun demikian lembaga-lembaga penyebar agama Kristen atau penginjil itu sampai sekarang tidak pernah mengalami perlakuan diskriminatif dan pembubaran dari pihak P dan K.
Sikap berat sebelah juga dilakukan oleh Menkopolkam yang kebetulan jabatan ini selalu dipegang oleh jenderal-jenderal yang non muslim. Pada zaman Orde Baru itu muncullah istilah ekstrim kiri untuk menyebut orang-orang yang berhaluan politik komunis dan ekstrim kanan untuk kaum muslimin yang memiliki semangat membela aqidah, akhlak dan syariat Islam. Maka jelas bahwa kedua sebutan ekstrimis itu bertujuan untuk membenturkan kedua golongan itu yakni Islam (iman) lawan komunis (kafir), atau menyamaratakan keduanya, yakni Islam dan komunis itu sama bahayanya.
Sedangkan terhadap lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi non muslim, tidak ada perlakuan diskriminatif seperti terhadap kaum muslimin. Sejarah mencatat, bagaimana organ-organ militer di bawah Menkopolkam atau Kopkamtib pernah melakukan tindak kekerasan, pemenjaraan tanpa proses pengadilan, sampai menghilangkan nyawa kaum muslimin di dalam kasus Buya Hamka; AM Fatwa; Tengku Bantaqiyah (Aceh); pengajian Haur Koneng (Majalengka); atau penembakan belasan mustami di pengajian Sampang (Madura); dan di Tanjung Priok (Jakarta).
Allah berfirman yang artinya:
“Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.” (Q.S. Al-Baqarah, 2: 7).
Pada zaman Reformasi pun pemerintah Indonesia dinodai gerakan anti Islam, baik karena dendam politik dari anak-cucu PKI yang dizalimi di masa Soeharto, maupun oleh karena munculnya gerakan demokrasi yang melahirkan kembali berbagai organisasi sosial politik (orsospol) yang berhaluan nasionalis-sekuleris-atheis serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang didanai fihak asing yang anti Islam. (Sumber: dari berbagai narasumber lisan – Radio Australia dan Radio BBC; dan tulisan –majalah Sabili, Bina Dakwah dan Risalah)
Agen-agen yang paling dominan dalam gerakan penyebaran faham demokratis, nasionalis, sekuleris dan atheis itu adalah stasion-stasion televisi swasta. Apabila kita saksikan acara-acara sinetron di semua televisi swasta, maka kita bisa menyaksikan betapa sinetron-sinetron itu melecehkan dan memutar-balikan kaidah-kaidah pendidikan umumnya, khususnya pendidikan agama Islam. Mereka, yaitu produser, sutradara, dan para pemain sinetron dengan gampangnya menggambarkan –misalnya– tokoh alim ulama sebagai seseorang yang sakti. Kesaktiannya menyamai bahkan melebihi mukjizat yang diterima Rasul-rasul Allah, sehingga sinetron seperti itu lebih layak disebut penyebar aliran syirik.
Mereka itu ingin memproduksi sinetron keagamaan, namun karena mereka itu teramat sangat minim pengetahuan dan pendidikan agama Islamnya, maka sinetron itu lebih mirip cerita sihir daripada cerita Islami. Ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan dangkalnya pengetahuan dan pendidikan agama Islam mereka. Pertama, karena minimnya jam pelajaran agama Islam di sekolah; kedua, karena lingkungan sosial yang sekuler sudah terbentuk sejak Orde Lama dan Orde Baru; dan ketiga, karena mereka malas belajar dan enggan mnimba ilmu.
Karena beratnya tantangan dan kenyataan yang dihadapi dari zaman ke zaman oleh para pemerhati dan penggerak pendidikan Islam di Indonesia, maka sepatutnya kita pusatkan saja perhatian kita kepada jatah jam pelajaran yang sudah diberikan oleh pemerintah, sebagai satu-satunya kebijakan yang harus kita manfaatkan bersama secara maksimal.
Sebagai pendidik agama Islam, kita harus memiliki strategi pembelajaran agama yang memiliki pedoman, patokan dan tuntunan yang bertujuan meluruskan gaya dan pandangan hidup para peserta didik kita yang telah jauh menyimpang dan bertentangan dengan aqidah, akhlak dan syariat Islam.
Untuk itu pula sebabnya penyusun memilih judul skripsi ini:
“Implementasi Al Qur’an Surat Luqman ayat 13 – 19
dalam
Sistem Pendidikan Nasional”
1. A. Rumusan Masalah
Bertolak dari uraian latar belakang masalah di atas, maka penulis Insya Allah akan merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apakah isi atau kandungan Al Qur’an Surat Luqman, ayat 13 – 19 itu?
2. Bagaimana mengimplementasikan Q.S. Luqman ayat 13 -19 di dalam sistem pendidikan nasional?
1. B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui kandungan al-Qur’an Surat Luqman ayat 13 – 19, dan
2. Mengetahui cara menerapkan al-Qur’an Surat Luqman ayat 13 sampai dengan 19 di dalam sistem pendidikan nasional.
1. C. Manfaat Penelitian
2. Sebagai salah satu cara menerapkan al-Qur’an Surat Luqman ayat 13 -19 dalam sistem pendidikan nasional,
3. Sebagai ijtihad para pendidik agama Islam di dalam memperbaiki citra peserta didik dan tabiat generasi muda menjadi insan akhlaqul karimah.
4. Sebagai siasat (strategi) menghadapi minimnya jam pelajaran agama Islam dan dihapusnya “Pendidikan Budi Pekerti” di sekolah-sekolah.
1. D. Pendekatan Masalah
Luqmanul Hakim atau Luqman al Hakim adalah seorang ahli hikmah yang berasal dari negeri Habasyah (Ethiopia). Nama Luqman dalam al-Qur’an disebut dua kali, yaitu pada surat Luqman ayat 12 dan 13. Sedangkan al-Qur’an Surat Luqman terdiri dari 34 ayat dan termasuk
golongan surat Makkiyah. Diwahyukankan sesudah al-Qur’an Surat as-Saffat. Dinamakan surat Luqman karena pada intinya ayat itu memuat nasihat atau pengajaran dari Luqman kepada anaknya. Nasihat itu tertuang pada al-Qur’an Surat Luqman ayat 13 sampai dengan 19.
Menurut ilmu tata bahasa Arab, nama Luqman itu sama bandingannya dengan kata Usman, Umran atau Imran. Nama lengkap Luqmanul Hakim adalah Luqman bin Baura, anak saudara perempuan Nabi Ayyub AS (sedangkan di dalam riwayat lain: Luqman adalah anak bibi Nabi Ayyub AS), keturunan Azzar (ayah Nabi Ibrahim AS) dari Bani Israil.
Luqman al Hakim diperkirakan hidup satu zaman dengan Nabi Ayyub AS. Luqman dianugerahi umur panjang –bahkan menurut hikayat sampai 1000 tahun— sehingga sempat menjumpai Nabi Daud AS. Riwayat lain mengatakan Luqman adalah seorang hakim di kalangan Bani Israil.
Menurut ahli tafsir Ikrimah dan asy-Sya’abi, Luqman termasuk seorang nabi yang diutus Allah SWT. Akan tetapi penafsiran tersebut dibantah oleh Ibnu Abbas RA, yaitu sahabat Rasulullah SAW yang wafat pada tahun 68 H. Ibnu Abbas RA menegaskan Luqman bukan nabi ataupun raja, melainkan penggembala kulit hitam yang dianugerahi Allah SWT ilmu hikmah, kemudian namanya diabadikan di dalam al-Qur’an. Pendapat Ibnu Abbas RA ini didukung jumhur ulama yang sepakat bahwa Luqman bukan nabi bukan pula raja, melainkan seorang ahli hikmah.
Karena di dalam al-Qur’an Luqman dinyatakan sebagai orang yang diberi hikmah oleh Allah SWT, ia pun diberi gelar Luqmanul Hakim, artinya Luqman yang dianugerahi Hikmah. Hikmah artinya ilmu tentang hakikat dan kemampuan manusia untuk melaksanakan amal yang terpuji.
Tentang hikmah yang dianugerahkan kepada Luqman, at-Tabari, yaitu seorang ahli tafsir yang wafat pada tahun 310 H / 923 M. di dalam tafsirnya Jami’al-Bayan fi Tafsira al-Qur’an mengisahkan:
“Pada suatu ketika Luqman diperintahkan menyembelih kambing, lalu ia diminta mengeluarkan bagian mana yang paling baik dari tubuh kambing tersebut. Tanpa pikir panjang Luqman segera mengambil hati dan lidah kambing itu. Kemudian dalam kesempatan berikutnyaLuqman diminta lagi untuk memotong kambing. Setelah itu, kepadanya diperintahkan menunjukkan bagian mana yang paling buruk. Dengan spontan Luqman pun mengeluarkan hati dan lidah kambing itu. Tentang kedua pilihannya itu Luqman menjelaskan bahwa dalam diri makhluk, terutama manusia, ada dua bagian yang paling menentukan, yaitu hati dan lidahnya. Kalau keduanya baik, berarti baik pula manusianya. Demikian pula sebaliknya.”
Dalam tafsir al-Kasysyaf (az-Zamakhsyari, wafat tahun 538 H / 1444 M.) dijelaskan:
Luqman adalah lelaki berkulit sangat hitam. Pada masa Rasulullah SAW banyak orang kulit hitam memeluk Islam. Bangsa Arab dari keturunan bangsawan kaya melecehkan mereka. Rasulullah SAW merasa tidak senang dengan sikap orang-orang Arab itu maka lalu Rasulullah pun bersabda:
“Jadikanlah orang kulit hitam itu sebagai pemimpin, karena kelak tiga dari orang kulit hitam akan menjadi pemimpin ahli surga. Mereka adalah Luqmanul Hakim, Mahja’ (budak Umar bin Khattab), dan Bilal bin Rabaah.” (HR. Ibnu Abbas).
Selain kulitnya yang sangat hitam itu, Luqman juga digambarkan memiliki wajah yang sangat buruk dengan dua bibir yang sangat tebal. Akan tetapi di balik keburukan wajahnya itu tersimpan hati nurani yang amat tulus ikhlas dan akhlak terpuji. Dan, dari bibirnya yang tebal itu justru selalu meluncur untaian kalimat penuh makna. Luqman pun digambarkan sebagai orang yang tidak suka banyak bicara. Ketika hal itu ditanyakan kepadanya, Luqman menjawab, bahwa diam itu hikmah. Akan tetapi i tidak semua orang bisa melakukannya.
Al-Qur’an mengungkapkan Luqman dalam dua konteks (cakupan):
Pertama, Luqman sebagai orang yang dikaruniai oleh Allah SWT berupa hikmah lalu Luqman bersyukur kepada Allah SWT atas karunia-Nya itu. Hal ini termaktub pada al-Qur’an Surat Luqman, ayat 12 berikut ini yang artinya:
“Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu: ‘Bersyukurlah kepada Allah. Dan barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji’.”
Para ulama tafsir menjelaskan, bahwa ayat ini untuk mengingatkan umat manusia tentang betapa pentingnya melakukan syukur nikmat kepada Allah SWT, sebab manusia pada umumnya sering kali lupa untuk bersyukur kepada Allah SWT jika diberi nikmat.
Padahal, di dalam konteks (cakupan) al-Qur’an Surat Luqman ayat 12 di atas dijelaskan, bahwa jika manusia bersyukur atas rahmat Allah SWT, maka manfaat daripada kesyukurannya itu akan terpulang kembali kepada dirinya sendiri. Sebaliknya jika manusia tidak bersyukur, akibatnya pun terpulang pada dirinya. Sebab, Allah SWT Maha Kaya dan Maha Terpuji serta tidak membutuhkan puji syukur manusia.
Kedua, dalam konteks (cakupan) Luqman sebagai seorang ayah yang memberikan pelajaran dan pendidikan agama Islam berupa akhlak serta budi pekerti kepada anaknya. Nama anaknya yang diberi nasehat itu An’am atau Asykam.
Para ulama menafsirkan bahwa pengajaran Luqman di atas adalah sebagai isyarat dari Allah SWT supaya setiap orang tua melaksanakan hal serupa terhadap anak mereka sebagaimana dilakukan Luqman, yaitu senantiasa memberikan pengajaran aqidah, akhlak dan budi pekerti kepada anak-anaknya
Isi nasihat Luqman kepada anak-anaknya antara lain:
1. Larangan mempersekutukan Allah SWT, karena syirik adalah dosa paling besar yang tidak akan mendapat ampunan Allah SWT.
Nasihat ini termaktub dalam al-Qur’an Surat Luqman ayat 13 yang artinya:
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah). Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kelaliman yang besar’.”
1. Perintah beramal saleh, karena setiap amal akan mendapat balasan dari Allah SWT sampai amal yang sekecil-kecilnya, seperti termaktub dalam Qur’an Surat Luqman ayat 16 yang artinya:
“(Luqman berkata): “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui’.”
1. Perintah mendirikan shalat, berbuat kebajikan dan bersabar. Nasihat ini terangkum dalam Qur’an Surat Luqman ayat 17 yang artinya:
“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).”
1. Larangan bersikap sombong, takabur dan angkuh. Dijelaskan di dalam Qur’an Surat Luqman ayat 18 artinya:
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.”
1. Perintah berperilaku hemat, cermat dan sederhana, tertuang dalam Qur’an Surat Luqman ayat 19 yang artinya:
“Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.”
Sungguh tepat kiranya jika nasihat-nasihat Luqman kepada anaknya itu kita jadikan bahan untuk diimplementasikan ke dalam sistem pendidikan serta ke dalam proses belajar mengajar di kelas, terhadap para peserta didik, sebelum mereka terjun ke masyarakat.
