Jumat, 08 April 2011

Kontroversi Ujian Nasional

Kontroversi Ujian Nasional


Kontroversi Ujian Nasional

A. Sekilas Tentang Kontroversi Ujian Nasional

Pelaksanaan Ujian Nasional di Indonesia telah dimulai sejak tahun 2004 silam, sebagai bagian dari rencana jangka panjang pemerintah meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Pada awal pelaksanaannya mata pelajaran yang diujikan bersifat umum meliputi bahasa Indonesia, matematika dan bahasa Inggris. Namun pada tahun 2009 jumlah mata pelajaran yang diujikan meningkat menjadi enam mata pelajaran yang disesuaikan dengan penjurusan siswa (kelas Bahasa, IPA dan IPS). Begitu pun standar nilai rata-rata ditingkatkan secara bertahap dari tahun ke tahun, mulai dari 4.1 hingga sekarang rata-rata 5.5. Jika pada awalnya UN hanya diperuntukkan pada tingkat menengah atas (SMA) sekarang meliputi juga SMP dan bahkan SD.

Berdasarkan definisi awalnya UN merupakan ujian tertulis yang menjadi salahsatu faktor penentu kelulusan siswa. Sampai di sini tidak ada masalah dan telah menjadi suatu keharusan dalam sistim pendidikan modern. Permasalahan muncul ketika UN diberlakukan secara nasional dan menjadi satu-satunya faktor yang menentukan kelulusan siswa bersangkutan. Dalam argumennya pemerintah menekankan bahwa UN perlu terus dijalankan untuk meningkatkan kualitas SDM Indonesia agar tidak semakin tertinggal dari negara-negara lainnya, dan untuk kepentingan pemetaan pendidikan. Dalam catatan pemerintah juga disebutkan bahwa dari tahun ke tahun telah terjadi peningkatan jumlah kelulusan siswa, dan betapa ternyata UN juga terbukti telah meningkatkan semangat belajar siswa dan kualifikasi guru bersangkutan.

Sementara di sisi lain, sebagian budayawan dan pakar pendidikan nasional kerap mengkritisi kebijakan standarisasi UN. Megawati misalnya, dalam kapasitasnya sebagai budayawan, menilai UN sebagai anti kebhinekaan karena mengabaikan perbedaan-perbedaan kultur lokal dan geografi; sementara Winarno Surakhmad menilai UN sebagai salahsatu bentuk reduksionisme pendidikan di Indonesia. Dalam pandangannya Indonesia tidak bisa diseragamkan, harus ada pembedaan dan penekanan yang khas daerah masing-masing. Kritik lainnya menyangkut efek domino negative dari diberlakukannya standarisasi UN secara nasional, seperti: ditekannya kreativitas guru dan sekolah, terpinggirkannya ilmu akhlaq dan budaya, tersitanya waktu luang siswa untuk kegiatan mandiri sebagai akibat dari fokus siswa dan pihak sekolah terhadap UN semata.

Tujuan makalah ini pada awalnya hanyalah sekadar menjabarkan sistim pendidikan Islam di masa keemasannya (Daulah Abbasiah). Namun demikian dalam hemat penulis, deskripsi histories semata tidak memiliki arti apa-apa. Karena itu penulis coba mengkaitkannya dengan permasalahan pendidikan nasional kontemporer, dalam hal ini kontroversi seputar UN. Studi komparasi histories seperti ini sendiri penting dalam rangka, dengan meminjam istilah Mulyadhi Kartanegara, reaktualisasi tradisi ilmiah Islam. Bagaimana pun penulis sadar bahwa studi ini hanya bersifat pengantar semata, dan memerlukan lebih banyak penelitian lanjutan.



B. Pendidikan Islam di Masa Keemasan

Secara umum yang dimaksud dengan masa keemasan Islam adalah masa kekuasaan Daulah Abbasiah pada sekitar abad 8 M hingga 13 M yang diakhiri dengan hancurnya Baghdad akibat serangan bangsa Mongol. Pada masa inilah peradaban Islam mencapai masa keemasannya dengan menjadi pemimpin bagi peradaban dunia saat itu. Pada masa ini pula lahir dan berkembang sains dan filsafat dalam Islam. Di antara tokoh-tokohnya adalah: dalam bidang kedokteran seperti, Ar Razi (932 M), Ibn Sina (1037 M) dan Az Zahrawi (1009 M); dalam bidang matematika dan sains seperti, Al Khawarizmi (penemu aljabar, 846 M), Ibn Haitam (1039 M), Al Biruni (1048 M), Jabir ibn Hayyan (dalam kimia, 815 M); dalam bidang politik dan etika seperti, Al Farabi, Ibn Khaldun, Al Gozali dan Ibn Taimiyyah.

Tentunya ketika kita membahas masalah kemajuan sebuah peradaban maka tidak bisa dilepaskan dari sistim pendidikan yang berlaku pada saat itu. Mulyadhi Kartanegara dan Azyumardi Azra dalam bukunya menekankan berkali-kali bahwa pendidikan adalah factor kunci kemajuan sebuah peradaban. Secara umum sistim pendidikan yang berlaku pada masa itu dapat dibagi menjadi dua, pendidikan formal dan informal. Pendidikan formal berupa madrasah (termasuk juga jami’ah). Sedang informal meliputi perpustakaan, rumah sakit, observatorium, akademi dan halaqah.

Charles M. Stanton menganggap madrasah sebagai the higher institution of learning setaraf dengan universitas. Namun berbeda dengan universitas Eropa dan modern, madrasah lebih menekankan pada aspek pendidikan agama (fiqih dan teologi). Madrasah pertama yang didirikan secara khusus oleh Negara dan islam sunni adalah Nizhamiyyah (11 M) dan dilanjutkan dengan Muntansiriyyah (13 M) di Bagdad. Cabang-cabang dari madrasah Nizhamiyyah meliputi kota-kota besar Islam lainnya seperti Thus, Syiraz dan Nishapur. Madrasah-madrasah ini mendapat dukungan besar dari negara, bukan saja untuk biaya pendirian dan pemeliharaan, tetapi juga program beasiswa. Suasana madrasah telah menciptakan suatu atmosfer pendidikan yang khas dengan memadukan kehidupan akademik dengan kehidupan social dari orang-orang yang tinggal di dalam lingkungannya, sebuah asimilasi mahasiswa ke dalam kehidupan akademis dan dunia intelektual. Masyarakat Islam sendiri sangat menghormati kegiatan menuntut ilmu dan tidak menuntut siswa agar segera menyelesaikan satu paket kurikulum, lalu mencari pekerjaan.

