Kamis, 07 April 2011

Kaidah-kaidah Ushul fiqih

Kaidah-Kaidah Ushul Fiqh
Pendahuluan
Dalam matematika, kita mengenal theorema phytagoras, dalam fisika lebih banyak lagi hukum yang kita kenal dan diakui sebagai kaidah umum yang berlaku dalam suatu bidang tertentu dari cabang ilmu fisika. Dalam kimia pun demikian, kita mengenal adanya hukum kekekalan massa dan masih banyak hukum atau teori lain yang berlaku.
Hukum atau teori tadi dikembangkan oleh para ilmuwan melalui serangkaian percobaan dan pengujian sehingga diperoleh kesimpulan umum yang kemudian diakui sebagai kaidah dalam ilmu tersebut. Sampai adanya teori baru yang lebih ‘kuat’, teori-teori tersebut akan tetap digunakan sebagai kaidah yang diakui dan dijadikan sebagai dasar dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

Tidak kita ragukan lagi bahwa kaidah-kaidah tersebut memberikan banyak manfaat bagi manusia terutama yang secara langsung bersentuhan dengan kehidupan manusia. Banyak hal di dunia ini yang dihasilkan sebagai pengembangan dari suatu teori tertentu seperti listrik, atom, dll. Dari situ kita bisa melihat betapa kaidah/teori/hukum dalam suatu bidang keilmuan tertentu memiliki peran yang sangat penting bagi manusia, dalam hal-hal duniawi tentunya.
Lalu, apakah Islam juga memiliki kaidah-kaidah seperti itu? Kaidah-kaidah atau hukum-hukum yang menjadi dasar bagi pengamalan syariat Islam?
Kaidah-Kaidah Ushul Fiqih

Dalam ilmu keduniaan saja, kaidah-kaidah itu ada apalagi di dalam ilmu-ilmu syariat (Islam) sudah barang tentu juga ada. Seperti halnya dalam ilmu-ilmu duniawi, kaidah pokok dalam syariat Islam juga memiliki peran yang sangat penting, bahkan lebih penting dari peran kaidah-kaidah pada ilmu duniawi karena kaidah-kaidah ini menjadi dasar bagi kita agar dapat mengamalkan ajaran-ajaran Islam dengan benar.
Kaidah-kaidah syariat ini juga dihasilkan dari penelitian para ‘ulama baik terhadap al-Qur’an, as-Sunnah (hadits), atsar para shahabat, maupun pendapat-pendapat dari berbagai ‘ulama Islam dari zaman ke zaman. Karena merupakan hasil penelitian, maka ilmu-ilmu itu memiliki sifat dinamis atau berkembang dari masa ke masa, kecuali untuk ‘aqidah yang sifatnya baku dan tidak akan berubah sampai akhir zaman. Prinsip-prinsip atau kaidah utama ini lebih dikenal dengan istilah ushuluddin dan semua telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Siapapun tidak berhak untuk mengadakan sesuatu yang baru, yang tidak ada contoh sebelumnya, apalagi sampai mengatakan hal tersebut bagian dari agama.
Meskipun dinamis, tetapi Islam juga memiliki kaidah yang dipegang oleh para ‘ulama ketika mengeluarkan sebuah hukum atau dalam bahasa syariatnya istinbath. Dalam beberapa hal, kaidah-kaidah ini sangat penting untuk diketahui, tidak saja oleh para ‘ulama itu sendiri, akan tetapi juga oleh umat Islam secara umum terutama kaidah-kaidah yang sifatnya pokok (ushul).