1. E. Langkah-langkah Penyusunan
2. Pengumpulan bahan pustaka yang berkaitan dengan judul dan isi skripsi,
3. Menganalisis sumber penulisan dengan patokan al-Qur’an dan Hadits serta menggunakan rujukan tafsir, kitab, dan buku yang berkaitan dengan judul dan cakupan skripsi ini,
4. Mengutip dan mengedit bahan pustaka tanpa mengurangi kandungan bahan pustaka itu,
5. Mengingat-ingat kembali informasi yang dibaca (majalah Bina Dakwah, Risalah, dan Sabili) atau didengar (Radio Australia dan Radio BBC) dan dari nara sumber yang berceceran atau hilang.
BAB II
SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
1. A. Pendidikan
2. 1. Pengertian Pendidikan
Pendidikan, berasal dari kata “didik” artinya ajar atau latih. Kata bendanya adalah didikan, ajaran dan latihan. Kata kerjanya adalah “mendidik” atau mengajar dan melatih. Pendidik artinya pengajar, pelatih atau guru dalam bahasa sehari-hari. Sedangkan “peserta didik” seringkali disebut siswa atau murid dalam bahasa sehari-hari. Pendidikan sepadan artinya dengan pengajaran atau pelatihan, yang mengandung arti segala bentuk kegiatan mendidik, mengajar dan melatih.
Pendidikan ialah segala macam usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak didik untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan. Pendidikan ialah pimpinan (arahan) yang diberikan dengan sengaja atau sistematis oleh orang dewasa kepada anak-anak, dalam pertumbuhan jasmani dan rohaninya agar berguna bagi diri sendiri dan bagi masyarakat.
Pendidik hanya dapat memimpin (mengarahkan) perkembangan anak dengan mempengaruhinya dari luar. Pendidik berusaha agar anak itu menjadi manusia yang lebih mulia. (Ngalim Purwanto, 1991: 3)
Sedangkan yang dimaksud dengan “orang dewasa” pada uraian di atas adalah pendidik, guru, orang tua dan mereka yang sudah berpengetahuan, berpengalaman dan bermoral serta memiliki norma, nilai susila, agama dan kebenaran.
Melalui pengertian yang lebih komprehensif, pendidikan bisa berarti sebagai proses mendewasakan anak-anak didik kita dalam pertumbuhan jasmani dan rohaninya sehingga mereka memiliki bekal pengetahuan yang memadai untuk hidup mandiri, berdikari dan bertanggung jawab sendiri di tengah masyarakat.
1. 2. Hakikat dan Tujuan Pendidikan
Di dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) Bab I pasal 1 ayat (2) disebutkan:
“Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan yang berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945”.
Pernyataan ini mengandung arti semua aspek dalam system pendidikan nasional akan mencerminkan aktivitas yang dijiwai Pancasila dan UUD 1945 dan berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia.
Tujuan pendidikan nasional adalah tujuan akhir yang akan dicapai lembaga pendidikan formal, non formal dan informal di dalam masyarakat dan negara Indonesia. (Ngalim Purwanto: 1991)
Tujuan pendidikan pada prinsipnya adalah pencerminan dari cita-cita hidup masyarakat. Oleh karena masyarakat terbentuk dari individu yang sepakat untuk hidup bersama di dalam wilayah tertentu, maka cita-citanya pun dikristalisasikan dalam sistem hidup sosial dan kulturalnya.
Tujuan pendidikan mengandung nilai ideal atau harapan sempurna dari masyarakat yang cenderung mengalami perubahan berkat pengaruh dan tuntutan hidup yang semakin berkembang. Oleh karena itu maksud dan tujuan pendidikan seringkali harus mengalami perubahan sejalan dengan dinamika masyarakat.
Dilihat dari aspek filosofis, tujuan pokok pendidikan pada akhirnya adalah meningkatkan kemampuan dasar anak didik. Tujuan pokok pendidikan itu harus dikembangkan melalui proses pendidikan sesuai kebutuhan individual dan sosial. Misalnya, hampir setiap terjadi pergantian Menteri Pendidikan, maka hal itu dibarengi dengan pergantian kurikulum. Hal itu tiada lain karena adanya dinamika dan perubahan aktivitas di dalam berbangsa dan bernegara serta terjadinya perubahan paradigma di dalam susunan kehidupan pendidikan itu sendiri. Penghapusan Sekolah Pendidikan Guru (SPG), Sekolah Guru Agama (SGA), dan Pendidikan Guru Agama (PGA) merupakan kebijakan pemerintah yang perlu kita jadikan catatan dan perhatian akan sejarah proses pendidikan di Indonesia. Keberadaan sekolah menengah umum (SMU), sekolah menengah kejuruan (SMK) dan Madrasah Ibtidaiyah, Diniyah, Tsanawiyah dan Aliyah, merupakan implementasi dari kebutuhan di atas.
Dilihat dari aspek sosio-kultural, tujuan pendidikan adalah perwujudan dari hasil proses yang dicapai secara bertahap menuju kepada sasaran akhir yang paling didambakan masyarakat yang berbudaya. Perubahan status dan fungsi IKIP menjadi UPI dan IAIN menjadi UIN merupakan dambaan masyarakat. Perubahan itu memungkinkan semua lulusan meneruskan pendidikan mereka ke jenjang yang lebih tinggi.
Kasus kekerasan dan penyiksaan Praja Senior kepada Praja Junior di dalam kampus Institut Pendidikan Dalam Negeri (IPDN) Bandung yang mengakibatkan jatuh korban belasan mahasiswanya itu seharusnya juga mendapat perhatian dan tindakan sungguh-sungguh dari pemerintah. Kasus kematian belasan mahasiswa seperti itu tentu saja tidak akan pernah terjadi di lembaga pendidikan akhlak seperti di SPG, SGA atau PGA yang secara politis dibubarkan itu.
Jika dilihat dari aspek psikologis, tujuan pendidikan itu harus juga dirumuskan sesuai perkembangan kemampuan kejiwaan anak didik yang berlangsung secara bertingkat menuju kematangannya. (Aminuddin Rasyad: 1995)
1. Sistem Pendidikan Nasional
Secara konseptual, sistem pendidikan di Indonesia telah diatur dalam kitab Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam UU RI No. 2 Tahun 1989 yang terdiri dari 20 bab dan 59 pasal ini ada beberapa aspek yang berkenaan dengan pendidikan telah diatur secara seksama. Terutama mengenai fungsi dan tujuan pendidikan, hak warga negara untuk memperoleh pendidikan, satuan, jalur dan jenis pendidikan, jenjang pendidikan, peserta didik, tenaga kependidikan, sumber daya pendidikan, kurikulum, hari belajar dan hari libur, bahasa pengantar, peran serta masyarakat, badan pertimbangan pendidikan, pengelolaan, pengawasan, ketentuan lain-lain, ketentuan pidana dan ketentuan peralihan. (Abuddin Nata: 2003)
Walaupun demikian, para lulusan pendidikan saat ini cenderung bersikap duniawiyah, yaitu manusia cerdas intelektualitasnya dan terampil fisiknya, tetapi rendah nilai mental spiritualnya, dan aqidah akhlaknya pun mengkhawatirkan.
Hal ini karena ada kesalahan filosofis yang diterapkan dunia pendidikan pada umumnya. Pendidikan saat ini amat dipengaruhi pandangan hidup Barat yang bercorak ateistik, sekularistik, materialistik, rasionalistik, empiris dan skeptis.
Akibatnya lulusan dunia pendidikan cenderung berubah orientasi hidupnya ke dalam gaya hidup kebendaan, kemewahan, keduniawian, egois dan individualistik yang gejalanya mengarah pada takabur, syirik serta mengabaikan nilai agama. Sehingga berkembang pola hidup mewah, megah, royal, serba bebas, serba boleh dan terbuka sekalipun itu melanggar aturan agama. Misalnya pamer aurat, pergaulan bebas, hidup bersama tanpa nikah atau kumpul kebo (sammen leven), free sex dan menjadi pemakai narkoba.
Pandangan filsafat sekuler Barat yang melandasi dunia pendidikan kita harus segera diganti dengan pandangan hidup yang Islami. Karena sistem dan tujuan pendidikan negara tidak dapat diambil dari luar. Falsafah pendidikan harus datang dari masyarakat kita sesuai identitas, pandangan hidup dan norma agama kita.
Bagi ummat Islam, sistem pendidikan yang dikembangkan di Indonesia selain harus sejalan dengan nilai dan norma sosial-budaya kita, juga harus sesuai dengan nilai dan norma agama Islam. Jika tidak, komponen pendidikan yang terdiri atas pendidik dan peserta didik tidak akan mencapai sasaran dan tujuan memuliakan para peserta didik kalau bergerak di dalam ruang lingkup kemaksiatan.
Kebiasaan orang yang selalu menjaga kesucian jiwa, karena berhasrat ingin mengembangkan ilmu pengetahuan dan pendidikan itu dilakukan oleh Imam Syafi’i sehingga dalam suatu kesempatan beliau pernah berkata:
“Aku mengeluh kepada guruku yang bernama Waqi karena betapa sulitnya aku menguasai pelajaran. Guruku itu menyarankan kepadaku agar aku meninggalkan perbuatan maksiat, dan mengajarkan kepadaku bahwa ilmu itu cahaya Allah, dan cahaya Allah itu tidak akan diberikan kepada orang yang berbuat maksiat.”
Dari uraian di atas sudah cukup jelas bagi kita, bahwa sepanjang komponen, elemen dan eksponen pendidikan masih dilingkari oleh kemaksiatan, maka selama itu pula maksud dan tujuan dunia pendidikan yang berhaluan kebarat-baratan dan sekuler itu tidak akan mencapai sasarannya.
Demikian juga antara pendidik dan peserta didik, jika di dalam fikiran dan perasaannya atau otak dan kalbunya terdapat noda maksiat, apalagi noda syirik, maka ilmu pengetahuan pun tidak akan sempurna penyampaiannya ke dalam dunia pendidikan kita. Sehingga yang akan menjadi korban adalah seluruh elemen pendidikan. Dan, justru itulah yang terjadi di Indonesia. Karena sistem pendidikan di negeri yang mayoritas beragama Islam ini tidak mengacu pada ajaran Islam.
Islam sebagai ajaran global dan universal (mendunia) serta mengandung pendidikan komprehensif (menyeluruh) serta keunggulan komparatif (bernilai tinggi) mampu diimplemetasikan dalam dunia pendidikan. Islam menempatkan pendidikan sebagai agenda utama dalam memperbaiki keadaan masyarakat Jahiliyah yang kacau-balau masa itu. Kepedulian Islam dalam pendidikan, bisa dimaknai dari turunnya ayat pertama yang diwahyukan Allah kepada Muhammad SAW melalui malaikat Jibril as.:
Artinya:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah, Yang Mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”(Q.S. Al Alaq, 96:1-5).
Al-Qur’an Surat Al Alaq di atas merupakan bukti bagi ummat manusia yang berfikir, bahwa membaca, menulis dan berhitung adalah merupakan kunci ilmu pengetahuan. Di dalam ayat di atas terdapat lima unsur pokok dalam pendidikan:
• Guru (Allah SWT)
• Murid (Muhammad SAW)
• Media, sarana dan prasarana (Qalam)
• Metode (Iqra), dan
• Kurikulum (ma lam ya lam: yang tidak diketahuinya)
Manusia adalah mahluk insani yang dapat menerima pelajaran dari Allah SWT mengenai segala sesuatu yang tidak diketahuinya. Dengan kata lain, Allah SWT menciptakan manusia sebagai insan yang memiliki fitrah dapat mengenal, memahami, mempelajari dan mendalami setiap gejala alam dan seluruh isinya.
Allah SWT menciptakan manusia sebagai mahluk yang paling sempurna di antara seluruh mahluk ciptaan-Nya. Kesempurnaan itu karena ummat manusia dianugerahi Allah organ tubuh yang sangat istimewa, yaitu semangat, gairah, bathin (nafs), jiwa atau nyawa (ruh atau rohani), otak (pikiran: fikr atau aql) dan nurani atau hati (perasaan atau qalb) yang kelengkapan dan kesempurnaannya tidak dimiliki mahluk Allah lainnya.
Kata nafs di dalam al-Qur’an memiliki berbagai makna, nafs bisa berarti manusia seutuhnya, kadang-kadang diartikan juga sebagai gejolak nafsu, ambisi yang mempengaruhi tingkah-laku manusia. Sedangkan qalb di dalam al-Qur’an digambarkan sebagai media pendidikan, pengajaran, kasih sayang, takut dan keimanan. Membersihkan qalbu adalah salah satu cara untuk memperoleh ilmu dan pengetahuan. Kalbu yang di dalamnya terbersit noda maksiat atau fikiran kotor dan zinah, maka ilmu yang merupakan Cahaya (Nur) Allah itu tidak akan sampai ke dalam dirinya dalam penegertian yang hakiki.
Memang kita tidak menutup mata dari berbagai penemuan bangsa Barat yang mencengangkan dunia karena berbagai keberhasilannya di dalam menguasai ilmu, pengetahuan dan teknologi canggih. Tapi, hanya sebatas itu. Iman mereka tetap kafir, musyrik dan kufur nikmat.
1. Pendidikan Agama Islam
Pendidikan Islam dapat diartikan sebagai upaya sistematis untuk membentuk masyarakat didik sesuai tuntutan Islam. Secara teoritis, pendidikan Islam sangat besar peranannya dalam membina dan membentuk masyarakat berakhlak.
Pendidikan Islam didasarkan pada nilai ajaran Islam yang tercantum di dalam al Qur’an, Hadits, ijma para ulama dan sejarah Islam. Oleh karena itu komponen pendidikan yang terdiri atas pendidik, peserta didik, sarana dan prasarana, metode dan kurikulum itu harus berdasarkan nilai dan norma Islam.