Walau pun kurikulum madrasah lebih cenderung pada masalah ushuluddin, namun bukan berarti bidang lainnya tidak mendapat tempat. Berdasarkan catatan Ikhwan al Shafa pada abad 10 mengenai kurikulum madrasah, dapat diketahui bahwa selain ilmu agama juga dipelajari disiplin-disiplin ilmu lainnya seperti ilmu umum (tulis baca, jual beli, pertanian dan ilmu praktis lainnya) dan ilmu filosofis (matematika, logika dan lainnya). Metode yang umum digunakan adalah ta’liyah, atau debat tertulis dengan mengemukakan satu permasalahan yang lalu diikuti dengan jawaban (negative dan positif) serta penyelesaian yang tepat dengan sedikit rasionalisasi untuk mencapai kesimpulan (mirip dengan metode skolastik dialektika di universitas klasik Eropa). Metode lainnya adalah debat lisan (jadal) yang bersifat formal, tergantung pada aturan-aturan logika dan retorika di mana seseorang mempertahankan tesisnya menghadapi penantang yang coba membatalkan argumentasinya. Metode jadal sendiri dimulai dengan menyalin, menghafal dan lalu berdebat.

Tidak kalah pentingnya adalah peranan lembaga-lembaga pendidikan informal seperti akademi (tempat diselenggarakan kegiatan-kegiatan ilmiah) dan perpustakaan, di antaranya Baitul Hikmah di Baghdad dan Darul Hikmah di Mesir. Belum termasuk perpustakaan-perpustakaan pribadi dan toko-toko buku yang tersebar luas di kota-kota Islam. Koleksi perpustakaan Baitul Hikmah sendiri diperkirakan mencapai 600.000 jilid buku; observatorium dan rumah sakit. Observatorium sebagai sarana penelitian ilmiah informal dalam astronomi mencapai puncaknya pada abad 13 M dengan didirikannya observatorium Maraghah yang melahirkan para astronom seperti Nashirudin Thusi, Qutb al din Syirazi dan Najm al Din Qazwini. Sementara rumah sakit seperti al Abudi di Baghdad, dan al Nuri di Damaskus telah menjadi sedemikian besar dan maju hingga terdapat ruang-ruang khusus (spesialis) untuk penyakit berbeda termasuk penyakit jiwa; serta juga halaqah-halaqah sebagai pusat pengajaran esoterisme Islam yang berkembang pesat terutama paska invasi Mongol.

Satu catatan penting di sini adalah, banyak di antara pemikir Islam terkemuka saat itu yang justru mendapat pendidikan dari jalur non formal seperti ini. Dalam kasus Ibn Sina misalnya, pihak keluarga mengundang beberapa guru privat yang menjadi inspirasi bagi Ibn Sina untuk belajar lebih lanjut secara autodidak.



C. Beberapa Kritik-Historis Ujian Nasional

Penulis sadar bahwa terdapat perbedaan secara mendasar situasi dan kondisi bangsa Indonesia kontemporer dengan daulah Abbasiah masa klasik. Namun demikian bukan berarti studi komparasi histories seperti ini menjadi mustahil, mengingat salahsatu fungsi utama ilmu sejarah adalah untuk dijadikan pelajaran dalam memandang masa depan. Peranan sejarah yang seperti ini oleh Louis Gootschalk diibaratkan seperti batu permata yang diselimuti oleh lumpur kotor—bukankah batu permata justru menjadi semakin berharga karena adanya lumpur-lumpur kotor tak berharga di tempat kita mengambilnya? Lewat analogi seperti ini kiranya bisa dipahami bahwa sekali pun peradaban modern telah sedemikian majunya dalam berbagai aspek, namun bukan berarti tidak ada pelajaran-pelajaran berharga yang bisa dipetik dari sejarah Islam masa klasik.

Berdasarkan deskripsi histories pada bab dua, penulis mengambil kesimpulan bahwa setidaknya terdapat empat factor yang cukup penting untuk diangkat di sini kaitannya dengan pelaksanaan UN: pertama masalah kreativitas guru; kedua, masalah besarnya peranan lembaga non formal; ketiga, masalah metode ta’liqah dan jadal; dan terakhir, tujuan pendidikan itu sendiri. Sebagaimana telah dijelaskan pada bab pendahuluan bahwa UN, tanpa mengabaikan efek positifnya, telah menimbulkan efek domino negative berupa dipersempitnya ruang gerak guru bersangkutan, semakin menjamurnya lembaga-lembaga non formal yang mendukung persiapan UN dan penekanan pendidikan pada aspek kognitif anak semata.

Standarisasi UN dan meningkatnya nilai minimal kelulusan siswa tidak bisa dipungkiri telah meningkatkan motivasi belajar dan focus para siswa. Namun sayangnya hanya pada mata pelajaran yang diujikan. Hal ini berarti terpinggirkannya mata pelajaran non UN seperti pendidikan akhlaq dan budaya. Begitu pun metode ajar guru terpaku pada kurikulum nasional dengan hanya memberi sedikit ruang gerak bagi kreativitas guru bersangkutan. Fakta ini jelas memprihatinkan mengingat pada masa keemasan islam, kreativitas guru telah menjadi factor yang amat penting.guru bukan sekadar berperan sebagai pengajar di depan kelas, namun terutama sebagai inspirator bagi siswa untuk belajar secara mandiri. Ibn Sina ketika membicarakan masalah pendidikan menitikberatkan pada konsep self-education seperti ini.

UN juga telah menjadikan lembaga non formal menjamur dan semakin diburu para siswa. Namun sayangnya lembaga yang marak tesebut hanya lembaga yang sekadar mengajarkan tips dan trik UN, atau lembaga pendukung lembaga formal. Hal ini menjadikan waktu luang siswa bersangkutan untuk belajar secara mandiri sesuai dengan minat dasarnya menjadi amat terkurangi. Di masa keemasan islam kita melihat bahwa lembaga pendidikan non formal yang berkembang justru tidak memiliki keterikatan dengan kurikulum lembaga pendidikan formal, dan memiliki peran sama pentingnya dengan lembaga pendidikan formal; sementara lembaga formal focus pada ilmu keagamaan, lembaga non formal justru menjadi sarana pendidikan ilmu filosofis dan praktis. UN pada akhirnya juga amat menekankan pada aspek hapalan siswa, sementara kita melihat pada masa keemasan islam metode hapalan tersebut mesti diiringi dengan debat (argumentasi) baik secara tertulis (ta’liqah) maupun lisan (jadal).

Akan halnya tujuan pendidikan pada masa keemasan islam bukanlah untuk sekadar memenuhi standar nilai semata (aspek kognitif), namun terutama dalam pembentukan karakter siswa. Tujuan pendidikan dalam islam secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, tujuan akhir dan antara. Tujuan antara meliputi tujuan individual (kaitan dengan pendidikan pribadi dan karakter siswa), tujuan social (hubungan siswa dengan masyarakat dan lingkungan) dan tujuan professional (kaitan dengan aktivitas dalam masyarakat dan tuntutan profesi). Sementara tujuan akhir nya adalah menciptakan pribadi-pribadi hamba tuhan yang bertaqwa. Sistim pendidikan ala Barat seperti standarisasi UN secara nasional dengan mengabaikan aspirasi dan keunikan budaya local, justru akan menciptakan split personalities dan marginal men yang terasing dan terkucil dari lingkungan dan masyarakat tempatnya bernaung dan mengabdi di kemudian hari.