Kaidah-Kaidah yang Berkaitan dengan Amar & Nahi
Amar adalah tuntutan mengerjakan suatu perbuatan dari yang lebih tinggi derajatnya, untuk bawahannya. Kaidah-kaidah yang berkaitan dengan amar sebagai berikut:
1. Amar menunjukkan arti “wajib”. Pada dasarnya amar menunjukkan arti wajib, dan tidak menunjukkan kepada arti. Bagi Abu Hasyim dan mayoritas kaum Muktazilah serta segolongan ulama fiqhiyyah menetapkan bahwa pada dasarnya amar itu menunjukkan sunat. Golongan yang menetapkan arti sunat beralasan bahwa memang amar itu sesekali bermakna wajib dan sesekali bermakna sunat, namun makna sunat merupakan makna yang yakin karena pada dasarnya seseorang itu bebas dari tanggungan.
2. Amar dan Perintah Pengulangan. Abu Hanifa, al-Amidi, as-Subki dan muktazila menyatakan bahwa amar itu tidak menghendaki adanya pengulangan. Para ulama memberikan argumentasi bahwasanya amar itu tidak menghendaki adanya pengulangan, hal itu karena tututan dalam bahasa Arab lazimnya cukup dilakukan hanya sekali saja, lagi pula asal dari sesuatu itu lepas dari tanggungan.
3. Amar dan Kesegeraan Melakukan Perintah. Jumhur Hanafiyadan dari golongan Syafi’iyah menetapkan bahwa mar itu tidak menghendaki kesegeraan. Mereka beralasan bahwa pemenuhan perintah itu bukan diletakkan pada kesegeraannya tetapi kesempurnaan atas pemenuhan perintah itu, kacuali ada qarinah yang menyertainya. Bagi Ulama Malikiah, Hanbaliah dan sebagainya hanafiah berpendapat bahwa perintah itu menunjukkan kesegeraan, karena tuntutan meninggalkan nahi juga menunjukkan kesegeraan, lagi pula Allah melaknat Iblis yang tidak bersujud kepada Adam ketika ditiupkan roh kepadanya.
4. Amar dan Mediumnya. Jumhur ulama menyatakan perintah pada sesuatu maka perintah pula melakukan mediumnya. Medium dalam kaitan ini dibagi tiga macam, yaitu medium syar’i, yakni medium yang sudah ditetapkan ketetapannya oleh syara’ seperti wudhu (bersuci) merupakan medium bagi shalat, kedua medium erfi (adat) seperti tangga merupakan medium untuk naik ke atas dan ketiga medium ‘aqli, seperti penggunaan alam sebagai medium untuk mengenal Allah.
5. Amar dan Perintah Meninggalkan Kebalikannya. Mayoritas Ulama Hanafiyah dan para Muhadditsin menyatakan bahwa perintah pada sesuatu berarti melarang atas kebalikannya. Misalnya perintah beriman maka dilarang untuk berkufur, seruan berdiri di waktu shalat berarti berarti larangan meninggalkan shalat.
6. Pemenuhan Perintah dan Keguguran Kewajiban. Jumhur ulama menganggap sah dan tidak perlu diulangi lagi perintah yang telah dilaksanakan dengan syarat dan rukunnya. Kalau tidak sah maka seseorang merasa kesulitan memenuhi kewajiban selama-lamanya, lagi pula qada’(melakukan sesuatu kewajiban yang tidak memenuhi kemaslahatan perintah) itu masih dipertentangkan keabsahannya.
7. Qada dan status Perintahnya. Jumhur Ulama mensyaratkan agar qada’ (melakukan kewajiban setelah waktunya habis) itu dibutuhkan perintah baru, karena pada dasarnya melakukan kewajiban itu tepat pada waktunya dan jika di luar waktunya berarti itu menyalahi aturan yang ada.
8. Amar dan Cakupannya. Semua Ulama sepakat bahwa perintah yang dikaitkan dengan kriteria yang menyeluruh tidak boleh dipenuhi hanya sebagian saja. dengan kata lain perintah yang berkaitan dengan jenis tidak dapat diterima hanya dengan pemenuhan bagian-bagiannya saja. Misalnya perintah berpuasa 2 bulan berturut-turut bagi orang yang pernah bersenggama di waktu puasa Ramadhan bersama istrinya, perintah itu tidak akan terpenuhi hanya dengan puasa sebulan atau berpuasa terhitung 2 bulan tapi tida berturut-turut.
9. Amar dan Kriteria Mengikuti. Jumhur ulama sepakat perintah yang dikaitkan dengan sesuatu nama, maka pelaksanaan samara cukup mengikuti kriteria maksimal. Misalnya ruku’ dalam shalah hingga tenang.
10. Amar dan Setelah Larangan. Imam syafi’i menyatakan bahwa perintah setelah larangan menunjukkan kebolehan. Seperti sabda Nabi Saw. : (Aku melarang kalian untuk berziarah kubur, tetapi kini berziaralah) (HR Muslim)
Kaidah-Kaidah Yang Berkaitan Dengan Nahi
Nahi (larangan) adalah tuntutan untuk meninggalkan perbuatan tertentu dari yang lebih tinggi menuju kepada yang lebih rendah tingkatnya. Kaidah-kaidah yang berkaitan dengan nahi adalah sebagai berikut:
1. Asal Hukum Nahi. Jumhur ulama menetapkan bahwa asal hukum larangan itu haram, sebab setiap larangan mengakibatkan kerusakan. Misalnya larangan merusak bumi oleh Allah Swt (QS. al-Baqarah:11) larangan zina (QS. al-Isra: 32) larangan menyembah berhala dan berkata dusta (QS al-Hajj: 30) larangan riba (QS al-Baqarah: 275) dan sebagainya.
2. Nahi dan Kebaikannya. Pada kaidah amar diterangkan bahwa perintah sesuatu berarti larangan atas sebaliknya. Misalnya larangan berzina berarti perintah meninggalkannya, larangan mencuri berarti perintah meninggalkannya dan sebagainya.
3. Nahi dan Pengulangan. Dalam kaitan pengulangan, ketentuan nahi berbeda dengan ketentuan amar, nahi menghendaki adanya pengulangan setiap larangan, sebab larangan itu menimbulkan kerusakan. Misalnya larangan dalam nahi kadang-kadang disebabkan oleh illat yang menyertai seperti seperti larangan shalat bagi wanita haid, dan ada juga karena disertai penyerta batas waktu, misalnya larangan puasa di dua hari raya.