Ajaran Islam di dalam al-Qur’an dan al Hadits memiliki dasar yang kuat pada berbagai aspek kehidupan. Cita-cita Islam dalam berbagai bidang kehidupan itu harus diimplementasikan melalui jalur pendidikan, juga harus menjadi prinsip dasar dalam pendidikan Islam.
Pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran norma Islam. Pendidikan Islam adalah proses bimbingan (tuntunan, tuntutan, usulan) pendidiknya kepada perkembangan jiwa (pikiran, perasaan, kemauan dan intuisi) muridnya.
Pendidikan Islam mendidik manusia seutuhnya dalam hal akal dan hatinya; rohani dan jasmaninya; akhlak dan keterampilannya. Pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup baik dalam keadaan perang ataupun damai, menghadapi masyarakat dengan kebaikannya dan kejahatannya.
Pendidikan Islam berupaya membina jiwa dan hati nurani muridnya dengan membersihkan mereka dari penyakit hati. Seperti sombong, tinggi hati, congkak, dendam, iri dengki, hasud, fitnah, dan khianat. Kemudian mengisi qolbunya dengan akhlak yang terpuji. Seperti rendah hati, sopan, beradab, sabar, tawakal, ikhlas, jujur, kasih sayang, silaturahim, menolong dan mengingatkan.
Ajaran akhlak itu sangat penting karena sesuai dengan ajaran dan akhlak Nabi Muhammad SAW sehingga sangat dianjurkan untuk diimplementasikan ke dalam pendidikan Islam. Pembinaan akhlak mulia merupakan inti ajaran Islam sesuai al- Qur’an, yaitu akhlak yang bertumpu pada tauhid atau keimanan pada ke-Esaan Allah. Sedangkan akhlak mulia itu tidak tumbuh sendiri, melainkan dipengaruhi oleh lingkungan keluarga, khususnya kedua orang tua. Pendidikan akhlak yang mulia ini di dalam al Qur’an dicontohkan oleh Luqmanul Hakim terhadap anak-anaknya, dalam al-Qur’an. Surat Luqman ayat 13 sampai dengan 19.
Inti ajaran akhlak Luqmanul Hakim adalah:
• Larangan berbuat musyrik,
• Memuliakan kedua orang tua,
• Merasa diawasi Allah,
• Mengerjakan shalat,
• Menyuruh manusia berbuat baik,
• Mencegah manusia berbuat jahat,
• Tidak sombong,
• Sabar, dan
• Bersikap sederhana
Dengan demikian, di dalam kerangka bangunan pendidikan Islam, tauhid merupakan ajaran yang paling pokok. Pendek kata, dasar pendidikan Islam adalah tauhid. Dengan demikian, meng-Esakan Allah merupakan program utama di dalam sistem belajar-mengajar. Dengan meng-Esakan Allah, para peserta didik akan terbiasa di dalam berfikir lurus, berperasaan bersih. Fikiran dan perasaannya tidak dinodai oleh kebengkokan dan kekotoran iman.
Di dalam al-Qur’an Surat Al Ahqaaf, ayat ke 4 Allah SWT. menantang kaum musyrikin jika mereka meyakini agamanya untuk membuktikan kebenaran kitab, sesembahan peninggalan nenek-moyang mereka dan kemampuan sesembahan mereka di dalam penciptaan langit.
Firman-Nya yang artinya:
Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu sembah selain Allah; perlihatkan kepada-Ku apakah yang telah mereka ciptakan dari bumi ini atau adakah mereka berserikat (dengan Allah) dalam (penciptaan) langit? Bawalah kepada-Ku Kitab yang sebelum (Al Qur’an) ini atau peninggalan dari pengetahuan (orang-orang dahulu), jika kamu adalah orang-orang yang benar”. (Q.S. Al Ahqaaf, 46: 4)
Jelas sekali bahwa orang-orang musyrik itu adalah kaum yang paling sesat, baik di dunia maupun di akhirat. Sesembahan mereka tidak bisa memberikan pertolongan, do’a-do’a mereka pun tidak memiliki nilai berkat. Mereka tidak memiliki bekal pegangan hidup di dunia dan di akhirat.
Allah berfirman yang artinya:
Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sembahan-sembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (doa) nya sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa mereka? (Q.S. Al Ahqaaf, 46: 5)
Sedangkan mengenai memuliakan kedua orang tua, bisa kita renungkan Kalam Ilahi di bawah ini yang artinya:
Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah-payah, dan melahirkannya dengan susah-payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang shaleh yang Engkau ridai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”. (Q.S. Al Ahqaaf, 46: 15)
Anak atau peserta didik yang memiliki jiwa tauhid akan senantiasa mengingat Allah dengan mendo’akan kedua orang tuanya, karena didikan dan asuhan mereka sejak dini. Mengasihi dan menghormati kedua orang tua, termasuk juga bersikap santun terhadap guru adalah perbuatan terpuji. Anak-anak yang jiwanya dikotori noda kemusyrikan, tidak akan merasa memiliki nilai balas budi tersebut.
Abuddin Nata mengutip pendapat M. Quraish Shihab bahwa melalui tauhid dapat dirumuskan beberapa kesatuan sebagai berikut:
• Kesatuan kehidupan. Kehidupan duniawi menyatu dengan kehidupan ukhrawi.
• Kesatuan ilmu. Ilmu agama dan ilmu umum berasal dari satu sumber, yaitu Allah SWT.
• Kesatuan agama. Semua Agama Wahyu yang dibawa para Nabi bersumber dari Allah SWT. Prinsipnya menyangkut akidah, syariah dan akhlak yang tetap sama.
• Kesatuan kepribadian. Semua ummat manusia diciptakan dari tanah dan Ruh Ilahi.
• Kesatuan individu dan masyarakat. Masing-masing harus saling menunjang. (Abuddin Nata : 2003)
Mengenai kesatuan individu (perorangan) dan sosial (masyarakat) telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW sejak beliau hijrah dan tinggal di Madinah. Karena pada periode Madinah itulah Rasulullah membentuk suatu kesatuan masyarakat yang majemuk, yaitu kaum muslimin Muhajirin, kaum muslimin Anshor dan kelompok masyarakat lain yang belum memeluk Islam, namun hidup bebas dalam negara Islam yang dipimpin oleh Rasulullah SAW.
Pada periode kepemimpinannya di Madinah itu pula Nabi Muhammad SAW telah berhasil mencanangkan system pendidikan dengan membentuk ummat Islam menjadi manusia terdidik.
Dakwah dengan pendekatan pendidikan pun menjadi lebih terorganisir dan berkembang secara sitematik. Sentra dakwah dan pendidikan itu dijalankan oleh Rasulullah di mesjid-mesjid, sebelum kemudian beliau membangun tempat belajar di samping mesjid. Rasulullah SAW sendiri sebagai pengajar, kemudian beberapa sahabat membantu beliau mengajar.
Selain mesjid dan madrasah sebagai pusat pendidikan, Rasulullah di Madinah juga mengelola lembaga pendidikan Dar al-Qurra, Kuttab, dan di rumah para sahabat Anshor. Dengan demikian, secara umum, system pendidikan Rasulullah SAW tidak dibatasi oleh tempat khusus melainkan dengan system halaqah. Di mana saja, kapan saja dan siapa pun yang bertanya, Rasulullah jawab saat itu juga.
Pendidikan dan pengajaran yang diadakan oleh Rasulullah tidak hanya untuk kaum lelaki, kaum wanita pun ikut serta dalam program halaqah tersebut. Selain itu Rasulullah juga sangat memperhatikan pendidikan terhadap anak yatim. Maka system pendidikan yang diterapkan Rasulullah bisa dibagi menjadi lima bagian:
1. sistem pendidikan mesjid dan madrasah,
2. sistem pendidikan Dar al-Quraa,
3. sistem pendidikan Kuttab,
4. sistem pendidikan rumah sahabat Anshor, dan
5. sistem pendidikan halaqah.
Di antara penyebab kokohnya system pendidikan Islam pada lembaga-lembaga pendidikan di Madinah itu karena Rasulullah SAW bersama komponen masyarakat majemuk itu mampu menciptakan kehidupan bernegara yang solid maka masyarakat muslim dapat hidup damai dengan kelompok masyarakat lain.
Pelaksanaan sistem pendidikan Rasulullah SAW berjalan dengan dinamis dan demokratis. Rasulullah SAW mendidik para sahabat dengan menggunakan metode-metode yang sangat variatif dan aktif. Sistem pendidikan Rasulullah bukan hanya pendekatan normatif saja, tetapi juga komprehensif (menyeluruh) dan rasional (masuk akal) serta keteladanan. Rasulullah memberikan pengajaran penyucian jiwa (qalbu) dari noda iri, dengki, aniaya, sombong, takabur, hasud, kemudian memotivasi manusia untuk berakhlak mulia. Kemudian pengajaran mengenai etika (adab, sopan santun), kasih sayang, rasa persaudaraan yang mendalam, kemuliaan, ibadah dan ketaatan, sabar dan qanaah. (Fadlil Yani Ainusyamsi: 2005)
Rasulullah berhasil mencanangkan sistem pendidikan dengan misi dan visi Islami karena memperoleh dukungan dari berbagai kalangan. Dukungan yang paling fundamental adalah bentuk pemerintahan Islam di bawah kepemimpinan Rasulullah sendiri beserta dukungan para sahabat beliau.
Indonesia adalah negara dengan penduduk mayoritas muslim dan semua presidennya pun beragama Islam, akan tetapi tidak seorang pun yang berkenan menerapkan syariat Islam di dalam berbangsa dan bernegara. Padahal jika mereka mempertimbangkan sejarah Islam dan juga sejarah perjalanan Rasulullah, maka sesungguhnya mendirikan negara dengan syariat Islam merupakan sunnah Rasul.
Demikian juga dengan kasus penghapusan tujuh kata dari Piagam Jakarta: “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Pada Era Reformasi ini, usulan mengenai pencantuman kembali ketujuh kata yang dihapus itu tidak mendapat tanggapan dari para pemegang kekuasaan negara. Padahal mereka sadar bahwa usulan itu sangat penting di dalam menyelamatkan keterpurukan bangsa dan negara dari berbagai macam bencana, seperti krisis kepemimpinan (politik), krisis kepercayaan kemasyarakatan (sosial), bangkrutnya keuangan (ekonomi) negara, serta bencana alam yang ujung-ujungnya adalah karena bangsa Indonesia melupakan atau mengabaikan syariat Islam.
1. Belajar dan Mengajar dalam Islam
Rasulullah bersabda:
“Pelajarilah ilmu dan ajarilah manusia dan rendah dirilah kepada guru-gurumu serta berlaku lemah lembutlah terhadap murid-muridmu.” (Muntachab Al Kanz 4: 37)
Rasulullah memerintahkan para peserta didik untuk bersikap santun kepada ibu bapak guru mereka. Bukan itu saja, Rasulullah juga memerintahkan para pendidik untuk bersikap lembut pada anak didiknya.
Sabda Rasulullah:
“Engkau, wahai pendidik harus bersikap lembut pada anak. Hindarilah bersikap keras atau kasar.” (HR. Bukhari)
Dunia pendidikan di Indonesia mulai dinodai oleh tindak kekerasan oknum pendidik terhadap peserta didik, sehingga pemerintah dalam hal ini Menteri Pendidikan Nasional menyusun Undang-undang Pendidikan yang di dalamnya mengandung larangan keras pendidik melakukan tindak kekerasan kepada para peserta didik. Padahal justru himbauan itu sudah berabad-abad lamanya termaktub di dalam hadits-hadits Rasulullah.
“Ajarilah mereka dan janganlah kalian bersikap keras, karena seorang pengajar itu lebih baik dari seorang keras.” (HR. Al Harits, Ath Thiyalisi dan Al Baihaqi)
Meskipun “kekerasan” disarankan untuk dihindari, namun berkaitan dengan amal ibadah shalat, Rasulullah menyarankan melakukan pemukulan. Tetapi pemukulan itu diarahkan ke organ tubuh yang tidak membahayakan fisik dan psikis anak. Misalnya ke pantat atau ke kaki dengan pukulan yang tidak melukai tubuhnya.
Sabda Rasulullah:
“Suruhlah anak-anakmu melakukan shalat sejak usia tujuh tahun. Dan pukullah jika tidak mau shalat di usia sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka.” (HR. Abu Daud dan Hakim)
Sistem belajar-mengajar di dalam Islam telah dicontohkan Allah SWT tatkala menurunkan wahyu-Nya yang pertama kepada pemuda Muhammad di Gua Hira.
Apabila kita perhatikan ayat yang paling pertama diturunkan Allah SWT, al-Qur’an Surat Al Alaq ayat 1, maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa Allah menekankan kepada pentingnya qalam atau tulis menulis atau kepada ilmu.
Sebagaimana kita maklumi, Muhammad saat itu adalah seorang umi (buta aksara Arab). Oleh karena itu ketika Jibril as mengajarinya dan Muhammad berkata bahwa beliau seorang umi, Jibril a.s. mendikte kata “Iqra!”
Demikian juga sebaiknya para pendidik di dalam mengimplementasikan sistem belajar mengajar kepada peserta didik, sebaiknya menggunakan metode di atas. Yaitu:
• Lisan,
• Tulisan,
• Bacaan,
• Hafalan,
• Pengamalan,
• Teladan, dan seterusnya.
Allah SWT berfirman yang artinya:
“Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang Sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al Qur’an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah; Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.” (Q.S. Thaha, 20: 114)
Melalui firman-Nya, Allah SWT memberikan contoh bagaimana malaikat Jibril a.s. mendiktekan wahyu-Nya kepada Nabi Muhammad SAW. Rasulullah dilarang menirukan bacaan Jibril a.s. kalimat demi kalimat, sebelum Ruhul Qudus selesai membacakannya, agar Nabi Muhammad bisa menghafal dan memahami ayat yang diturunkan-Nya itu secara betul, benar dan tepat.