Referensi

- Azra, Azyumardi, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1998).
- Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah, (UI-Press: Jakarta, 1986).
- Kartanegara, Mulyadhi, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, (Jakarta: Baitul Ihsan, 2006).
- Stanton, Charles M., Pendidikan Tinggi Dalam Islam, (Jakarta: Logos, 1994)
- Watt, W. Montgomery Kejayaan Islam: Kajian Kritis Dari Tokoh Orientalis, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990),
- ST Sularto, “Winarno Surakhmad, Belajar Mendengarkan” dalam harian, Kompas, (selasa, 23 Juni 2009), h. 16.



















































































- http://www.suaramerdeka.com/harian/0511/09/nas21.htm

hukum kawin kontrak - perugiana_fachri - 17 Oct 2009 01:38


تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما ان تمسكتم بهما: كتاب الله وسنة رسوله


“Aku tinggalkan kepada kalian dua hal yang kalian tidak akan tersesat jika berpegang teguh kepada keduanya: kitab Allah (al-quran) dan sunnah rasulNya” .


Dari hadis tersebut dapat diketahui bahwa ajaran yang tidak sesuai dengan kitabullah dan sunnah rasulNya adalah ajaran yang tersesat jalan, termasuk dalam hal pernikahan.

Dalam ajaran Islam, maksud utama dari pernikahan itu selain sebagai ibadah adalah untuk membangun ikatan keluarga yang langgeng (mitsaqan ghalidzha) yang dipenuhi dengan sinar kedamaian (sakinah), saling cinta (mawaddah), dan saling kasih-sayang (rahmah). Dengan begitu, ikatan pernikahan yang tidak ditujukan untuk membangun rumah tangga secara langgeng, tidaklah sesuai dengan tujuan ajaran Islam.


Di samping itu, jika kita tengok sejarah awal Islam, di mana ketika itu masyarakat jahiliyah tidak memberikan kepada wanita hak-haknya sebagaimana mestinya karena wanita ketika itu lebih dianggap sebagai barang yang bisa ditukar seenaknya, dapat kita ketahui betapa ajaran Islam menginginkan agar para wanita dapat diberikan hak-haknya sebagaimana mestinya. Oleh karenanya, dengan syariat nikah menurut Islam ini, ajaran Islam ingin melindungi para wanita untuk mendapatkan hak-haknya. Para wanita tidak dapat dipertukarkan lagi sebagaimana zaman jahiliyah. Para wanita selain harus menjalankan kewajibannya sebagai istri, juga mempunyai hak untuk diperlakukan secara baik (mu’asyarah bil ma’ruf), dan ketika suami meninggal ia juga dapat bagian dari harta warisan.


Demikian tujuan nikah menurut ajaran Islam. Sedangkan nikah mut’ah adalah nikah kontrak dalam jangka waktu tertentu, sehingga apabila waktunya telah habis maka dengan sendirinya nikah tersebut bubar tanpa adanya talak. Dalam nikah mut’ah si wanita yang menjadi istri juga tidak mempunyai hak waris jika si suami meninggal. Dengan begitu, tujuan nikah mut’ah ini tidak sesuai dengan tujuan nikah menurut ajaran Islam sebagaimana disebutkan di atas, dan dalam nikah mut’ah ini pihak wanita teramat sangat dirugikan. Oleh karenanya nikah mut’ah ini dilarang oleh Islam.


Dalam hal ini syaikh al-Bakri dalam kitabnya I’anah at-Thalibin menyatakan:


وعلى كل فهو حرام ، إنما سمي بذلك لان الغرض منه مجرد التمتع لا التوالد والتوارث اللذان هما الغرض الاصلي من النكاح المقتضيان للدوام.


“Kesimpulannya, nikah mut’ah ini haram hukumnya. Nikah ini disebut nikah mut’ah karena tujuannya adalah untuk mencari kesenangan belaka, tidak untuk membangun rumah tangga yang melahirkan anak dan juga saling mewarisi, yang keduanya merupakan tujuan utama dari ikatan pernikahan dan menimbulkan konsekwensi langgengnya pernikahan”.


Memang benar bahwa nikah mut’ah ini pernah dibolehkan ketika awal Islam, tapi kemudian diharamkan, sebagaimana dinyatakan oleh al-Imam an-Nawawi dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim:

وَالصَّوَاب الْمُخْتَار أَنَّ التَّحْرِيم وَالْإِبَاحَة كَانَا مَرَّتَيْنِ، وَكَانَتْ حَلَالًا قَبْل خَيْبَر ، ثُمَّ حُرِّمَتْ يَوْم خَيْبَر، ثُمَّ أُبِيحَتْ يَوْم فَتْح مَكَّة وَهُوَ يَوْم أَوْطَاس، لِاتِّصَالِهِمَا، ثُمَّ حُرِّمَتْ يَوْمئِذٍ بَعْد ثَلَاثَة أَيَّام تَحْرِيمًا مُؤَبَّدًا إِلَى يَوْم الْقِيَامَة، وَاسْتَمَرَّ التَّحْرِيم
“yang benar dalam masalah nikah mut’ah ini adalah bahwa pernah dibolehkan dan kemudian diharamkan sebanyak dua kali; yakni dibolehkan sebelum perang Khaibar, tapi kemudian diharamkan ketika perang Khaibar. Kemudian dibolehkan selama tiga hari ketika fathu Makkah, atau hari perang Authas, kemudian setelah itu diharamkan untuk selamanya sampai hari kiamat”.


Alasan kenapa ketika itu dibolehkan melaksanakan nikah mut’ah, karena ketika itu dalam keadaan perang yang jauh dari istri, sehingga para sahabat yang ikut perang merasa sangat berat. Dan lagi pada masa itu masih dalam masa peralihan dari kebiasaan zaman jahiliyah. Jadi wajar jika Allah memberikan keringanan (rukhshah) bagi para sahabat ketika itu.

RE: hukum kawin kontrak - perugiana_fachri - 17 Oct 2009 01:41


Ada pendapat yang membolehkan nikah mut’ah ini berdasarkan fatwa sahabat Ibnu Abbas r.a., padahal fatwa tersebut telah direvisi oleh Ibnu Abbas sendiri, sebagaimana disebutkan dalam kitab fiqh as-sunnah:


وقد روي عن بعض الصحابة وبعض التابعين أن زواج المتعة حلال، واشتهر ذلك عن ابن عباس رضي الله عنه، وفي تهذيب السنن: وأما ابن عباس فانه سلك هذا المسلك في إباحتها عند الحاجة والضرورة، ولم يبحها مطلقا، فلما بلغه إكثار الناس منها رجع.


فقال ابن عباس: (إنا لله وإنا إليه راجعون)! والله ما بهذا أفتيت، ولا هذا أردت، ولا أحللت إلا مثل ما أحل الله الميتة والدم ولحم الخنزير، وما تحل إلا للمضطر، وما هي إلا كالميتة والدم ولحم الخنزير.

