Kamis, 07 April 2011

KARAKTERISTIK JAMÂ’AH SHUGHRÂ DAN JAMÂ’AH KUBRÂ

KARAKTERISTIK JAMÂ’AH SHUGHRÂ
DAN JAMÂ’AH KUBRÂ

Memperhatikan beberapa hadits  rasûlullâh saw. serta atsar para shahabat ridhwânullâh ‘alaihim ajma’în, ternyata kata al jamâ’ah memiliki makna yang berbeda-beda dalam penerapannya. Di samping memiliki makna jumlah, juga memiliki makna shifat, sehingga satu orang saja dapat dikatakan al jamâ’ah ketika dia berada dalam kebenaran (al haq). Namun secara umum, bila dikatakan  al jamâ’ah, berarti menunjukkan banyak atau kumpulan, dan makna kumpulan masih memerlukan penafsiran yang lebih rinci, apakah kumpulannya bersifat kecil (shughrâ) atau kumpulan yang bersifat besar (kubrâ)?
Tentu saja, makna kecil dan besar (shughrâ wa kubrâ) yang dimaksud tidak sekadar dilihat dari jumlahnya, melainkan dari ruang lingkup yang lebih khusus yaitu persoalan kepemimpinan (imâmah). Kepemimpinan yang cakupannya lebih kecil disebut imâmah shughrâ atau jamâ’ah shughrâ, sedangkan kepemimpinan yang cakupannya lebih besar dan lebih menyeluruh disebut imâmah kubrâ atau jamâ’ah kubrâ.
Jamâ’ah Shughrâ
Jamâ’ah shughrâ adalah kumpulan orang-orang dalam melaksanakan suatu tujuan; kumpulan ini merupakan tahapan atau suatu proses dalam menuju sebuah urusan yang lebih besar, yaitu kepemimpinan yang lebih besar. Betapapun kecilnya sebuah jamâ’ah, tetap wajib ditegakkan. Di samping ada teks (nash) ayat atau pun hadits  rasûlullâh saw. yang mengisyaratkan pentingnya hidup berjamâ’ah, juga merupakan perantara (wasîlah) untuk dapat menegakkan jamâ’ah kubrâ. Bagaimanapun, tidak mungkin membangun sesuatu yang besar, tanpa menempuh proses yang kecil terlebih dahulu.
Minimalnya, ada beberapa peranan penting jamâ’ah shughrâ, diantaranya:
  1. Sebagai syi’ar ta’abbudy dan pembinaan kepribadian.
Pada dasarnya, Islam mendudukkan konsep jamâ’ah sebagai sesuatu yang luhur dan agung, yang dengan keluhurannya itu mewujudkan sebuah syi’ar ta’abbudy yang erat hubungannya dengan pembinaan kedisiplinan setiap pribadi muslim, contohnya shalat berjamâ’ah. Dikatakan shalat berjamâ’ah, semakin jumlahnya banyak, semakin bertambah pula nilainya dan semakin dicintai Allah ‘Azza wa jalla.
Rasûlullâh saw. bersabda:
“Shalatnya seseorang bersama yang lainnya itu lebih baik daripada shalat sendirian dan shalat berjamâ’ah dengan banyak orang itu, lebih disukai Allah ‘Azza wa jalla (H.R. Abu Dâwud dan an Nasâ`i dari Ubay bin Ka’ab ra. dan dishahihkan oleh Imam Ibnu Hibban)
Bahkan rasûlullâh saw. pernah menegur seseorang yang tidak mengikuti shalat berjamâ’ah, seraya berkata:
                                                                                            