Juga pada ayat yang sama insan sekaliber Rasul pun berdo’a supaya ditambah ilmunya. Suatu tanda, manusia pada dasarnya wajib menambah lagi ilmunya.
Mengajarkan ilmu itu bemakna “Memberikan penjelasan kepada manusia dengan uraian lidah atau dengan memberikan contoh amal ibadah yang benar di hadapan manusia. Kemudian juga menyusun atau mengarang buku ilmu pengetahuan.” (T.M. Hasbi Ash Shiddieq: 1964)
Oleh karena itu mengajar atau mendidik, memberi pelajaran, menyebarluaskan ilmu pengetahuan, menurut konsep Islam adalah amal ibadah yang paling utama.
Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Aku dibangkitkan untuk menjadi pengajar.”
Seandainya Allah tidak mengangkat Rasul untuk menjadi guru umat manusia, kemungkinan besar umat Islam di dunia tetap hidup di alam kebodohan atau alam jahiliyah sepanjang masa. Walaupun akal dan fikiran mereka telah menghasilkan berbagai ilmu, pengetahuan dan teknologi, tapi prestasi itu ternyata tanpa hikmah di dalamnya.
1. Hakikat Ilmu dan Pengetahuan dalam Islam
Bagaimana pun di dalam Islam ilmu dan pengetahuan selalu berpijak kepada satu kesatuan keyakinan tauhid, sehingga ilmu dan pengetahuan di dalam Islam pada hakikatnya adalah bersumber dari Allah Yang Maha Esa.
Artinya:
Dan mereka (orang-orang musyrik) menjadikan jin itu sekutu bagi Allah, padahal Allah-lah yang menciptakan jin-jin itu, dan mereka membohong (dengan mengatakan): “Bahwasanya Allah mempunyai anak laki-laki dan perempuan”, tanpa (berdasar) ilmu pengetahuan. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari sifat-sifat yang mereka berikan. (Q.S. Al An’aam, 6: 100)
Di antara ilmu itu ada yang hukumnya fardlu kifayah untuk digali. Misalnya hukum qadli, ilmu tafsir, ilmu hadits, ushul fiqh dan sebagainya. Dan di antaranya ada cara yang sebaiknya kita pelajari dalam menimba itu, yakni mendalami ilmu pengetahuan secara tertib, satu per satu masalah, serta mempelajarinya dari awal sampai ke akar-akarnya.
Allah SWT berfirman yang artinya:
“Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”. (Q.S. Az-Zumar: 9)
Agama Islam yang suci sangat mengutamakan dan menyemangati kaum muslimin untuk belajar. Islam sangat tegas menekankan para pemeluknya, baik lelaki maupun perempuan, untuk menuntut segala macam ilmu.
Rasulullah bersabda:
“Menuntut ilmu (pengetahuan) adalah fardlu (wajib) bagi setiap muslim dan muslimah” (Alkunuz 2: 107)
Islam adalah agama ilmu dan pengetahuan. Sebelum Islam membebankan para penganutnya supaya mencapai derajat keduniawian, mereka terlebih dahulu wajib memperoleh ilmu dan pengetahuan. Ummat Islam wajib memiliki akal sehat, otak cerdas, dan pikiran cemerlang. Baru kemudian mereka diharuskan ke luar rumah untuk mencari nafkah untuk bekal hidup di dunia.
Rasulullah bersabda:
“Mereka adalah orang-orang yang cerdas (cerdik) yang berangkat dengan kemuliaan dunia dan akhirat.” (H.R. At Thabrani) (58:11)
Islam mewajibkan para pemeluknya menjadi ilmuwan, cendekiawan dan alim ulama yang mengetahui dan memahami segala gejala kehidupan yang bermanfaat; menyelami segala hakikat dari kejadian alam; menganalisa dan mengevaluasi pengalaman dan sejarah manusia dari masa lalu. Firman Allah SWT yang artinya:
“niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Q.S. Al Mujadalah: 11)
Ayat di atas meyakinkan kepada kita ummat Islam untuk senantiasa menyeimbangkan antara ilmu sebagai bekal hidup atau berkehidupan di dunia dan ilmu sebagai bekal hidup kembali di alam akhirat.
Allah SWT berfirman yang artinya:
“Sesungguhnya yang takut di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.” (Q.S. Faatir: 28)
Seorang ilmuwan berpendidikan tinggi, dengan gelar akademik perguruan tinggi di Amerika, Inggris atau Eropa bisa kita bedakan sikap jiwa (mental) dan bathin (spiritual) mereka dari cendekiawan muslim atau ulama. Dalam mengurai ilmunya, para ilmuwan itu akan berputar-putar dari satu referensi ke referensi lain yang umumnya bersifat duniawi dan manusiawi. Sedangkan para cendekiawan muslim atau ulama cukup satu-dua referensi saja: al-Qur’an dan al-Hadits atau ijma dan ijtihad para ulama.
Rasulullah bersabda:
“Amal yang paling utama adalah berilmu mengenai Allah, sesungguhnya ilmu itu mendatangkan manfaat bagimu (bila engkau) bersamanya, sedikit atau banyak amal itu. Dan sesungguhnya bodoh itu tidaklah mendatangkan manfaat bagimu (bila engkau) bersamanya, sedikit maupun banyak amal itu.” (H.R. Al Hakim, At Turmudzi)
Ilmu yang wajib dipelajari adalah ilmu yang berkaitan dengan aqidah akhlak dan ilmu yang dipercayai oleh seluruh muslimin untuk menyempurnakan budi pekerti manusia. Serta ilmu yang perlu diketahui karena memaparkan amal ibadah yang hukumnya fardlu atau wajib, seperti shalat. Di samping itu ilmu yang perlu dipelajari adalah kepandaian atau keahlian yang menjadi tonggak hidupnya.
Islam mewajibkan ummatnya menuntut ilmu dunia yang bermanfaat dan ilmu ukhrawi yang menghasilkan pencerahan akal, fikiran dan qalbu. Islam menyerahkan setiap masalah hukum kepada alim ulama, ilmuwan atau ahli hikmah, ahli hukum (fiqih) dan bukan kepada dugaan-dugaan yang menyesatkan.
Allah SWT berfirman yang artinya:
“Katakanlah:”Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada Kami?” Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanya berdusta.” (Q.S. Al-An’am, 6: 148)
Ayat di atas menggambarkan kepada kita, bahwa mempelajari ilmu yang tidak jelas arah dan tujuannya, tidak jelas manfaatnya, atau dapat menyesatkan fikiran kita, maka ilmu seperti itu haram hukumnya untuk dipelajari, karena dianggap sama dengan khamar (minuman keras) yang merusak fikiran.
Apabila kita meninjau kembali gejala kenakalan remaja yang sudah melewati batas, maka kemungkinan ada beberapa ilmu dan pengetahuan yang kurang atau tidak disampaikan kepada para peserta didik kita. Kemungkinan ada beberapa ilmu dan pengetahuan yang kita sembunyikan dari mereka. Kita telah berlaku pelit kepada anak-anak didik kita.
Pelit dalam memberikan jam pelajaran memadai untuk pelajaran agama Islam. Pelit dan tidak lagi memberikan pelajaran akhlak atau budi pekerti, merupakan ekses dari semakin bobroknya generasi muda kita.
“Sesungguhnya Allah tiada akan menarik ilmu dengan sekali cabut dari hamba-Nya, melainkan dengan menarik (mewafatkan) ulama sehingga kalau tak ada lagi tinggal seorang alim pun, manusia mengangkat orang bodoh menjadi pemimpin. Maka (para pemimpin yang bodoh itu) ditanyakan orang (mengenai hal keagamaan), lalu mereka berfatwa (menjawab pertanyaan itu) tanpa didasari ilmu, maka sesat dan menyesatkanlah mereka.” (H.R. Imam Ahmad)
Rasulullah SAW pun menghargai kaum muslimin yang berilmu:
“Sampaikanlah ilmu dariku meski hanya satu ayat… (H.R. Bukhari)
“Beruntunglah (berbahagialah) barang siapa yang diberi rizki dengan otak cerdas.” (H.R. Bukhari)
Rasulullah juga memuliakan orang-orang berilmu, sabdanya:
“Mereka adalah orang-orang yang cerdas (cerdik) yang berangkat dengan kemuliaan dunia dan akhirat.” (H.R. At Thabrani)
Berbuat hasud dan iri dengki atau pun cemburu itu terlarang. Tetapi Rasulullah memberikan pengecualian dengan sabdanya:
“Tidak boleh hasud (dengki), kecuali dalam dua hal. Yaitu terhadap orang yang diberi harta oleh Allah, kemudian ia mempergunakannya untuk membela kebenaran. Dan terhadap orang yang diberi ilmu pengetahuan oleh Allah, kemudian ia mengamalkannya dan mengajarkannya.” (H.R. Bukhari Muslim)
Di dalam salah satu acara “Si Bolang” dari Trans7 diceritakan bagaimana beratnya perjalanan yang harus ditempuh Si Bolang dan kawan-kawannya untuk mencapai sekolah. Sebelum tiba di sekolahnya, mereka harus terlebih dahulu mendaki bukit, menerobos hutan dan melintasi sungai. Tetapi perjalanan yang berat dan melelahkan itu mereka tempuh dengan sabar.
Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Dan sesungguhnya malaikat membentangkan sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu karena puas dengan apa yang diperbuatnya, dan bahwasanya penghuni langit dan bumi sampai ikan di lautan memintakan ampun kepada orang yang pandai. Kelebihan orang alim dari abid, bagaikan kelebihan bulan purnama terhadap bintang-bintang. Sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi dan bahwasanya para Nabi tidak mewariskan dinar, dirham, tetapi ilmu pengetahuan. Maka barangsiapa mengambil (menuntut) ilmu, maka ia telah mengambil bagian yang sempurna.” (H.R. Turmudzi)
BAB III
ANALISIS AL-QUR’AN SURAT LUQMAN AYAT 13
1. A. Al-Qur’an Surat Luqman ayat 13 dan Tafsirnya
Luqman al Hakim atau Luqmanul Hakim merupakan sosok pribadi yang menjadi salah satu bagian dari beberapa tokoh sejarah bangsa Arab, namun sangat sedikit orang Arab yang mengetahui kehidupannya.
Luqman selalu dikaitkan dengan kearifan hidup seorang lelaki bijaksana yang berusia cukup panjang, sehingga Luqman juga diberi gelar Mu’ammar. Kehidupannya disejajarkan dengan zaman bangsa ‘Ad. Luqman adalah suri teladan kebijakan yang sempurna. Namun demikian Luqman adalah seorang yang sangat sederhana di dalam kehidupannya, ia menjadi budak, tukang kayu, dan menolak diberi kedudukan tinggi. Tutur katanya banyak mengandung nilai pendidikan.
Artinya:
Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kedzaliman yang besar”. (Q.S. Luqman, 31: 13)
Kandungan al-Qur’an Surat Luqman ayat 13 di atas berkaitan erat dengan hikmat dan kebijaksanaan, sehingga al-Qur’an pun layak disebut Kitab Hikmat. Pada ayat 12 terdapat uraian mengenai Luqman yang Bijaksana, dalam hal ini juga mengandung makna al Hakim atau orang yang dianugerahi hikmat atau hikmah, yaitu ilmu pengetahuan mengenai budi pekerti manusia di dunia dan akhirat, orang yang menjalankan amal ibadahnya di jalan yang lurus (tauhid) dalam kehidupannya, serta orang yang berhasil mencapai puncak kekuatan iman dan takwa dalam kehidupannya.
Luqman memiliki ilmu pengetahuan yang benar (haq) dan efektif (mujarab), akan tetapi tidak harus lengkap, karena manusia tidak ada yang sempurna. Seperti gagasan atau wacana mengenai fikiran manusia yang berijtihad menggali ilmu pengetahuan mengenai alam dan insan tanpa menggunakan khayalan atau dugaan. Gagasan atau wacana tersebut justru diisi nilai, norma dan derajat yang mulia sesuai ukuran kerasulan Muhammad SAW, sehingga akibatnya Luqman pernah dianggap sebagai salah seorang nabi, meskipun anggapan itu dibantah karena salah.
Luqman adalah sosok pribadi yang berbudi luhur. Hal itu ditandai dengan tiga macam perilaku:
• Rindu pada kewajiban (fardlu), cinta dan memuja Allah,
• Mencintai dan melayani sesama manusia karena amal, dan
• Menebarkan ketenangan dan kedamaian bagi umat manusia.
Luqman memperoleh berkah atau anugerah kebijaksanaan itu karena ia mengikhlaskan amal ibadahnya hanya karena Allah (lilahi ta’ala). Ia melakukan amal ibadah terhadap manusia karena berkehendak mencapai tujuan sejati (akhirat) sesuai dengan kehendak Allah SWT.
Kehidupan di dunia ini harus dilalui secara lurus (shiratal mustaqim) sesuai dengan petunjuk Ilahi. Namun demikian sangat banyak manusia yang sesat dan tersesat karena kesombongan dan kebohongan mereka sendiri. Banyak manusia yang menyembunyikan kebenaran yang hakiki, dengan berani menentang kebenaran hikmat yang didengungkan secara sopan oleh Luqman. Kebohongan dan kesombongan yang menyesatkan itu timbul karena manusia lebih tertarik pada perhiasan duniawi dan mengkhianati gemilang kehidupan ukhrawi.
Karena kebohongan, kesombongan dan kesesatan mereka sendiri, mereka berperilaku seolah-olah tidak pernah mendengar ayat-ayat Allah. Kebodohan dan sikap sok tahu membuat mereka hidup dalam kehancuran demi kehancuran.