Diriwayatkan dari beberapa sahabat dan beberapa tabi’in bahwa nikah mut’ah hukumnya boleh, dan yang paling populer pendapat ini dinisbahkan kepada sahabat Ibnu Abbas r.a., dan dalam kitab Tahzhib as-Sunan dikatakan: sedangkan Ibnu Abbas membolehkan nikah mut’ah ini tidaklah secara mutlak, akan tetapi hanya ketika dalam keadaan dharurat. Akan tetapi ketika banyak yang melakukannya dengan tanpa mempertimbangkan kedharuratannya, maka ia merefisi pendapatnya tersebut. Ia berkata: “inna lillahi wainna ilaihi raji’un, demi Allah saya tidak memfatwakan seperti itu (hanya untuk kesenangan belaka), tidak seperti itu yang saya inginkan. Saya tidak menghalalkan nikah mut’ah kecuali ketika dalam keadaan dharurat, sebagaimana halalnya bangkai, darah dan daging babi ketika dalam keadaan dharurat, yang asalnya tidak halal kecuali bagi orang yang kepepet dalam keadaan dharurat. Nikah mut’ah itu sama seperti bangkai, darah, dan daging babi, yang awalnya haram hukumnya, tapi ketika dalam keadaan dharurat maka hukumnya menjadi boleh”


Namun demikian, pendapat yang menghalalkan nikah mut’ah tersebut tidaklah kuat untuk dijadikan dasar hukum. Sedangkan pendapat yang mengharamkannya dasar hukumnya sangat kuat, sebab dilandaskan di atas hadis shahih sebagai berikut :


عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْه قَالَ: نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْمُتْعَةِ عَامَ خَيْبَرَ (متفق عليه)


“Diriwayatkan bahwa sahabat Ali r.a. berkata: Rasulullah s.a.w. melarang nikah mut’ah ketika perang Khaibar” Hadis dianggap shahih oleh imam Bukhari dan Muslim.

عَنْ سَلَمَةَ بن الأكوع رضي الله عنه قَالَ: رَخَّصَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ أَوْطَاسٍ فِي الْمُتْعَةِ ثَلَاثًا ثُمَّ نَهَى عَنْهَا (رواه مسلم)

“Diriwayatkan bahwa sahabat Salamah bin al-Akwa’ r.a. berkata: Rasulullah s.a.w. memperbolehkan nikah mut’ah selama tiga hari pada tahun Authas (ketika ditundukkannya Makkah, fathu Makkah) kemudian (setelah itu) melarangnya” HR. Muslim.

RE: hukum kawin kontrak - perugiana_fachri - 17 Oct 2009 01:43


عن رَّبِيعُ بْنُ سَبْرَةَ الْجُهَنِيُّ أَنَّ أَبَاهُ حَدَّثَهُ أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الِاسْتِمْتَاعِ مِنْ النِّسَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخَلِّ سَبِيلَهُ وَلَا تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا (أخرجه مسلم وأبو داوود والنسائي وابن ماجة وأحمد وابن حبان)


“Diriwayatkan dari Rabi’ bin Sabrah r.a. sesungguhnya rasulullah s.a.w. bersabda: “wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku pernah mengizinkan nikah mut’ah, dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat, oleh karenanya barangsiapa yang masih mempunyai ikatan mut’ah maka segera lepaskanlah, dan jangan kalian ambil apa yang telah kalian berikan kepada wanita yang kalian mut’ah” HR. Muslim, Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah, Ahmad, dan Ibnu Hibban.


Hadis-hadis tersebut cukup kuat untuk dijadikan pijakan menetapkan hukum haram bagi nikah mut’ah, dan sangat terang benderang menjelaskan bahwa Islam melarang nikah mut’ah. Oleh karena itu, jika saat ini ada yang melaksanakan nikah mut’ah maka ia telah dianggap melanggar ajaran Islam dan secara otomatis nikahnya tersebut batal, sebagaimana disebutkan oleh al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim:


وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُ مَتَى وَقَعَ نِكَاح الْمُتْعَة الْآن حُكِمَ بِبُطْلَانِهِ سَوَاء كَانَ قَبْل الدُّخُول أَوْ بَعْده


“Para ulama sepakat (ijma’) bahwa jika saat ini ada yang melaksanakan nikah mut’ah maka hukumnya tidak sah (batal), baik sebelum atau sesudah dilakukan hubungan badan”


Dari penjelasan yang panjang-lebar tersebut, dapat disimpulkan bahwa nikah mut’ah pernah dibolehkan ketika zaman rasul s.a.w. masih hidup, tapi kemudian diharamkan oleh rasulullah s.a.w. sampai hari kiamat. Jika ada yang melaksanakan nikah mut’ah pada masa sekarang, maka nikah mut’ah tersebut hukumnya batal.


Dengan begitu, kiranya pertanyaan ibu sudah terjawab semuanya. Sebenarnya melalui pertanyaan yang ibu ajukan, saya menangkap kesan bahwa ibu sudah tidak yakin dengan sahnya nikah mut’ah yang ibu lakukan. Berkali-kali ibu menyebutkan ingin “nikah sesungguhnya”. Apalagi pernikahan ibu dilakukan “dengan tanpa diketahui siapapun”. Sedangkan dalam Islam pernikahan selain harus ada wali juga harus ada yang menjadi saksi, sehingga tetap harus ada orang yang menyaksikan. Selain itu, ajaran Islam juga sangat menganjurkan adanya walimah (semacam pesta). Tujuannya, agar semakin banyak orang yang menjadi saksi bahwa kedua orang tersebut telah menjalin ikatan pernikahan. Saksi ini penting, karena setelah akad nikah selesai kedua mempelai, yakni suami dan istri, saling mempunyai hak-hak perdata, misalnya dalam hal warisan. Jika ada sengketa di kemudian hari, misalnya, maka kedudukan istri untuk menuntut haknya akan semakin kuat, karena ada banyak saksi. Ketentuan ini tentu tidak berlaku terhadap nikah mut’ah, karena dalam nikah mut’ah ketika jangka waktu pernikahan telah habis, maka tanpa talakpun secara otomatis tidak ada lagi hubungan antara kedua orang tersebut. Dan jangan lupa, dalam nikah mut’ah istri tidak berhak mendapat warisan dari suami, ketika, misalnya, suaminya tersebut meninggal. Tegasnya, dengan nikah mut’ah, para wanita yang menjadi istri kedudukannya sangatlah lemah. Oleh karenanya Islam melarang nikah mut’ah tersebut.