Kaidah-Kaidah Yang Berkaitan Dengan ‘Am
‘Am (umum) adalah lafal yang menunjukkan pada satuan-satuan yang terbatas dari semua satuan yang tercakup pada maknanya tanpa terbatasi sesuatu baik tinjauan bahasa maupun tinjauan maksud pernyertanya. Kaidah-kaidah yang berkaitan dengan ‘am adalah sebagai berikut:
1. ‘Am dan Maksudnya. Makna ‘am itu menurut maksud lafalnya, demikian yang banyak dipegangi jumhur ulama. Sebagian pendapat menyatakan bahwa maksud dari lafal umum itu tidak hanya berlaku pada lafalnya tetapi juga berlaku pada maknanya.
2. ‘Am dan Ketentuan Hukum. Jumhur Ulama menetapkan bahwa keumuman lafal itu belum menunjukkan pada suatu hukum, karena hukum mencakup perkataan, perbuatan maupun si pelakunya, sedang umun itu masih belum mencakup keseluruhan itu. contoh semua pencuri harus dipotong tangannya, padahal ketentuan potong tangan bagi pencuri itu ada ketentuan-ketentuan khusus.
3. ‘Am dan Cakupannya. Lafal ‘am itu keumumannya bersifat keseluruhan, sedang lafal umum yang mutlak itu bersifat sebagian. Lafal umum yang mencakup keseluruhan itu hukumnya ditujukan kepada setiap individu, sedang lafal umum yang menunjukkan sebagian maka hukumnya berlaku bagi individu tertentu.
Kaidah-Kaidah Yang Berkaitan Dengan Khas
Khas (khusus) adalah lafal yang menjelaskan makna satu dari satuan-satuannya. Adapun kaidah-kaidah yang berkaitan dengan khas adalah sebagai berikut:
1. Kebolehan Takhshish Pada Lafal Umum. Semua ulama sepakat mengkhususkan lafal yang umum, karena pada dasarnya semua ayat-ayat Al-Qur’an mengandung kebolehan mentahshishkan, baik tahsish muttashill, maupun munfashil. Sebagian Ulama merumuskan bahwa hanya lima ayat yang tidak memerlukan pengkhususan, yaitu: Masalah kesempurnaan dan keagungan Allah (QS. al-Baqarah: 282), keharaman menikahi ibu kandung (QS. Annisa: 22) setiap indifidu pasti mengalami kematian (al-Imran:185) dan sebagainya.
2. Jumlah Kadar Setelah Pengkhususan. Imam Syafi’i dan didukung oleh jumhur ulama menentukan bahwa jumlah kadar sesuatu setelah pengkhususan cukup satu saja misalnya “muliakan manusia kecuali orang-orang bodoh” jika yang cerdik hanya seseorang maka keberlakuan memuliakan orang itu tetap diadakan.
Kaidah-Kaidah Yang Berkaitan Dengan Mutlak Dan Muqayyad
Mutlak adalah lafal yang menunjukkan satuan yang tidak dibatasi oleh suatu batasan yang mengurangi keseluruhan jangkauannya. Sedangkan muqayyad adalah lafal yang menunjukkan satuan-satuan tertentu yang dibatasi oleh batasan yang mengurangi keseluruhan jangkauannya. Kaidah-kaidah yang berkaitan dengan muthlak dan muqayyad:
1. Hukum mutlak. Lafal mutlak dapat digunakan sesuai dengan kemutlakannya misalnya: ayat yang menyebut Wa ummahatu nisaaikum (ibu dari istri-istrimu) an-Nisa: 23 maka ayat itu tetap dipegangi kemutlakannya. Yakni ibu mertua tidak boleh dikawini.
2. Lafal Muqayyad. Lafal muqayyad tetap dinyatakan muqayyad selama belum ada bukti yang memutlakan. Misalnya: menyamakan istri dengan ibunya.
3. Hukum Mutlak Yang Sudah Dibatasi. Lafal mutlak jika telah ditentukan batasannya maka ia menjadi muqayyad. Misalnya ketentuan wasiat dalam Al-Qur’an an-Nisa: 11 masih bersifat mutlak tanpa adanya batasan berapa jumlah yang dikeluarkan, kemudian ayat tersebut dibatasi ketentuannya dengan sepertiga dengan harta yang ada.