Luqman mempertahankan sikap hidupnya yang santun dalam norma dan kaidah kebijaksanaan, karena ia menyadari kebenaran yang hakiki ada pada hikmat itu. Bagi Luqman, sebagaimana di dalam Islam, kebijaksanaan manusia yang sesungguhnya (hakiki) adalah juga kebijaksanaan akhirat, keduanya tidak dapat dipisahkan.
Seluruh kebijaksanaan, pada awal dan akhirnya, adalah Kehendak Allah. Itu artinya, manusia harus memahami dan mendalami hubungan manusia dengan Allah (habluminallah), dan memuja-Nya dengan benar dan lurus (tauhid). Lalu manusia harus berperilaku sopan santun dan beradab kepada orang tua (ayah, ibu, guru, dan seterusnya) atau habluminannaas. Kedua sikap itu merupakan satu kesatuan. Jika kedua hal itu bertentangan, maka ada sesuatu yang salah atau sesat dalam proses kehidupan kita sebagai manusia. (A. Yusuf Ali: 1983: )
Sedangkan menurut H. Abdul Karim Amarullah atau Buya Hamka yang menyusun Tafsir Al-Azhar juz ke 21 ini di tahanan polisi Sukabumi dan tahanan polisi “Harjuna” Puncak (Bogor) karena menentang Nasakom (tahun 1964 dan disempurnakan kembali April 1976) menjelaskan:
Luqman adalah nama dari seorang lelaki yang selalu mendekatkan hatinya kepada Allah dan merenungkan alam yang ada di sekelilingnya, sehingga dia mendapat kesan yang mendalam, demikian juga renungannya terhadap kehidupan ini, sehingga terbukalah baginya rahasia hidup itu sehingga dia mendapat hikmat.
Arti hikmat ialah kesan yang tinggal dalam jiwa manusia dalam melihat pergantian di antara suka dan duka hidup, melihat kebahagiaan yang dicapai sesudah perjuangan melawan hawa nafsu dan celaka yang didapati oleh orang yang melanggar garis-garis kebenaran yang mesti ditempuh. Sehingga seumpama orang yang dalam perjalanan, masih di tengah jalan orang itu, namun dia sudah tahu akibat yang akan ditemuinya kelak.
Orang yang ahli hikmat itu disebut “Al-Hakiim”. Sebab itu dikenal jugalah Luqman ini dengan sebutan (huruf kapital dari Hamka LUQMAN AL-HAKIIM (Luqman ahli-hikmat).
Allah SWT berfirman:
Artinya:
“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan as Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugerahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (Q.S. Al Baqarah: 269)
Ada juga diperbincangkan orang tentang asal usul Luqman itu. Banyak orang mengatakan bahwa beliau itu ialah berbangsaan Negro, atau bangsa Habsyi, yang warna kulitnya amatlah hitam. Oleh sebab itu ketika memuji orang-orang mulia yang berkulit hitam itu disebut orang juga nama beliau di samping Bilal (bin Rabaah) Muazzin Rasulullah, Imam ‘Athaa’ seorang ‘Ulama Tabi’in yang sangat terkenal di Mekkah, guru dari ‘Abdulmalik bin Marwan, Khalif Bani Umayyah dan Dzin Nuun Al-Mishry ‘Ulama yang sangat banyak disebut nama beliau di dalam dunia tashawwuf.
Di dalam mencari intisari al-Qur’an, maka tidaklah penting bagi kita untuk mengetahui dari mana asal usul Luqman. Al-Qur’an pun tidaklah menonjolkan asal usul. Yang terpenting adalah dasar-dasar hikmat yang diwasiatkannya kepada puteranya, yang mendapat kemuliaan demikian tinggi, sampai dicatat menjadi ayat-ayat dari al-Qur’an Disebutkan namanya 2 kali, yaitu pada ayat 12 dan 13 dalam surat ke-31, yang diberi nama dengan namanya: Luqman.
Artinya:
Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Lukman, yaitu: “Bersyukurlah kepada Allah. Dan barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barang siapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. (Q.S. Luqman, 31: 12)
Artinya:
Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kedzaliman yang besar”. (Q.S. Luqman, 31: 13)
Sebagaimana kebiasaan al-Qur’an, terutama pada surat-surat yang diturunkan di Mekkah, dalam surat Makiyah ini diperingatkanlah lebih dahulu siapa orang yang akan mendapat petunjuk dan rahmat dari Tuhan. Yaitu orang-orang muhsinin, yaitu orang-orang yang dalam hidupnya selalu bertujuan hendak berbuat baik. Berbuat baik itu dibuktikannya terlebih dahulu di dalam prakteknya sehari-hari, dengan mengerjakan sembahyang (shalat), untuk menguatkan hubungan dengan Allah. Mengeluarkan zakat, untuk mengeratkan hubungan dengan sesama manusia, dan mereka pun yakin bahwa di belakang hidup yang sekarang ini akan ada hidup akhirat. Lalu sebaliknya diterangkan pula orang yang tersesat jalan menempuh hidup, tidak memperdulikan seruan kebenaran. Akhir kesudahan dari kedua macam manusia itu sudah tertentu. Yang muhsinin akan bahagia di akhirat dan yang memilih jalan yang sesat akan menderita azab siksaan yang pedih.
Sesudah diberi peringatan kepada manusia tentang kebesaran Tuhan sebagai pencipta langit dan bumi, barulah diceritakan tentang Luqman yang mendapat hikmat itu. Lalu diuraikan beberapa wasiatnya kepada puteranya, untuk jadi pegangan hidup bagi manusia. Wasiat Luqman kepada puteranya hanya terdiri daripada 7 ayat saja. Tetapi dalam ayat yang tujuh itu tersimpanlah dasar-dasar daripada Ilmu Pendidikan, yang tidak akan berubah-ubah selama manusia masih hidup dalam dunia ini.
Setelah itu dikemukakanlah beberapa pandangan tentang tanda kasih Allah kepada hamba-Nya, bahwasanya seluruh isi langit dan bumi penuhlah dengan nikmat-nikmat Allah lahir dan batin. Namun sungguh pun demikian masih banyak juga manusia yang hendak bertukar fikiran (berdalih: pen), hendak berdebat (berbantah-bantahan: pen) tentang Ketuhanan, padahal ilmunya tidak ada tentang itu, petunjuk pun tidak, kitab yang menerangi pun tidak ada pula. Yang mereka ikuti hanyalah apa yang dipusakai dari nenek moyang. Mereka tidak ada kesanggupan atau tidak ada kemauan untuk mempertimbangkan benar atau salah barang yang dipusakai dari nenek moyangnya itu, bahkan walaupun syaithan mengajak mereka menempuh jalan kepada adzab neraka.
Dikatakan juga bahwa orang-orang yang kafir itu jika ditanyai dengan seksama siapa yang menjadikan langit dan bumi, mereka tidak akan menjawab lain, melainkan ALLAH jua. Tetapi jawaban itu tidaklah membawakan kesan apa-apa sebab mereka tidak berkontak (berhubungan: pen.) dengan Allah.
Setelah itu berturut-turut dalam beberapa ayat diterangkan betapa kebesaran Allah, bagaimana kejadian alam ini diatur oleh Tuhan, sampai kepada pergantian siang dengan malam yang begitu teratur, sampai kepada perjalanan matahari dan bulan yang tunduk kepada garis yang telah ditentukan Allah dengan tidak boleh berubah walau satu inci pun, menurut ajal atau janji yang telah ditentukan, yang satu kekuasaan pun tidak ada yang dapat menyamai atau menandingi.
Lalu diterangkan pula perangai kebanyakan manusia. Ialah ibarat orang yang tengah berlayar dengan kapal di lautan yang luas, mendapat nikmat hembusan angin yang baik, udara tenang sehingga pelayaran lancar. Tetapi apabila ombak dan gelombang besar datang gulung-bergulung, di waktu itulah baru mereka mengingat Tuhan. Tetapi apabila mereka telah sampai ke daratan dengan selamat, mereka mulai berkira-kira (ragu-ragu: pen) untuk tunduk kepada Tuhan kembali.
Di penutup surat diperingatkan bahwa jalan yang bahagia hanyalah taqwa, dan janganlah dunia sampai mempesona hingga lupa kebesaran Tuhan. (Hamka: 1976: 142 – 144)
Untuk memudahkan uraian Hamka di atas, berikut adalah ringkasannya:
1. Hikmah ialah kesan atau kefahaman yang mendalam pada jiwa manusia berupa kebijaksanaan terhadap ilmu yang terkandung di dalam al-Qur’an dan as Sunnah,
2. Asal usul Luqman, tidak penting, yang paling penting adalah inti ajaran pokoknya, yaitu tauhid,
3. Nama Luqman disebut dua kali, yaitu di dalam al Qur’an Surat Luqman ayat 12 dan 13,
4. Muhsinin adalah orang yang perbuatannya bedasarkan niat amal, ibadah, karena Allah semata,
5. Wasiat Luqman kepada putranya terdiri dari 7 ayat, yaitu di dalam al-Qur’an Surat Luqman ayat 13 sampai dengan ayat 19, dan
6. Di dalam ketujuh ayat itu terdapat dasar-dasar Ilmu Pendidikan.
Berdasarkan ringkasan uraian Buya Hamka di atas, maka penyusun bermaksud mengutip al-Qur’an Surat Luqman yang mengandung dasar-dasar Ilmu Pendidikan tersebut, mulai dari ayat 13 sampai dengan 19, berikut terjemahannya dan disusul kemudian dengan Tafsir Al-Azhar susunan Buya Hamka. Karena, Insya Allah akan sangat berkaitan erat dengan penyusunan karya tulis ini.
Kami mulai dari Qalam Ilahi Surat Luqman ayat 13:
Artinya:
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kedzaliman yang besar.” (Q.S. Luqman, 31: 13)
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (Q.S. Luqman, 31: 14)
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (Q.S. Luqman, 31: 15)
(Lukman berkata): “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui. (Q.S. Luqman, 31: 16)
Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (Q.S. Luqman, 31: 17)
Artinya :
Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. (Q.S. Luqman, 31: 18)
Artinya :
Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. (Q.S. Luqman, 31: 19)
Di dalam Tafsir Al-Azhar susunan Buya Hamka:
“Dan ingatlah tatkala Luqman berkata kepada puteranya, di kala dia mengajarinya”. (Pangkal ayat 13). Yaitu bahwasanya inti hikmat yang telah dikaruniakan oleh Allah kepada Luqman telah disampaikannya dan diajarkannya kepada anaknya, sebagai pedoman utama dalam kehidupan. “Wahai anakku! Janganlah engkau persekutukan dengan Allah”. Artinya, janganlah engkau mempersekutukan Tuhan yang lain dengan Allah. Karena tidak ada tuhan selain Allah. Malahan yang selain dari Tuhan itu adalah alam belaka, ciptaan Tuhan belaka. Tidaklah Allah itu bersekutu atau berkongsi (bekerjasama: pen.) dengan tuhan yang lain di dalam menciptakan alam ini. “Sesungguhnya mempersekutukan itu adalah aniaya yang amat besar”. (Ujung ayat 13). Yaitu menganiaya diri sendiri, memperbodoh diri sendiri.
Memang, aniaya besarlah orang kepada dirinya kalau dia mengakui ada lagi Tuhan selain Allah, padahal selain dari Allah itu adalah alam belaka. Dia aniaya atas dirinya sebab Tuhan mengajaknya agar membebaskan jiwanya dari segala sesuatu, selain Allah. Jiwa manusia adalah mulia. Manusia adalah mahluk yang dijadikan oleh Allah menjadi Khalifah-Nya di muka bumi. Sebab itu maka hubungan tiap manusia dengan Allah hendaklah langsung.
Jiwa yang dipenuhi oleh Tauhid adalah jiwa yang merdeka. Tidak ada sesuatu jua pun yang dapat mengikat jiwa itu, kecuali dengan Tuhan. Apabila manusia telah mempertuhan yang lain, sedang yang lain itu adalah benda belaka atau mahluk belaka, manusia itu sendirilah yang membawa jiwanya jadi budak dari yang lain. Di dalam al-Qur’an Surat as-Sajdah (Surat ke-32) kelak, ayat 9, dengan jelas Tuhan bersabda bahwa Roh manusia itu adalah Tuhan sendiri yang empunya. Mengapa maka Roh yang begitu mulia, yang berasal dari Allah akan (mau: pen.) ditundukkan kepada yang selain Allah?
Artinya:
Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh) nya roh (ciptaan) -Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (Q.S. As Sajdah, 32: 9)
Mempersekutukan yang lain dengan Allah adalah aniaya paling besar. Sebab tujuan hidup bisa jadi pecah berderai. Sebab Alam itu pecah berderai. Dan manusia itu sendiri pun berpecah belah karena syirik. Sebab masing-masing menghadapi dan menyembah apa yang dipertuhannya itu, padahal tidak sama.
Bertambah maju hasil penyelidikan manusia dan berkembang teknologi, bertambah pula orang yang mempersekutukan Tuhan itu meninggalkan tuhan-tuhannya. Kepercayaan bahwa Tuhan itu bersekutu, berdua atau bertiga atau berbilang banyak, kian hilang. Kemajuan teknologi itu sendiri membawa manusia berfikir kepada Kesatuan Kuasa. Tidak mungkin berbilang. Islam menyediakan “dulang” penampung jalan fikiran demikian dengan ajaran Tauhidnya.