Apabila kita renungkan dengan hati yang jernih, betapa ajaran Islam itu sangat indah, jika dilaksanakan dengan tulus ikhlas, sesuai dengan kehendak Allah SWT. Sekarang tinggal kemauan dan kesungguhan dari kita, umat manusia, untuk tunduk dan mematuhi sabda rasulullah s.a.w. tersebut. Kemuliaan di sisi Allah SWT adalah bagi orang yang rela mendahulukan dan tunduk kepada aturan-aturanNya sebagaimana disampaikan oleh utusanNya. Oleh karenanya, saya menyarankan kepada ibu, selagi masih ada kesempatan segeralah menyatakan penyesalan secara bersungguh-sungguh dengan bertaubat, dan mulailah dengan ikatan pernikahan yang diridhai oleh Allah SWT. Yakinlah, bahwa ampunan Allah itu maha luas, dan tetapkan hati bahwa Allah ‘azza wajalla akan senantiasa bersama orang yang tunduk terhadap aturan-aturanNya.



Pertanyaan

Assalamu’alaikum Wr. Wb. Saya ingin menanyakan tentang nikah mut’ah dalam Islam. Saya janda dengan dua orang anak yang ditinggal suami karena kematian. Saat ini saya menjalani pernikahan mut’ah dengan seorang laki-laki sudah dua tahun lamanya. Kami menikah dengan alasan tidak mau tidak dijalan Allah, saat kami menikah tidak ada siapapun yang tahu tentang pernikahan kami. Waktu terus berlanjut, tapi setiap saya menanyakannya tentang kapan pastinya pernikahan yang sesungguhnya akan dijalankan, pasangan saya selalu bicara dua tahun lagi. Saya mendesak banget kare keluarga juga sudah bertanya dan saya memikirkan perkembangan anak-anak saya nanti. Dia menunda pernikahan yang sebenarnya dengan alas an ada hal-hal yang harus dia buktikan dahulu (pekerjaan) kepada keluarganya. Padahal anak-anak saya sudah merasa bahwa dia adalah bapak mereka dan saya meyakini kalau rezeki tidak akan ke mana. Terus terang pengetahuan saya tentang aturan pernikahan memang tidak banyak, malah dahulu dia yang menyarankan untuk dilakukannya nikah mut’ah antara kami. Yang menjadi pertanyaan saya adalah: Apa dan bagaimana aturan/hadis tentang nikah mut’ah dalam Islam. Sampai kapan nikah mut’ah itu berlaku. Apa yang bisa saya jadikan alas an kuat kepada pasangan agar dapat segera melangsungkan pernikahan sesungguhnya. Demikian, dan terimakasih atas bimbingannya Wassalam, Khadijah, Batam


Jawaban

Alhamdulillah, was-shalatu was-salamu ‘ala rasulillah, la haula wala quwwata illa billah, waba’du.

Ibu Khadijah yang budiman, Saya mengapresiasi usaha ibu yang selalu mencari kebenaran, termasuk dalam hal status perkawinan ibu. Perlu diketahui, bahwa kebenaran menurut ajaran Islam adalah jika sesuai dengan firman Allah SWT dalam al-Quran al-karim dan sesuai dengan petunjuk rasulullah SAW dalam sunnahnya, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadis :

“Aku tinggalkan kepada kalian dua hal yang kalian tidak akan tersesat jika berpegang teguh kepada keduanya: kitab Allah (al-quran) dan sunnah rasulNya” .


Dari hadis tersebut dapat diketahui bahwa ajaran yang tidak sesuai dengan kitabullah dan sunnah rasulNya adalah ajaran yang tersesat jalan, termasuk dalam hal pernikahan.

Dalam ajaran Islam, maksud utama dari pernikahan itu selain sebagai ibadah adalah untuk membangun ikatan keluarga yang langgeng (mitsaqan ghalidzha) yang dipenuhi dengan sinar kedamaian (sakinah), saling cinta (mawaddah), dan saling kasih-sayang (rahmah). Dengan begitu, ikatan pernikahan yang tidak ditujukan untuk membangun rumah tangga secara langgeng, tidaklah sesuai dengan tujuan ajaran Islam.


Di samping itu, jika kita tengok sejarah awal Islam, di mana ketika itu masyarakat jahiliyah tidak memberikan kepada wanita hak-haknya sebagaimana mestinya karena wanita ketika itu lebih dianggap sebagai barang yang bisa ditukar seenaknya, dapat kita ketahui betapa ajaran Islam menginginkan agar para wanita dapat diberikan hak-haknya sebagaimana mestinya. Oleh karenanya, dengan syariat nikah menurut Islam ini, ajaran Islam ingin melindungi para wanita untuk mendapatkan hak-haknya. Para wanita tidak dapat dipertukarkan lagi sebagaimana zaman jahiliyah. Para wanita selain harus menjalankan kewajibannya sebagai istri, juga mempunyai hak untuk diperlakukan secara baik (mu’asyarah bil ma’ruf), dan ketika suami meninggal ia juga dapat bagian dari harta warisan.


Demikian tujuan nikah menurut ajaran Islam. Sedangkan nikah mut’ah adalah nikah kontrak dalam jangka waktu tertentu, sehingga apabila waktunya telah habis maka dengan sendirinya nikah tersebut bubar tanpa adanya talak. Dalam nikah mut’ah si wanita yang menjadi istri juga tidak mempunyai hak waris jika si suami meninggal. Dengan begitu, tujuan nikah mut’ah ini tidak sesuai dengan tujuan nikah menurut ajaran Islam sebagaimana disebutkan di atas, dan dalam nikah mut’ah ini pihak wanita teramat sangat dirugikan. Oleh karenanya nikah mut’ah ini dilarang oleh Islam.


Dalam hal ini syaikh al-Bakri dalam kitabnya I’anah at-Thalibin menyatakan:


“Kesimpulannya, nikah mut’ah ini haram hukumnya. Nikah ini disebut nikah mut’ah karena tujuannya adalah untuk mencari kesenangan belaka, tidak untuk membangun rumah tangga yang melahirkan anak dan juga saling mewarisi, yang keduanya merupakan tujuan utama dari ikatan pernikahan dan menimbulkan konsekwensi langgengnya pernikahan”.

Memang benar bahwa nikah mut’ah ini pernah dibolehkan ketika awal Islam, tapi kemudian diharamkan, sebagaimana dinyatakan oleh al-Imam an-Nawawi dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim:

“Yang benar dalam masalah nikah mut’ah ini adalah bahwa pernah dibolehkan dan kemudian diharamkan sebanyak dua kali; yakni dibolehkan sebelum perang Khaibar, tapi kemudian diharamkan ketika perang Khaibar. Kemudian dibolehkan selama tiga hari ketika fathu Makkah, atau hari perang Authas, kemudian setelah itu diharamkan untuk selamanya sampai hari kiamat”.


Alasan kenapa ketika itu dibolehkan melaksanakan nikah mut’ah, karena ketika itu dalam keadaan perang yang jauh dari istri, sehingga para sahabat yang ikut perang merasa sangat berat. Dan lagi pada masa itu masih dalam masa peralihan dari kebiasaan zaman jahiliyah. Jadi wajar jika Allah memberikan keringanan (rukhshah) bagi para sahabat ketika itu.