أَلاَ رَجُلٌ يَتَصَدَّقُ عَلَى هذَا فَيُصَلِّى مَعَهُ، فَقَامَ رَجُلٌ مَعَهُ
“Ingatlah, siapa saja yang ingin mendapatkan pahala, maka hendaklah dia shalat bersamanya. Maka orang itupun berdiri (shalat) bersamanya.” (H.R. Ahmad dari Abi Sa’îd, berkata al Haitsami: rijal haditsnya shahîh. Lihat As Shan’ani, Subulus Salam 2/74-76)
Hadits  tersebut menunjukkan, betapa permasalahan jamâ’ah dalam shalat bukanlah hal yang kecil kedudukannya dalam Islam, sebuah kedisiplinan kepribadian yang melahirkan keseragaman dalam bertindak di bawah satu komando yaitu Imam.
Dengan demikian, menurut Abdurrahman Abdul Khâliq, semakin jelas bahwa shalat berjamâ’ah merupakan salah satu sendi Islam, jika orang Islam meninggalkan sama sekali shalat berjamâ’ah, berarti telah meruntuhkan salah satu sendinya. Hilangnya shalat berarti dosa bagi semua. (lihat Masyrû’iyyah ‘Amal Jamâ’i, hal. 10)
  1. Sebagai penguat bangunan Tanzhîm Imâmah
Berdirinya sebuah bangunan, sangat tergantung kepada komponen-komponen pendukungnya, mulai dari pondasi sampai atapnya. Demikian pula dengan jamâ’ah shughrâ, sangat ditentukan oleh perangkat-perangkatnya, mulai dari pemimpin (imam atau amîr) sampai kepada anggotanya, yaitu ummat yang dipimpinnya. Betapapun kecilnya sebuah jamâ’ah, sangat membutuhkan kehadiran seorang pemimpin, adanya struktur kepemimpinan dan adanya aturan (tanzhîm) yang disepakati berdasarkan musyâwarah (syûra), terlebih-lebih permasalahan ummat yang semakin komplek, al amru bil ma’rûf wan nahyu ‘anil munkar yang semakin meluas. Semua itu menuntut adanya sistem yang jelas dan membutuhkan banyak orang yang terlibat dengan menyesuaikan kemampuannya masing-masing. Meminjam bahasa Muhammad Quthb yang dinukilkan DR. Sayyid Muhammad Nuh sebagai berikut:
“Islam itu merawat dua kecenderungan dengan dosis yang sesuai, maka keduanya secara bersamaan mendapat perhatian dan menjadikan keduanya saling membutuhkan, sebab fithrah tidak akan tegak hanya dengan salah satu kecenderungan dengan mengabaikan kecenderungan yang lain, memperhatikan yang satu dan mengabaikan yang lain, memunculkan eksistensi yang satu dan menghilangkan eksistensi yang lain. Hal itu tidak boleh terjadi dan tidak ada dalam konsepsi Islam.“ (Sayyid Muhammad Nuh dalam Membentuk Kepribadian Islam, hal. 56)
Jamâ’ah Kubrâ
Membicarakan jamâ’ah kubrâ, berarti membicarakan konsep jamâ’atul muslimîn atau membicarakan pemerintahan Islam, dimana ummat telah sepakat mengangkat seorang pemimpin (amîr) yang kekuasaannya lebih menyeluruh. Demikian pula dengan doktrin imâmah, imârah dan jamâ’ahnya sangatlah mengikat dan berlaku untuk seluruh ummat, tanpa memandang lagi komunitas-komunitas kecil. Semuanya wajib patuh dan taat dalam satu kepemimpinan. Itulah yang disebut imâmah kubrâ atau imâmah uzhma.
Adapun tujuan pokok pemerintahan Islam tersebut adalah: menciptakan kemashlahatan bagi manusia dan mencegah segala bahaya, menegakkan keadilan dan melarang semua permusuhan antara manusia. (lihat DR. Abdul Ghafur Aziz dalam Islam Politik Pro dan Kontra, hal. 93)
Dalam bahasa Imam al Mawardy: “Imâmah merupakan pimpinan tertinggi dalam negara sebagai khilafah kenabian untuk  mengawal agama dan siasat keduniaan (hirâsatud dîn wa siyâsatud dunya). (al Mawardy dalam al Ahkâm as Sulthâniyyah, hal. 5)
Perbedaan Antara Jamâ’ah Shughrâ Dengan Jamâ’ah Kubrâ
Pada prinsipnya antara jamâ’ah shughrâ dan jamâ’ah kubrâ, memiliki banyak persamaan dalam menentukan tujuan gerakannya, kesinambungan keduanya tidak dapat dipisahkan, karena wujudnya masyarakat Islam (al Mujtama’ al Islâmy) yang lebih besar sangat ditentukan oleh adanya jamâ’ah shughrâ. Oleh karenanya, lebih tepat bila dikatakan bahwa jamâ’ah shughrâ merupakan bagian dari jamâ’ah kubrâ (jamâ’atun min jamâ’atil muslimîn), sekalipun memiliki perbedaan yang mendasar. Adapun perbedaan dimaksud adalah: jamâ’ah shughrâ sasarannya bersifat khusus, doktrinnya bersifat relatif, gerakannya bersifat lokal dan sektoral, operasional kerjanya bersifat parsial dan pembentukannya terkadang bersifat spontanitas, serta apabila menyelisihinya tidak menyebabkan keluar dari Islam melainkan dia berbuat maksiat karena tidak ta’at kepada Imam. Sedangkan jamâ’ah kubrâ sasarannya bersifat umum, doktrinnya bersifat pasti, gerakannya mendunia, operasional kerjanya bersifat universal dan pembentukannya senantiasa bertahap serta apabila menyelisihinya dapat menyebabkan keluar dari keislaman dan halal darahnya untuk mengalir disebabkan tidak ta’at kepada Imam kaum muslimin.
Perbedaan yang terakhir inilah yang sangat nampak untuk membedakan keduanya, dimana rasûlullâh saw. pernah mengisyaratkan:
فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يُّفَرِّقَ أَمْرَ هَذِهِ الْأُمَّةِ وَهِيَ جَمِيْعٌ فَاضْرِبُوْهُ بِالسَّيْفِ كَا ئِنًا مَنْ كَانَ (رواه مسلم)
“Siapa saja yang memecah belah urusan ummat ini setelah dikukuhkannya jamâ’ah dan Imam oleh kaum muslimin, hendaklah dibunuh siapapun orangnya.” (H.R. Muslim 2/200 dari Shahabat ‘Arfajah ra.)
Dalam riwayat lain disebutkan:
إِذَا بُوْيِعَ لِخَلِيْفَتَيْنِ فَاقْتُلُوْا الاخَرَمِنْهُمَا (رواه مسلم)
“Apabila dibai’at dua orang khalifah, hendaklah dibunuh salah satunya.” (H.R. Muslim 2/201 dari shahabat Abi Sa’îd al Khudriy ra.)
Hadîts yang terakhir itu menunjukkan betapa rasûlullâh saw.  sangat menekankan kepatuhan hanya kepada seorang imam dan tidak ada imam tandingan.


EmoticonEmoticon