“Dan Kami wasiatkan kepada manusia (berbuat baik) terhadap kepada kedua ibu-bapaknya”. (Pangkal ayat 14). Wasiat kalau datang dari Allah sifatnya ialah perintah. Tegasnya ialah bahwa Tuhan memerintahkan kepada manusia agar mereka menghormati dan memuliakan kedua ibu-bapaknya. Sebab dengan melalui jalan kedua ibu-bapak itulah manusia dilahirkan ke muka bumi. Sebab itu sudah sewajarnya jika keduanya dihormati. Maka jauhlah berbeda anggapan dan ajaran Islam dengan ajaran lain yang mengatakan bahwa persetubuhan kedua ibu bapak menyebabkan manusia menderita malam dalam dunia ini. Malahan ada satu ajaran di kalangan Kristen yang memandang bahwa persetubuhan adalah akibat dari dosa Adam dan Hawa, sehingga manusia lahir buat hidup menanggung dosa. Dalam Islam diajarkan bahwa hidup di dunia adalah buat beribadat kepada Tuhan, buat berterimakasih. Dan buat jadi Khalifah. Semuanya tidak dapat dilaksanakan kala kita tidak lahir ke dunia. Sebab itu hormatilah ibu-bapak yang tersebab dia kita telah dimunculkan oleh Allah ke dunia.
“Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan payah bertambah payah”. Dalam sepatah ayat ini digambarkan bagaimana payah ibu mengandung, payah bertambah payah. Payah sejak dari mengandung bulan pertama, bertambah payah tiap bertambah bulan dan sampai di puncak kepayahan di waktu anak dilahirkan. Lemah sekujur badan ketika menghajan anak keluar.
“Dan memeliharanya dalam masa dua tahun”. Yaitu sejak melahirkan lalu mengasuh, menyusukan, memomong, menjaga, memelihara sakit-senangnya. Sejak dia masih tertelungkup tidur, sampai berangsur pandai menungkut, sampai berangsur bersingsut, sampai berangsur merangkak sampai bergantung berangsur berjalan, bersiansur, tegak dan jatuh dan tegak, sampai tidak jatuh lagi. Dalam masa dua tahun.
“Bahwa bersyukurlah kamu kepada Allah dan kepada kedua orang tuamu”. Syukur pertama ialah kepada Allah. Karena semuanya itu, sejak mengandung sampai mengasuh dan sampai mendidik dengan tidak ada rasa bosan, dipenuhi rasa cinta dan kasih, adalah berkat Rahmat Allah belaka.
Setelah itu bersyukurlah kepada kedua orang tuamu. Ibu yang mengasuh dan ayah yang membela dan melindungi ibu dan melindungi anak-anaknya. Ayah yang berusaha mencari sandang dan pangan setiap hari. Akhirnya diperingatkanlah ke mana akhir perjalanan ini; “Kepada-kulah tempat kembali”. (Ujung ayat 14).
Dibayangkanlah di ujung ayat ini keharusan yang mesti ditempuh. Yaitu lambat atau cepatibu-bapak kita itu akan dipanggil oleh Tuhan, dan anak yang ditinggalkan akan bertugas pula mendirikan rumah tangga, mencari teman hidupdan beranak bercucu; untuk semuanya akhirnya pulang jua kepada Tuhan.
Siapa yang didahulukan di antara ibu dan bapak?
Tersebutlah dalam sebuah hadits:
“Dirawikan dari Abi Hurairah r.a. bahwa datanglah seorang laki-laki kepada Rasulullah, lalu dia bertanya: “Siapakah manusia yang lebih berhak dengan hubungan baikku?” Rasulullah menjawab: “Ibumu!” Orang itu bertanya lagi: “Kemudian itu siapa?”
Nabi menjawab: “Ibumu!”
Dia bertanya selanjutnya: “Kemudian itu siapa?”
Rasulullah menjawab: “Ibumu!”
“Kemudian itu siapa lagi?” tanya orang itu.
“Bapakmu!” jawab Rasulullah.
(Hadits ini dirawikan oleh Bukhari dan Muslim).
Hadits ini menunjukkan bahwa jika kasih-sayang kita dibagi empat misalnya, tiga perempat adalah buat ibu dan seperempat buat bapak. Ialah karena berlipat gandanya kepayahan ibu mengasuh kita.
“Dan jika keduanya mendesak engkau bahwa hendak mempersekutukan Daku dalam hal yang tidak ada ilmu engkau padanya”. (Pangkal ayat 15). Ilmu yang sejati niscaya diyakini oleh manusia. Manusia yang telah berilmu amat paying buat digeserkan oleh sesamanya manusia kepada sesuatu pendirian yang tidak berdasar ilmiyah. Bahwa Allah itu adalah Esa, adalah puncak dari segala ilmu dan hikmat.
Satu waktu seorang anak yang setia kepada orang tuanya akan didesak, dikerasi, kadang-kadang dipaksa oleh orang tuanya buat mengubah pendirian yang telah diyakini. Sekarang terjadi ibu-bapak yang wajib dihormati itu sendiri yang mengajak agar menukar ilmu dengan kebodohan, menukar Tauhid dengan syirik. Tegas-tegas dalam ayat ini Tuhan memberikan pedoman: “Janganlah engkau ikuti keduanya”.
Tentu timbul pertanyaan, “Adakah dengan demikian si anak bukan mendurhakai kepada orang tua?”
Jawabnya sudah diteruskan oleh Tuhan pada lanjutan ayat: “Dan pergaulilah keduanya di dunia ini dengan sepatutnya”. Artinya ialah bahwa keduanya selalu dihormati, disayangi, dicintai dengan sepatutnya, dengan yang ma’ruf. Jangan mereka dicaci dan dihina, melainkan tunjukkan saja bahwa dalam hal aqidah memang berbeda, aqidah engkau dengan aqidah beliau. Kalau mereka sudah tua, asuh jugalah mereka dengan baik. Tunjukkan bahwa seorang Muslim adalah seorang budiman tulen!
Menurut riwayat hal seperti ini terjadi pada sahabat Rasulullah saw. yang bernama Sa’ad. Menurut tafsir Ibnu Katsiir ialah Sa’ad bin Malik. Tetapi menurut tafsir Al-Qurthubiy dan yang lain terjadi pada diri Sa’ad bin Abi Waqash.
Sa’ad bercerita: “Aku ini adalah seorang yang sangat khidmat (hormat) kepada ibuku. Setelah aku masuk Islam, ibuku berkata: “Apakah yang aku lihat telah terjadi pada dirimu ini? Engkau tinggalkan agamamu ini, atau aku tidak makan tidak minum sampai aku mati, sehingga semua orang menyalahkan engkau, dikatakan orang: “Hai pembunuh ibunya!”
Lalu aku jawab: “Jangan engkau berbuat begitu, wahai ibuku! Aku tidak akan meninggalkan agamaku ini, walaupun apa sebabnya”.
Maka dia pun tidak mau makan sampai sehari semalam. Setelah hari pagi kelihatan dia sudah letih. Ditambahnya sehari semalam lagi, tidak makan dan tidak minum. Paginya dia sudah sangat letih. Lalu sudah hari ke tiga, dia tidak makan tidak minum sehari semalam pula. Paginya dia tidak dapat bangkit lagi karena letihnya.
Setelah aku lihat keadaannya demikian, berkatalah aku: “Wahai ibuku! Hendaklah ibu ketahui, walaupun ibu mempunyai 100 nyawa, lalu nyawa itu lepas dari tubuh ibu satu demi satu, tidaklah aku akan meninggalkan agamaku ini. Kalau ibu suka, lebih baik ibu makan. Kalau tidak suka, teruslah tidak makan”.
Mendengar jawabanku setegas itu akhirnya beliau makan juga.’
Sekian riwayat yang kejadian dengan Sa’ad dan ibunya itu.
“Dan ikutlah jalan orang yang kembali kepada Aku”. Yaitu jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang beriman. Karena itulah jalan yang selamat, yang tidak berbahaya. “Kemudian itu kepada-Kulah kamu sekalian akan pulang”. Karena datangnya kita ini adalah dari Allah, perjalanan hidup di dunia dalam jaminan Allah dan kelaknyaakan pulang kepada-Nya jua. “Maka akan Aku beritakan kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Ujung ayat 15). Allah-lah kelak yang akan menilai buruk baiknya apa yang kamu amalkan selama dalam dunia ini. Sebab itulah maka dari sekarang pula bimbingan Tuhan wajib diterima, dengan menempuh jalan yang ditempuh juga oleh orang yang beriman. Jangan menempuh jalan sendiri.
“Wahai anakku! Jika ada sesuatu” (Pangkal ayat 16). Yang dimaksud ialah sesuatu amalan, sesuatu amal dan usaha, sesuatu jasa kebajikan; “sebesar biji sawi dari dalam batu”, biji sawi adalah amat halus. Kalau biji sawi itu terletak di dalam batu, sehingga tersembunyi, tidak ada orang lain yang menampak (melihat); “ataupun di semua langit”, terletak jauh di salah satu daripada langit yang tujuh tingkat, “ataupun di bumi”, tersembunyi entah di mana. Tidak ada orang yang tahu, tidak ada orang yang perduli, karena sebesar biji sawi sangatlah halusnya; “niscaya Allah akan mendatangkannya”. Maka amalan yang kecil sebesar biji sawi itu yang jauh tersembunyi di dalam batu, sehingga tidak akan ada orang yang melihatnya ataupun mengetahuinya. Bahkan entah lebih jauh lagi terletaknya di salah satu langit yang tujuh tingkat, di muka bumi yang mengandung lima benua dan lautan besar (luas); manusia tidak tahu, namun Allah tahu juga. Sebab Dia yang empunya (pemiliknya: pen), Dia Yang Maha Mengetahui. Sebab itu jika berbuat janganlah semata-mata ingin diketahui manusia. Sebab tidaklah dapat semua manusia mengetahui semua amal usaha kita. Haraplah penghargaan datang dari Allah sendiri yang akan dapat menilai dan menghargainya. “Sesungguhnya Allah itu adalah Maha Luas”, sehingga tidak ada yang lepas dari perhitungan-Nya dan keadilan-Nya. “Maha Teliti” (Ujung ayat 16). Sehingga sejak dari yang serba kasar dan besar, sampai kepada yang serba halus dalam pengetahuan-Nya semua.
Ayat ini amat penting bagi memperteguh hubungan bathin insan dengan Tuhan-nya, pengobat jerih payah atas amal usaha yang kadang-kadang tidak ada penghargaan dari manusia. Banyak dalam dunia ini manusia yang jadi bahagian penting dari seluruh masyarakat, namun masyarakat sendiri tidak mengingat kepentingan itu. Bukankah penting nelayan miskin di tepi pantai? Kalau mereka tidak turun ke laut mencari ikan, yang harganya untuk membeli beras bagi makanan anaknya, niscaya tidaklah orang di kota merasakan empuk dan enak daging ikan? Tetapi siapa yang menghargai nelayan?
Pangkat jadi Menteri sangat penting! Namun sopir yang membawa menteri pun sangat penting pula!
Seorang orang penting dalam perjalanan dengan mobilnya dari kota kediamannya ke kota yang jauh, dibawa oleh sopirnya. Tiba-tiba tidak disangka ada kerusakan pada mobil itu, sehingga mereka terpaksa berhenti di tengah jalan, di dekat rimba belantara. Hanya sebuah pondok kecil saja yang ada di tepi jalan itu. Orang penting itu dan keluarganya dan sopir terpaksa berhenti dan berteduh di muka rumah itu. Padahal panas sangat terik. Lalu anak perempuan kecil dari yang punya pondok membawa sebuah kendi tanah ke hadapan orang-orang yang terpaksa berhenti itu dan mempersilahkan mereka minum. Oleh karena sangat haus, air itu mereka minum. Anak itu merasa sangat bahagia karena orang-orang kota yang berpakaian necis (mahal) itu sudi meminum pemberiannya.
Air seteguk hanya suatu amalan kecil. Namun dicatat di sisi Allah. Rasulullah saw. bersabda :
“Kalau sesungguhnya seorang kamu beramal di dalam batu granit, tidak ada padanya pintu dan tidak ada ppadanya lobang, namun amalnya itu akan keluar juga kepada manusia, bagaimana juapun adanya.”
(Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari hadits Abi Sa’id Al-Khudry).
Kemudian Luqman meneruskan wasiatnya :
“Wahai anakku ! Dirikanlah sembahyang,
dan menyuruhlah berbuat yang ma’ruf,
dan mencegahlah berbuat yang mungkar,
dan sabarlah atas apapun yang menimpa engkau”. (Pangkal ayat 17)
Inilah empat modal hidup yang diberikan Luqman kepada anaknya dan dibawakan menjadi modal pula bagi kita semua, disampaikan oleh Muhammad kepada ummatnya.
Untuk memperkuat pribadi dan meneguhkan hubungan dengan Allah, untuk memperdalam rasa syukur kepada Tuhan atas nikmat dan perlindungan yang selalu kita terima, dirikanlah sembahyang. Dengan sembahyang kita melatih lidah, hati dan seluruh anggota badan selalu ingat kepada Tuhan. Dalam Agama kita, Islam, telah ditentukan bahwa wajib kita mengerjakan sembahyang itu sekurang-kurangnya lima kali sehari semalam; jangan kurang! lebih boleh! Dapatlah kita hitung sendiri betapa besar kesannya kepada jiwa kalau nama Allah selalu jadi sebutan; “Allahu Akbar, Alhamdulillah, Subhanallah; dengan cara merundukkan badan ketika ruku’, dengan mencecahkan (menempelkan) kening ketika sujud, dengan tegak yang lurus tidak melenggong (melenceng) ke kiri kanan, kita akan mendapat kekuatan pribadi, lahir dan batin, moral dan mental!