Ada pendapat yang membolehkan nikah mut’ah ini berdasarkan fatwa sahabat Ibnu Abbas r.a., padahal fatwa tersebut telah direvisi oleh Ibnu Abbas sendiri, sebagaimana disebutkan dalam kitab fiqh as-sunnah:


Diriwayatkan dari beberapa sahabat dan beberapa tabi’in bahwa nikah mut’ah hukumnya boleh, dan yang paling populer pendapat ini dinisbahkan kepada sahabat Ibnu Abbas r.a., dan dalam kitab Tahzhib as-Sunan dikatakan: sedangkan Ibnu Abbas membolehkan nikah mut’ah ini tidaklah secara mutlak, akan tetapi hanya ketika dalam keadaan dharurat. Akan tetapi ketika banyak yang melakukannya dengan tanpa mempertimbangkan kedharuratannya, maka ia merefisi pendapatnya tersebut. Ia berkata: “inna lillahi wainna ilaihi raji’un, demi Allah saya tidak memfatwakan seperti itu (hanya untuk kesenangan belaka), tidak seperti itu yang saya inginkan. Saya tidak menghalalkan nikah mut’ah kecuali ketika dalam keadaan dharurat, sebagaimana halalnya bangkai, darah dan daging babi ketika dalam keadaan dharurat, yang asalnya tidak halal kecuali bagi orang yang kepepet dalam keadaan dharurat. Nikah mut’ah itu sama seperti bangkai, darah, dan daging babi, yang awalnya haram hukumnya, tapi ketika dalam keadaan dharurat maka hukumnya menjadi boleh”


Namun demikian, pendapat yang menghalalkan nikah mut’ah tersebut tidaklah kuat untuk dijadikan dasar hukum. Sedangkan pendapat yang mengharamkannya dasar hukumnya sangat kuat, sebab dilandaskan di atas hadis shahih sebagai berikut :


“Diriwayatkan bahwa sahabat Ali r.a. berkata: Rasulullah s.a.w. melarang nikah mut’ah ketika perang Khaibar” Hadis dianggap shahih oleh imam Bukhari dan Muslim.


“Diriwayatkan bahwa sahabat Salamah bin al-Akwa’ r.a. berkata: Rasulullah s.a.w. memperbolehkan nikah mut’ah selama tiga hari pada tahun Authas (ketika ditundukkannya Makkah, fathu Makkah) kemudian (setelah itu) melarangnya” HR. Muslim.


“Diriwayatkan dari Rabi’ bin Sabrah r.a. sesungguhnya rasulullah s.a.w. bersabda: “wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku pernah mengizinkan nikah mut’ah, dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat, oleh karenanya barangsiapa yang masih mempunyai ikatan mut’ah maka segera lepaskanlah, dan jangan kalian ambil apa yang telah kalian berikan kepada wanita yang kalian mut’ah” HR. Muslim, Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah, Ahmad, dan Ibnu Hibban.


Hadis-hadis tersebut cukup kuat untuk dijadikan pijakan menetapkan hukum haram bagi nikah mut’ah, dan sangat terang benderang menjelaskan bahwa Islam melarang nikah mut’ah. Oleh karena itu, jika saat ini ada yang melaksanakan nikah mut’ah maka ia telah dianggap melanggar ajaran Islam dan secara otomatis nikahnya tersebut batal, sebagaimana disebutkan oleh al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim:


“Para ulama sepakat (ijma’) bahwa jika saat ini ada yang melaksanakan nikah mut’ah maka hukumnya tidak sah (batal), baik sebelum atau sesudah dilakukan hubungan badan”

Dari penjelasan yang panjang-lebar tersebut, dapat disimpulkan bahwa nikah mut’ah pernah dibolehkan ketika zaman rasul s.a.w. masih hidup, tapi kemudian diharamkan oleh rasulullah s.a.w. sampai hari kiamat. Jika ada yang melaksanakan nikah mut’ah pada masa sekarang, maka nikah mut’ah tersebut hukumnya batal.


Dengan begitu, kiranya pertanyaan ibu sudah terjawab semuanya. Sebenarnya melalui pertanyaan yang ibu ajukan, saya menangkap kesan bahwa ibu sudah tidak yakin dengan sahnya nikah mut’ah yang ibu lakukan. Berkali-kali ibu menyebutkan ingin “nikah sesungguhnya”. Apalagi pernikahan ibu dilakukan “dengan tanpa diketahui siapapun”. Sedangkan dalam Islam pernikahan selain harus ada wali juga harus ada yang menjadi saksi, sehingga tetap harus ada orang yang menyaksikan. Selain itu, ajaran Islam juga sangat menganjurkan adanya walimah(semacam pesta). Tujuannya, agar semakin banyak orang yang menjadi saksi bahwa kedua orang tersebut telah menjalin ikatan pernikahan. Saksi ini penting, karena setelah akad nikah selesai kedua mempelai, yakni suami dan istri, saling mempunyai hak-hak perdata, misalnya dalam hal warisan. Jika ada sengketa di kemudian hari, misalnya, maka kedudukan istri untuk menuntut haknya akan semakin kuat, karena ada banyak saksi. Ketentuan ini tentu tidak berlaku terhadap nikah mut’ah, karena dalam nikah mut’ah ketika jangka waktu pernikahan telah habis, maka tanpa talakpun secara otomatis tidak ada lagi hubungan antara kedua orang tersebut. Dan jangan lupa, dalam nikah mut’ah istri tidak berhak mendapat warisan dari suami, ketika, misalnya, suaminya tersebut meninggal. Tegasnya, dengan nikah mut’ah, para wanita yang menjadi istri kedudukannya sangatlah lemah. Oleh karenanya Islam melarang nikah mut’ah tersebut.


Apabila kita renungkan dengan hati yang jernih, betapa ajaran Islam itu sangat indah, jika dilaksanakan dengan tulus ikhlas, sesuai dengan kehendak Allah SWT. Sekarang tinggal kemauan dan kesungguhan dari kita, umat manusia, untuk tunduk dan mematuhi sabda rasulullah s.a.w. tersebut. Kemuliaan di sisi Allah SWT adalah bagi orang yang rela mendahulukan dan tunduk kepada aturan-aturanNya sebagaimana disampaikan oleh utusanNya. Oleh karenanya, saya menyarankan kepada ibu, selagi masih ada kesempatan segeralah menyatakan penyesalan secara bersungguh-sungguh dengan bertaubat, dan mulailah dengan ikatan pernikahan yang diridhai oleh Allah SWT. Yakinlah, bahwa ampunan Allah itu maha luas, dan tetapkan hati bahwa Allah‘azza wajalla akan senantiasa bersama orang yang tunduk terhadap aturan-aturanNya.





























































Posted: 11 Sep 2009 09:52 AM PDT

Islam adalah agama yang ilmiah. Setiap amalan, keyakinan, atau ajaran yang disandarkan kepada Islam harus memiliki dasar dari Al Qur’an dan Hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yang otentik. Dengan ini, Islam tidak memberi celah kepada orang-orang yang beritikad buruk untuk menyusupkan pemikiran-pemikiran atau ajaran lain ke dalam ajaran Islam.