Kaidah-Kaidah Yang Berkaitan Dengan Mujmal Dan Mubayyin.
Mujmal adalah lafal yang mengandung sejumlah keadaan atau hukum yang tercakup di dalamnya, dan tidak dapat diketahui ketentuannya tanpa adanya penjelasan lebih lanjut. Sedangkan mubayyin adalah mengeluarkan ketentuan dari yang sulit menuju ketentuan yang jelas. Bila terdapat lafal yang mengandung 2 visi, visi pertama mempunyai makna dan visi yang lain mempunyai makna 2 maka ketentuannya adalah: misalnya nikah dapat berarti akad dan kedua nikah berarti bersetubuh. Dua makna itu menunjukkan makna musytarak (lafal yang mempunyai makna lebih dari satu). Jika nikah itu diberi nama bersetubuh berarti hanya menunjukkan makna satu yakni bersetubuh untuk dirinya. Dan jika nikah diberi makna akad maka ia menunjukkan dua makna, makna pertama untuk dirinya dan kedua untuk orang lain
Kaidah-Kaidah yang Berkaitan Dengan Muradif dan Musytarak
Muradif adalah lafal yang hanya mempunyai satu makna sedangkan musytarak adalah lafal yang mempunyai dua makna atau lebih. Jumhur ulama menyatakan bahwa mendudukkan dua muradif pada tempat yang lain diperbolehkan selama hal itu tidak dicegah oleh pembuat syara’. Misalnya Al-Qur’an adalah mukjizat, baik dari sudut lafal maupun maknanya, karena itu tidak diperbolehkan mengubahnya. Bagi malikiah menyatakan bahwa tabir shalat tidak diperbolehkan kecuali (allahu akbar), sedangkan bagi abu hanifa memperbolehkan semua lafal yang semisal dengannya misalnya “allahul ajal” dan sebagainya.
Kaidah-Kaidah Yang Berkaitan Dengan Mantuq Dan Mafhum
Mantuk adalah lafal yang hukumnya memuat apa yang diucapkan (tersurat). sedangkan mafhum adalah lafal yang hukumnya terkandung dalam arti dibalik arti (tersirat).
Contoh mafhum muwafaqoh adalah larangan memukul orang tua dan larangan berkata ah (QS. al-Isra: 23)
Kaidah-Kaidah Yang Berkaitan Dengan Dhohir Dan Muawwal
Dhahir adalah damir yang menunjukkan makna secara langsung tampa memerlukan penyerta lain untuk memahami maksud lafal itu dan memungkinkan adanya takhsis maupun takwil serta nask di masa Rasulullah. Sedangkan muawwal adalah lafal yang dikeluarkan dari makna dhohirnya pada makna lain yang menghendakinya berdasarkan bukti yang menunjukkan demikian, serta memungkinkan adanya rajah.
Kaidah-Kaidah Yang Berkaitan Dengan Nasikh Mansukh
Nasikh adalah menghapus hukum yang sebenarnya masih berlaku dengan hukum baru, seandainya tidak ada penghapusan itu tentunya ia masih berlaku. Dari definisi ini para ushul fiqhi mengemukakan bahwa nask itu baru dianggap benar apabila:
1. Pembatalan dilakukan melalui tuntutan syarah yang mengandung hukum dari syarah (Allah dan Rasul ).
2. Hukum yang membatalkan hukum terdahulu datangnya kemudian artinya hukum syarah yang dibatalkan itu lebih dahulu datangnya dari hukum yang membatalkan. Oleh karena itu hukum yang berkaitan dengan syarah yang bersifat pengecualian tidak dinamakan nask.
DAFTAR PUSTAKA
Usman, Mukhlis, Haji. Kaidah-Kaidah Ushuliyah Dan Fiqhiyah. Cet. IV; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Haroen, Nasrun, Haji. Ushul Fiqhi 1. Cet. 2. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.


EmoticonEmoticon