Sudah jelaslah bahwa sembahyang berjamaah adalah 27 kali lipat pahalanya daripada sembahyang sendiri. Bahkan di antara Ulama, sebagai Imam Ahmad bin Hanbal, mengatakan bahwa sembahyang wajib berjama’ah, walaupun hanya dua orang. Menurut Imam Abu Hanifah, jiran (tetangga) mesjid sembahyangnya hendaklah di mesjid. Hikmatnya ialah agar pribadi jangan terlepas dari masyarakat. Islam adalah agama untuk diri masyarakat, atau untuk diri dalam masyarakat. Maka apabila pribadi telah kuat karena ibadat, terutama tiang agama, yaitu sembahyang lakukanlah tugas selanjutnya, yaitu berani menyuruhkan berbuat yang ma’ruf. Ma’ruf ialah perbuatan baik yang diterima baik oleh masyarakat. Berusahalah engkau jadi pelopor dari perbuatan yang ma’ruf itu. Orang yang telah teguh kokoh pribadinya karena ibadat, terutama sembahyang, dia akan berani menyampaikan kebenaran kepada sesama manusia, sekedar ilmu dan kesanggupan yang ada padanya. Sekurang-kurangnya menyuruh anak dan istri mengerjakan sembahyang. Sesudah itu hendaklah berani pula menegur mana perbuatan yang mungkar, yang tidak dapat diterima oleh masyarakat. Berani mengatakan yang benar, walaupun pahit. Tinggal lagi kebijaksanaan. Yaitu membungkus obat kinine (pil kina) yang pahit dengan gula, demi untuk terlepas daripada kerongkongan saja.
Apabila sudah berani menegur mana yang salah, mencegah yang munkar, haruslah diketahui bahwa akan ada orang yang tidak senang ditegur. Atau memperbaiki masyarakat yang telah membeku dengan adat kebiasaan yang salah. Jika ditegor mereka marah!
Untuk ini mesti tabah, mesti sabar. Ingatlah bahwa sekalian Rasul yang dikirim Allah memberi bimbingan kepada manusia, semuanya disakiti oleh kaumnya. Modal utama mereka ialah sabar.
“Sesungguhnya yang demikian iiu ialah termasuk yang sepenting-penting pekerjaan.” (Ujung ayat 17). Yakni kalau kita ingin hendak jadi manusia yang berarti dalam pergaulan hidup di dunia ini. Sembahyang peneguh pribadi. Amar ma’ruf nahyi munkar dalam hubungan dengan masyarakat, dan sabar untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Karena apa jua pun lapangan hidup yang kita masuki, kalau kita tidak sabar, kita akan patah di tengah jalan.
Nabi sendiri, karena keras reaksi dari kaumnya, pernah terlintas dalam hatinya suatu perasaan hendak melompat saja dari puncak bukit yang tinggi ke dalam lurah (jurang) yang dalam (baakhi’un nafsaka). Tetapi perasaan itu ditahannya dengan tabah. Namun da’wah diteruskannya juga. Itu sebabnya maka disebutkan bahwa pekerjaan ini sangat penting. Apa saja rencana, sabarlah kuncinya. Yang tidak sabar akan gagal di tengah jalan.
“ Dan janganlah engkau palingkan muka engkau dari manusia”. (Pangkal ayat 18). Ini adalah termasuk budi pekerti, sopan santun dan akhlak yang mulia, tertinggi. Yaitu kalau kita sedang bercakap berhadap-hadapan dengan seseorang , hadapkanlah muka engkau kepadanya. Menghadapkan muka adalah alamat dari menghadapkan hati. Dengarkanlah ketika dia sedang bercakap, simakkan baik-baik. Kalau engkau sedang bercakap dengan seseorang, padahal mukamu engkau hadapkan ke jurusan lain, akan tersinggunglah perasaannya. Dirinya merasa tidak dihargai, perkataannya tidak sempurna didengarkan.
Dalam bersalam mula tertentu, apatah lagi (terutama) bersalam dengan orang banyak berganti-ganti, ketika berjabat tangan itu, tengoklah matanya dengan gembira. Hatinya akan besar dan silatur-rahmi akan teguh. Apatah lagi kalau namanya tetap diingat dan disebut.
Ibnu ‘Abbas menjelaskan tafsir ayat ini:”Jangan takabur dan memandang hina hamba Allah, dan jangan engkau palingkan muka engkau ke tempat lain ketika bercakap dengan dia”.
Demikian juga penafsiran dari ’Ikrimah, Mujahid, Yazid bin Al-Ashamm dan Sa’id bin Jubair:
“Dan janganlah berjalan dimuka bumi dengan congkak”. Mengangkat diri, sombong, mentang-mentang kaya, mentang-mentang gagah, mentang-mentang dianggap orang jago, mentang-mentang berpangkat dan sebagainya. ”Sesungguhnya Allah tidaklah menyukai tiap-tiap yang sombong membanggakan diri”. (Ujung ayat 18).
Congkak, sombong, takabur, membanggakan diri, semuanya itu menurut penyelidikan ilmu jiwa, terbitnya ialah dari sebab ada perasaan bahwa diri itu sebenarnya tidak begitu tinggi harganya. Di angkat-angkat ke atas, ditonjol-tonjolkan, karena di dalam lubuk jiwa terasa bahwa diri itu memang rendah atau tidak kelihatan. Dia hendak meminta perhatian orang. Sebab merasa tidak diperhatikan. Dikaji dari segi Iman, nyatalah bahwa Iman orang itu masih cacat.
Sebuah hadits marfu’ diterima oleh ‘Alqamah dari ‘Abdullah bin Mas’ud, yang artinya :
“Tidaklah masuk ke dalam syurga barang siapa yang ada dalam hatinya sebesar zarrah dari ketakaburan, dan tidaklah masuk ke dalam neraka barang siapa yang ada dalam hatinya sebesar zarrah dari Iman”.
“Dan sederhanalah dalam berjalan”. (Pangkal ayat 19). Jangan cepat mendorong-dorong, takut kalau-kalau lekas payah. Jangan lambat tertegun-tegun (ragu-ragu, canggung), sebab itu membawa malas dan membuang waktu di jalan; bersikaplah sederhana. “Dan lunakkanlah suara”. Jangan bersuara keras tidak sepadan dengan yang hadir. Apatah lagi (terutama) jika bergaul dengan orang ramai di tempat umum. Orang yang tidak tahu sopan santun lupa bahwa di tempat itu bukanlah dia berdua dengan temannya itu saja yang duduk. Lalu dia bersuara keras-keras. “Sesungguhnya yang seburuk-buruk suara, ialah suara keledai”. (Ujung ayat 19).
Mujahid berkata: “Memang suara keledai itu jelek sekali. Maka orang yang bersuara keras, menghardik-hardik, sehingga sampai seperti akan pecah kerongkongannya, suaranya jadi terbalik, menyerupai suara keledai, tidak enak didengar. Dan dia pun tidak disukai oleh Allah.”
Sebab itu tidak ada salahnya jika orang bercakap yang lemah lembut; dikeraskan hanyalah ketika dipakai hendak mengerahkan orang banyak kepada suatu pekerjaan besar. Atau seumpama seorang komandan peperangan ketika mengarahkan prajuritnya tampil ke medan perang.
Dari ayat ini dan ayat 2 dari Surat ke 49, Al-Hujuraat (bilik-bilik) jelaslah bahwa agama pun menuntun orang yang beriman supaya memakai suara pun dengan beradab sopan santun juga.
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari. (Q.S. Al-Hujuraat, 49: 2)
Di hadapan Nabi tidak boleh mengangkat suara tinggi sehingga melebihi tinggi suara Nabi dan dalam pergaulan umum disuruh mengendalikan diri dalam memakai suara. Ayat ini pun memberi pimpinan bagi kita agar bersikap halus, bersuara lembut, sehingga bunyi suara itu pun menarik orang untuk memperhatikan apa yang dikatakan. Misalnya dengan memakai kata-kata yang bersopan, yang fasih dan menimbulkan daya tarik. Mubaligh-mubaligh dan ahli-ahli da’wah perlu sekali memperhatikan ini.
Kalau kita renungi dan fikirkan 7 ayat yang mengandung washiat Luqman itu, dapatlah kita mengambil kesimpulan bahwa ayat-ayat ini mengandung dasar-dasar pendidikan bagi seorang Muslim. Dia dapat jadi sumber inspirasi mengatur pokok-pokok pendidikan anak-anak kaum muslimin. Dia mengandung pokok aqidah, yaitu kepercayaan Tauhid kepada Tuhan, yang menyebabkan timbulnya jiwa merdeka dan bebas dari pengaruh benda dan alam. Sesudah itu ialah dasar utama dari tegaknya rumah tangga Muslim, yaitu sikap hormat penuh cinta kasih sayang dari anak kepada ibu dan bapak. Sambil lalu dijelaskan pula bahwa masa pengasuhan kanak-kanak bagi seorang ibu yang sebaik-baiknya ialah dua tahun; jangan terlalu cepat dan jangan terlalu lambat.
Diberikan pula pedoman hidup apabila bertikai pendapat di antara orang tua dengan anak. Jika ibu bapak masih hidup tetap dalam kufur, padahal anak sudah memeluk Agama yang benar. Cinta tidaklah berubah, tetapi kecintaan kepada ibu-bapak tidak boleh mengalahkan aqidah. Di sini disuruhkan orang orang berlaku yang patut, yang ma’ruf kepada kedua orang tuanya.
Dalam pelaksanaannya, maka ‘Umar bin Khaththaab ra telah memberikan tuntunan bagaimana mendidik anak. Kata beliau:”Ajar dan didiklah anakmu sesuai dengan zaman yang akan dihadapinya.”
Dari ayat 16 diberikanlah anjuran supaya hidup selalu berbuat baik. Karena kalau orang tidak mengerjakan yang baik dalam hidupnya, apatah lagi yang akan dikerjakannya. Pilihlah pekerjaan yang baik itu walau pun dipandang kecil oleh orang lain, namun betapa pun kecilnya, di sisi Tuhan tidaklah dia akan dilupakan. Washiat ayat 16 ini benar-benar menumbuhkan gairah dalam hati orang supaya bekerja menurut bakatnya, beramal menurut kesanggupannya.
Sembahyang adalah tiang agama. Dia membentuk pribadi agar berani menghadapi hidup dengan berbagai aneka persoalannya. Dan harus berani menyerukan yang ma’ruf, berani mencegah yang munkar, dan mesti tabah. Sabar!
Adab sopan santun dalam pergaulan hidup diperingatkan pula; jangan memalingkan muka manusia, hadapi orang dengan sepenuh hati. Jangan berjalan dengan sombong di muka bumi. Bertindaklah dengan serba sederhana, jangan kesusu (terburu-buru: pen) dan jangan lamban, dan suara hendaklah dilunakkan. Karena kalau pribadi sudah mempunyai wibawa, walaupun dengan kata-kata yang lunak, niscaya akan didengar orang juga.
Semuanya ini adalah akhlak, menyuruh orang rendah hati tinggi cita-cita. Bukan rendah diri sehingga hina. Dan bukan pula melambung ke atas berlebih dari ukuran diri yang sebenarnya.
Benar-benarlah semuanya ini kata Hikmat dari Luqman dan patutlah jika orang menyebut beliau Luqman Al-Hakim.
Di samping itu banyaklah diceritakan orang tentang Hikmat Luqman itu.
Diceritakan orang bahwa beliau itu dahulunya adalah khadam (pelayan: pen) di rumah seorang yang kaya. Pada suatu hari orang kaya itu menyuruhnya menyembelih seekor kambing buat dimakan, dan diperintahkannya mengambilnya dua bagian daging yang paling besar khasiatnya jika dimakan. Lalu oleh Luqman dipotongkan lidah dengan hati, dimasaknya dan dihidangkannya.
Besoknya induk-semangnya itu menyuruh potong pula seekor kambing dan disuruh mengambil pula dua potong daging yang paling menjijikkan. Perintah itu dilaksanakannya pula, lalu dipotongnya pula lidah dan hati, dimasaknya sebagai kemarin juga dan dihidangkannya. Melihat keadaan demikian bertanyalah induk-semangnya (majikannya) itu: ”Bagaimana engkau, Luqman! Kemarin saya minta daging yang paling besar khasiatnya, lalu engkau bawakan daku lidah dan hati. Sekarang saya minta daging yang paling menjijikkan, engkau bawakan pula lidah dan hati; apa maksudmu?”
Dengan senyum Luqman menjawab: ”Memang lidah dan hati itulah bahagian daging dalam tubuh manusia yang paling besar khasiatnya, apabila orang pandai menjaganya. Dan keduanya pula yang akan mencelakakan manusia apabila dia tidak dapat mengendalikannya. Hati dapat menimbulkan niat yang ikhlas dan dapat juga culas. Lidah dapat menuturkan kata-kata yang penuh budi bahasa sesama manusia, dan dengan sebab lidah, perang pun bisa terjadi”.
Pernah Luqman berwashiat kepada anaknya: ”Wahai anakku ! Butir kata yang berisi hikmat dapat menjadikan orang miskin dimuliakan seperti raja”.
Dan washiatnya lagi: ”hai anakku! Jika masuk ke suatu majlis, panahkanlah panah Islam, yaitu Salam, kemudian duduklah agak ke tepi dan jangan bercakap sebelum orang bercakap. Kalau yang mereka percakapkan itu adalah soal ingat akan Allah, duduklah dalam majlis itu agak lama. Tetapi kalau pembicaraan hanya urusan-urusan dunia saja, tak perlu engkau campur bicara dan dengan cara teratur tinggalkanlah majlis itu dan pergilah ke tempat lain”.
Dan banyak lagi kata-kata hikmat Luqman yang lain, sampai tersebut juga dalam hadits. Misalnya Hadits Thabraniy mengatakan tiga orang Sudan jadi penghulu ahli syurga: “Luqman Al-Hakim, Najaasyi dan Bilal Al-Muadzdzin”. (Hamka: 1976: 157 – 169)
1. B. Implementasi Al-Qur’an Surat Luqman ayat 13 sampai 19 dalam Sistem Pendidikan Nasional
Jikalau kita renungkan ketujuh ayat dari Surat Luqman yang mengandung pengajaran itu, maka kita dapat menarik kesimpulan, bahwa al-Qur’an Surat Luqman, ayat 13 sampai dengan 19 itu mengandung dasar-dasar ilmu pendidikan bagi kaum Muslimin. Dengan kata lain, ketujuh ayat itu dapat dijadikan referensi di dalam mengatur sistem pendidikan.