Karena pentingnya hal ini, tidak heran apabila Abdullah bin Mubarak rahimahullah mengatakan perkataan yang terkenal:

الإسناد من الدين، ولولا الإسناد؛ لقال من شاء ما شاء


“Sanad adalah bagian dari agama. Jika tidak ada sanad, maka orang akan berkata semaunya.” (Lihat dalam Muqaddimah Shahih Muslim, Juz I, halaman 12)

Dengan adanya sanad, suatu perkataan tentang ajaran Islam dapat ditelusuri asal-muasalnya.

Oleh karena itu, penting sekali bagi umat muslim untuk memilah hadits-hadits, antara yang shahih dan yang dhaif, agar diketahui amalan mana yang seharusnya diamalkan karena memang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam serta amalan mana yang tidak perlu dihiraukan karena tidak pernah diajarkan oleh beliau.

Berkaitan dengan bulan Ramadhan yang penuh berkah ini, akan kami sampaikan beberapa hadits lemah dan palsu mengenai puasa yang banyak tersebar di masyarakat. Untuk memudahkan pembaca, kami tidak menjelaskan sisi kelemahan hadits, namun hanya akan menyebutkan kesimpulan para pakar hadits yang menelitinya. Pembaca yang ingin menelusuri sisi kelemahan hadits, dapat merujuk pada kitab para ulama yang bersangkutan.

Hadits 1

صوموا تصحوا

“Berpuasalah, kalian akan sehat.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Nu’aim di Ath Thibbun Nabawi sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidz Al Iraqi di Takhrijul Ihya (3/108), oleh Ath Thabrani di Al Ausath (2/225), oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (3/227).

Hadits ini dhaif (lemah), sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidz Al Iraqi di Takhrijul Ihya (3/108), juga Al Albani di Silsilah Adh Dha’ifah (253). Bahkan Ash Shaghani agak berlebihan mengatakan hadits ini maudhu (palsu) dalam Maudhu’at Ash Shaghani (51).

Keterangan: jika memang terdapat penelitian ilmiah dari para ahli medis bahwa puasa itu dapat menyehatkan tubuh, makna dari hadits dhaif ini benar, namun tetap tidak boleh dianggap sebagai sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.

Hadits 2

نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ ، وَصُمْتُهُ تَسْبِيْحٌ ، وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ ، وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ


“Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, do’anya dikabulkan, dan amalannya pun akan dilipatgandakan pahalanya.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi di Syu’abul Iman (3/1437).

Hadits ini dhaif, sebagaimana dikatakan Al Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul Ihya (1/310). Al Albani juga mendhaifkan hadits ini dalam Silsilah Adh Dha’ifah (4696).

Terdapat juga riwayat yang lain:

الصائم في عبادة و إن كان راقدا على فراشه


“Orang yang berpuasa itu senantiasa dalam ibadah meskipun sedang tidur di atas ranjangnya.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Tammam (18/172). Hadits ini juga dhaif, sebagaimana dikatakan oleh Al Albani di Silsilah Adh Dhaifah (653).

Yang benar, tidur adalah perkara mubah (boleh) dan bukan ritual ibadah. Maka, sebagaimana perkara mubah yang lain, tidur dapat bernilai ibadah jika diniatkan sebagai sarana penunjang ibadah. Misalnya, seseorang tidur karena khawatir tergoda untuk berbuka sebelum waktunya, atau tidur untuk mengistirahatkan tubuh agar kuat dalam beribadah.

Sebaliknya, tidak setiap tidur orang berpuasa itu bernilai ibadah. Sebagai contoh, tidur karena malas, atau tidur karena kekenyangan setelah sahur. Keduanya, tentu tidak bernilai ibadah, bahkan bisa dinilai sebagai tidur yang tercela. Maka, hendaknya seseorang menjadikan bulan ramadhan sebagai kesempatan baik untuk memperbanyak amal kebaikan, bukan bermalas-malasan.

Hadits 3

يا أيها الناس قد أظلكم شهر عظيم ، شهر فيه ليلة خير من ألف شهر ، جعل الله صيامه فريضة ، و قيام ليله تطوعا ، و من تقرب فيه بخصلة من الخير كان كمن أدى فريضة فيما سواه ، و من أدى فريضة كان كمن أدى سبعين فريضة فيما سواه ، و هو شهر الصبر و الصبر ثوابه الجنة ، و شهر المواساة ، و شهر يزاد فيه رزق المؤمن ، و من فطر فيه صائما كان مغفرة لذنوبه ، و عتق رقبته من النار ، و كان له مثل أجره من غير أن ينتقص من أجره شيء قالوا : يا رسول الله ليس كلنا يجد ما يفطر الصائم ، قال : يعطي الله هذا الثواب من فطر صائما على مذقة لبن ، أو تمرة ، أو شربة من ماء ، و من أشبع صائما سقاه الله من الحوض شربة لايظمأ حتى يدخل الجنة ، و هو شهر أوله رحمة و وسطه مغفرة و آخره عتق من النار ،


“Wahai manusia, bulan yang agung telah mendatangi kalian. Di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari 1. 000 bulan. Allah menjadikan puasa pada siang harinya sebagai sebuah kewajiban, dan menghidupkan malamnya sebagai ibadah tathawwu’ (sunnah). Barangsiapa pada bulan itu mendekatkan diri (kepada Allah) dengan satu kebaikan, ia seolah-olah mengerjakan satu ibadah wajib pada bulan yang lain. Barangsiapa mengerjakan satu perbuatan wajib, ia seolah-olah mengerjakan 70 kebaikan di bulan yang lain. Ramadhan adalah bulan kesabaran, sedangkan kesabaran itu balasannya adalah surga. Ia (juga) bulan tolong-menolong. Di dalamnya rezki seorang mukmin ditambah. Barangsiapa pada bulan Ramadhan memberikan hidangan berbuka kepada seorang yang berpuasa, dosa-dosanya akan diampuni, diselamatkan dari api neraka dan memperoleh pahala seperti orang yang berpuasa itu, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tadi sedikitpun” Kemudian para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, tidak semua dari kita memiliki makanan untuk diberikan kepada orang yang berpuasa.” Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berkata, “Allah memberikan pahala tersebut kepada orang yang memberikan hidangan berbuka berupa sebutir kurma, atau satu teguk air atau sedikit susu. Ramadhan adalah bulan yang permulaannya rahmat, pertengahannya maghfirah (ampunan) dan akhirnya pembebasan dari api neraka.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (1887), oleh Al Mahamili dalam Amaliyyah (293), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (6/512), Al Mundziri dalam Targhib Wat Tarhib (2/115)

Hadits ini didhaifkan oleh para pakar hadits seperti Al Mundziri dalam At Targhib Wat Tarhib (2/115), juga didhaifkan oleh Syaikh Ali Hasan Al Halabi di Sifatu Shaumin Nabiy (110), bahkan dikatakan oleh Abu Hatim Ar Razi dalam Al ‘Ilal (2/50) juga Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (871) bahwa hadits ini Munkar.