Khususnya al-Qur’an Surat Luqman ayat 13 yang mengandung pendidikan dasar aqidah, sebagai keyakinan inti Tauhid terhadap ke-Esa-an Allah SWT. Karena kepercayaan Tauhid itu maka tumbuhlah sikap jiwa (mental dan spiritual) yang bebas dan merdeka dari pengaruh tahayul, bid’ah, kurafat dan syirik.
Larangan keras Allah SWT terhadap ummat manusia untuk berperilaku syirik ditegaskan dengan pernyataan-Nya sebagai kedzaliman yang luar biasa. Syirik, menyekutukan Allah, atau menghamba ke selain Allah merupakan dosa yang tidak terampuni, sekalipun manusia itu banyak berbuat amal saleh. Tapi dosa-dosa selain dari syirik ada kemungkinan diampuni atas kehendak Allah.
Allah SWT berfirman:
Artinya:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni dosa selain dari (syirik) itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (Q.S. An-Nisa, 4: 48)
Syirik, secara garis besar, dapat dibagi dua:
• Syirik Uluhiyah, dan
• Syirik Rububiyah
Syirik uluhiyah atau syirik di dalam beramal, ialah segala tata cara ibadah manusia yang mengandung unsur, elemen, dan niat memuja, mengagungkan dan meyakini bahwa yang dipuja, diagungkan dan diyakini manusia itu mempunyai kekuatan, kemanjuran dan pengaruh yang sama dengan Allah SWT. Dengan kata lain, syirik uluhiyah ialah amal ibadah manusia dengan menyamakan Dzat Allah.
Syirik uluhiyah itu ialah itikad atau kepercayaan bahwa mahluk lain memiliki kekuatan ghaib yang bisa mendatangkan manfaat dan mampu menolak mara bahaya dan mala petaka. Syirik uluhiyah berarti ada mahluk lain yang diyakini agung selain dari Allah Yang Maha Agung.
Sedangkan syirik rububiyah adalah mengitikadkan pada adanya kekuasaan lain di dalam penciptaan dan pengaturan alam. Bila manusia yakin dan percaya bahwa Allah adalah Yang Maha Kuasa dan Yang Maha Pencipta serta Yang Maha Mengatur seluruh alam dan isinya, siang malam, tidak ada hentinya. Akan tetapi manusia itu juga yakin dan percaya terhadap adanya kekuatan lain yang berakibat terciptanya dan teraturnya alam seta seluruh isinya ini. Maka dia telah syirik sebab memperserikatkan Allah.
Syirik rububiyah ini bisa kita telaah dari sikap sombong para ilmuwan, teknokrat dan para pemikir yang karena kecemerlangan intelektualitasnya karena telah berhasil menciptakan suatu karya ilmiah atau gagasan yang bermanfaat bagi ummat manusia. Akibatnya, mereka mendewakan ilmu pengetahuan, menuhankan teknologi dan menomor-wahidkan filsafatnya serta kemudian melupakan Allah Robbul’alamin.
Syirik rububiyah ini pun merembet pada sikap sekularisme atau pemujaan kepada materi Sikap ubudunya ini mengakibatkan manusia menjauhi segala hal yang berkaitan dengan masalah ukhrawi, masalah aqidah. Sikap sombong, ujub, takabur, dan congkak timbul karena manusia menganggap harta kekayaannya adalah hasil, milik dan hak pribadinya serta melupakan Dzat Yang Maha Memberi Ridzki. Mereka pelit, kikir dan tamak. Mereka makan riba, makan hak anak yatim, korup dan khianat. Mereka tidak memperdulikan tetangga. Beternak hewan yang kotorannya mengganggu hidung tetangganya. Bercocok tanam yang dahan dan rantingnya melampaui tanah dan kepala orang lain. Menyerobot tanah hak orang dengan memindahkan patok pembatas. Meludah dan buang air ke arah Kiblat itu pun salah satu sikap takabur kaum sekularisme dan musyrikin.
Dengan demikian, apapun istilahnya, syirik adalah perilaku menyimpang dari aqidah, akhlak dan syariat Islam. Karena dengan syirik, segala perilaku yang diharamkan pun dilakukan. “Menghalalkan segala cara,” adalah istilah yang masih popular ditujukan kepada orang-orang kafir.
Perbuatan maksiat seperti perzinahan, mabuk-mabukan, perkelahian dan tawuran antar anak didik, pencurian dan kebohongan merajalela di lingkungan sekolah dan masyarakat, yang akarnya adalah syirik. Sebab mereka telah diperbudak hawa nafsu, mereka telah menjadi hamba benda.
Sesungguhnya Islam disyariatkan menyucikan akal, fikiran, kalbu dan roh manusia, sedangkan syirik justru mengotorinya, menajiskannya. Syirik menodai bathin dan rohani, mendangkalkan akal dan fikiran, dan menyempitkan perasaan sekaligus merusak iman, merusak tauhid. Perbuatan syirik melahirkan manusia ke dalam derajat yang hina, lebih hina dari hewan, karena gaya hidup mereka di luar batas peri kemanusiaan.
Akan tetapi karena aqidah sudah tertanam kuat di dalam jiwa anak-anak yang dibentengi oleh Tauhid, maka pendidikan akhlak merupakan langkah berikutnya. Karena pendidikan akhlak merupakan fondasi utama kokohnya rumah tangga Muslim yang sakinah, mawadah warohmah. Anak-anak kita dididik atau diwajibkan menghormati, menyintai, menyayangi dan berbakti kepada kedua orang tua. Terutama terhadap ibu kandung kita.
Setelah pendidikan di lingkungan rumah tangga dianggap memadai, anak-anak sebaiknya dididik mengenai amar ma’ruf dan nahyi munkar, mengerjakan yang baik dan benar (haq) dan meninggalkan yang jahat dan buruk (bathil), atau fastabiqul khoirot yaitu berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan.
Shalat adalah tiang agama dan shalat merupakan amal ibadah yang wajib dilaksanakan lima kali dalam sehari semalam. Jika anak-anak sejak dini tidak kita didik menjalankan pekerjaan yang baik dan berlomba berbuat kebaikan, anak-anak kita biasanya malas untuk mengerjakan shalat. Selain sebagai amal-ibadah yang akan dihisab, shalat juga melatih mental anak-anak kita bersikap disiplin terhadap waktu, berperilaku tertib, melatih ketekunan dan kekhusyuan, sampai akhirnya melatih ketahanan mental dari berbagai godaan duniawi.
Tata krama, sopan santun atau adab di dalam pergaulan sehari-hari di tengah-tengah masyarakat, adalah pendidikan budi pekerti yang Islami karena diajarkan oleh Allah SWT. melalui tokoh Luqmanul Hakim.
Luqman mengajari anaknya supaya tidak sombong, congkak, takabur, tinggi hati, mentang-mentang atau sok. Luqman mendidik anak-anak untuk bersikap arif, rendah hati, sederhana, tenang, tawakal dan sabar. Demikian juga di dalam hal berjalan. Luqman mewasiatkan anaknya jika berjalan jangan terlalu cepat, tetapi juga jangan terlalu lambat. Berjalanlah dengan langkah sederhana. Kemudian janganlah kita memalingkan muka dari orang lain. Hadapkanlah wajah kita kepada lawan bicara.
Luqman juga mendidik anak-anak untuk bersuara lemah-lembut, bahkan kalau mungkin bernada merdu, atau berbicara pelan dan tidak bernada tinggi melebihi suara Rasulullah.
Dengan demikian, al-Qur’an Surat Luqman khususnya ayat 13, yang menitik beratkan pada pendidikan aqidah tauhid, umumnya dari ayat 13 sampai dengan 19 yang mengandur dasar-dasar ilmu pendidikan akhlak dan syariat itu layak diimplementasikan ke dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia.
BAB IV
PENUTUP
1. A. Kesimpulan
Al-Qur’an Surat Luqman ayat 13 sampai dengan 19 memaparkan inti hikmat karunia Allah SWT. kepada Luqman yang dia sampaikan dan ajarkan kembali kepada anaknya sebagai pedoman utama kehidupan. Luqman melarang anaknya menyekutukan Allah, karena “Tidak ada tuhan selain Allah” dan karena mempersekutukan Allah adalah aniaya yang sangat besar. Rohani manusia bernilai mulia. Jiwa manusia harus dipenuhi semangat tauhid. Manusia adalah makhluk Allah yang paling sempurna. Jika dia berbuat syirik maka dia menjadi makhluk yang sangat hina, karena mempertuhankan makhluk atau benda ciptaan Allah Yang Maha Pencipta.
Manusia diciptakan Allah SWT untuk menjadi khalifah Allah di muka bumi. Hubungan manusia dengan Allah harus langsung, tanpa perantara. Karena rohani atau jiwa manusia itu milik Allah Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu jika manusia tunduk menyembah kepada selain Allah, maka dia telah menganiaya diri sendiri, merendahkan kemuliaan jiwanya, dan mengundang murka Allah (Hamka, 1976).
Maka secara ringkas inti pendidikan aqidah dan akhlak yang terkandung di dalam al–Qur’an Surat Luqman ayat 13 sampai dengan 19 adalah:
• Larangan menyekutukan Allah (syirik),
• Memuliakan kedua orang tua (silaturahim),
• Merasa diawasi Allah (ihsan dan mutaqin),
• Mengerjakan shalat (amal ibadah, amal sholeh),
• Menyuruh manusia berbuat baik (amar ma’ruf),
• Mencegah manusia berbuat jahat (nahyi munkar),
• Tidak sombong, takabur, ujub, congkak, riya
• Sabar, tabah, tawakal, dan
• Bersikap sederhana dan santun dalam berbicara dan berperilaku
Sementara itu di dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) Bab I pasal 1 ayat (2) disebutkan:
“Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan yang berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945”.
Pernyataan ini mengandung arti, seluruh aspek dalam sistem pendidikan nasional akan mencerminkan aktivitas yang dijiwai Pancasila dan UUD 1945 dan berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia.
Tujuan pendidikan nasional adalah tujuan akhir yang akan dicapai lembaga pendidikan formal dan non formal serta informal dalam masyarakat dan negara Indonesia. (Ngalim Purwanto: 1991)
Kesimpulannya adalah: Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang sumbernya dari Pancasila dan UUD 45 itu sudah terangkum di dalam pendidikan aqidah, akhlak dan tauhid yang sumbernya lebih lengkap di dalam al-Qur’an Surat Luqman, ayat 13 sampai dengan 19; sehingga ketujuh ayat tersebut di atas dapat diimplementasikan ke dalam sistem pendidikan nasional.
1. B. Saran
Perkembangan ilmu pengetahuan alam dan teknologi (iptek); pesatnya globalisasi; derasnya pasar bebas, dan bebasnya semangat demokratisasi, sudah selayaknya segera diantisipasi dengan cara mengimplementasikan kandungan al-Qur’an Surat Luqman, ayat 13 sampai 19 ke dalam sistem pendidikan nasional; agar seluruh elemen, komponen dan eksponen pendidikan senantiasa berada di dalam benteng aqidah, akhlak dan tauhid.
DAFTAR PUSTAKA
• Al-Asqalani, Ibu Hajar, terjemahan: Achmad Sunarto, Terjemahan Bulughul Maram, Jakarta, Pustaka Amani: 2000
• Al Husaini Al Hanafi Ad Damsyiqi, Ibnu Hamzah, terjemahan: H.M. Suwarta Wijaya, Asbabul Wurud, Jakarta: Kalam Mulia, cetakan kesembilan, jilid 1, 2, dan 3: tahun 2006
• Al-Maraghi, Ahmad Mushthafa, terjemahan: Bahrun Abu Bakar, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, Semarang: PT Karya Toha Putra, cetakan kedua: 1993,
• Aly, Abdullah, Kapita Selecta Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 1999
• Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara: 1996
• Ash Shiddieqy, T.M. Hasbi, Al Islam, Jakarta: Bulan Bintang:1964
• Asyarie, Sukmadjaja – Rosy Yusuf, Indeks al-Qur’an, Bandung: Penerbit Pustaka: 2003
• Asyiq, Petunjuk Lima Ibadah Pokok dalam Islam, Surabaya: Al Ikhlas: 1993
• Asy Syarifain, Khadim al Haramain, Al-Qur’an dan Terjemahnya, As-Syarif Medinah Munawarah, KSA.: 1990
• Departeman Agama RI , Panduan Penulisan Karya Tulis / Karya Ilmiah Guru Pendidikan Agama Islam: 2004
• Ensiklopedi Islam, jilid 2, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve: 2003
• Hamka, Tafsir Al-Azhar, juz xxi, Surabaya: PT Bina Ilmu Offset: 1976
• Imam Nawawi, Terjemahan Riyadhus Shalihin, 3 Jilid, Jakarta: Pustaka Amani: 1999
• Nata, Abuddin, Manajemen Pendidikan, Jakarta: Prenada Media: 2003
• Purwanto, Ngalim, Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis, Bandung: PT Remaja Rosdakarya: 1991
• Shaleh, Dahlan dkk., Asbabun Nuzul, edisi kedua, Bandung: CV Penerbit Dipenogoro: 2004
• Yani Ainusyamsi, Fadlil, Pendidikan Islam Pada Masyarakat Madinah (Suatu Analisis Historis), TAJDID nomor 19, halaman 899 sampai 924: tahun XII


EmoticonEmoticon