Yang benar, di seluruh waktu di bulan Ramadhan terdapat rahmah, seluruhnya terdapat ampunan Allah dan seluruhnya terdapat kesempatan bagi seorang mukmin untuk terbebas dari api neraka, tidak hanya sepertiganya. Salah satu dalil yang menunjukkan hal ini adalah:

من صام رمضان إيمانا واحتسابا ، غفر له ما تقدم من ذنبه


“Orang yang puasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari no.38, Muslim, no.760)

Dalam hadits ini, disebutkan bahwa ampunan Allah tidak dibatasi hanya pada pertengahan Ramadhan saja.

Adapun mengenai apa yang diyakini oleh sebagian orang, bahwa setiap amalan sunnah kebaikan di bulan Ramadhan diganjar pahala sebagaimana amalan wajib, dan amalan wajib diganjar dengan 70 kali lipat pahala ibadah wajib diluar bulan Ramadhan, keyakinan ini tidaklah benar berdasarkan hadits yang lemah ini. Walaupun keyakinan ini tidak benar, sesungguhnya Allah ta’ala melipatgandakan pahala amalan kebaikan berlipat ganda banyaknya, terutama ibadah puasa di bulan Ramadhan.

Hadits 4

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال : اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت فتقبل مني إنك أنت السميع العليم


“Biasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ketika berbuka membaca doa: Allahumma laka shumtu wa ‘alaa rizqika afthartu fataqabbal minni, innaka antas samii’ul ‘aliim.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya (2358), Adz Dzahabi dalam Al Muhadzab (4/1616), Ibnu Katsir dalam Irsyadul Faqih (289/1), Ibnul Mulaqqin dalam Badrul Munir (5/710)

Ibnu Hajar Al Asqalani berkata di Al Futuhat Ar Rabbaniyyah (4/341) : “Hadits ini gharib, dan sanadnya lemah sekali”. Hadits ini juga didhaifkan oleh Asy Syaukani dalam Nailul Authar (4/301), juga oleh Al Albani di Dhaif Al Jami’ (4350). Dan doa dengan lafadz yang semisal, semua berkisar antara hadits lemah dan munkar.

Sedangkan doa berbuka puasa yang tersebar dimasyarakat dengan lafadz:

اللهم لك صمت و بك امنت و على رزقك افطرت برحمتك يا ارحم الراحمين


“Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, kepada-Mu aku beriman, atas rezeki-Mu aku berbuka, aku memohon Rahmat-Mu wahai Dzat yang Maha Penyayang.”

Hadits ini tidak terdapat di kitab hadits manapun. Atau dengan kata lain, ini adalah hadits palsu. Sebagaimana dikatakan oleh Al Mulla Ali Al Qaari dalam kitab Mirqatul Mafatih Syarh Misykatul Mashabih: “Adapun doa yang tersebar di masyarakat dengan tambahan ‘wabika aamantu’ sama sekali tidak ada asalnya, walau secara makna memang benar.”

Yang benar, doa berbuka puasa yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam terdapat dalam hadits:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله


“Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika berbuka puasa membaca doa:

ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله


/Dzahabaz zhamaa-u wabtalatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insyaa Allah/

(’Rasa haus telah hilang, kerongkongan telah basah, semoga pahala didapatkan. Insya Allah’)”

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud (2357), Ad Daruquthni (2/401), dan dihasankan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani di Hidayatur Ruwah, 2/232 juga oleh Al Albani di Shahih Sunan Abi Daud.

Hadits 5

من أفطر يوما من رمضان من غير رخصة لم يقضه وإن صام الدهر كله


“Orang yang sengaja tidak berpuasa pada suatu hari di bulan Ramadhan, padahal ia bukan orang yang diberi keringanan, ia tidak akan dapat mengganti puasanya meski berpuasa terus menerus.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari di Al’Ilal Al Kabir (116), oleh Abu Daud di Sunannya (2396), oleh Tirmidzi di Sunan-nya (723), Imam Ahmad di Al Mughni (4/367), Ad Daruquthni di Sunan-nya (2/441, 2/413), dan Al Baihaqi di Sunan-nya (4/228).

Hadits ini didhaifkan oleh Al Bukhari, Imam Ahmad, Ibnu Hazm di Al Muhalla (6/183), Al Baihaqi, Ibnu Abdil Barr dalam At Tamhid (7/173), juga oleh Al Albani di Dhaif At Tirmidzi (723), Dhaif Abi Daud (2396), Dhaif Al Jami’ (5462) dan Silsilah Adh Dha’ifah (4557). Namun, memang sebagian ulama ada yang menshahihkan hadits ini seperti Abu Hatim Ar Razi di Al Ilal (2/17), juga ada yang menghasankan seperti Ibnu Hajar Al Asqalani di Hidayatur Ruwah (2/329) dan Al Haitsami di Majma’ Az Zawaid (3/171). Oleh karena itu, ulama berbeda pendapat mengenai ada-tidaknya qadha bagi orang yang sengaja tidak berpuasa.

Yang benar -wal ‘ilmu ‘indallah- adalah penjelasan Lajnah Daimah Lil Buhuts Wal Ifta (Komisi Fatwa Saudi Arabia), yang menyatakan bahwa “Seseorang yang sengaja tidak berpuasa tanpa udzur syar’i,ia harus bertaubat kepada Allah dan mengganti puasa yang telah ditinggalkannya.” (Periksa: Fatawa Lajnah Daimah no. 16480, 9/191)

Hadits 6

لا تقولوا رمضان فإن رمضان اسم من أسماء الله تعالى ولكن قولوا شهر رمضان


“Jangan menyebut dengan ‘Ramadhan’ karena ia adalah salah satu nama Allah, namun sebutlah dengan ‘Bulan Ramadhan.’”

Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Sunan-nya (4/201), Adz Dzaahabi dalam Mizanul I’tidal (4/247), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (8/313), Ibnu Katsir di Tafsir-nya (1/310).

Ibnul Jauzi dalam Al Maudhuat (2/545) mengatakan hadits ini palsu. Namun, yang benar adalah sebagaimana yang dikatakan oleh As Suyuthi dalam An Nukat ‘alal Maudhuat (41) bahwa “Hadits ini dhaif, bukan palsu”. Hadits ini juga didhaifkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (8/313), An Nawawi dalam Al Adzkar (475), oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Baari (4/135) dan Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (6768).

Yang benar adalah boleh mengatakan ‘Ramadhan’ saja, sebagaimana pendapat jumhur ulama karena banyak hadits yang menyebutkan ‘Ramadhan’ tanpa ‘Syahru (bulan)’.

Hadits 7

أن شهر رمضان متعلق بين السماء والأرض لا يرفع إلا بزكاة الفطر


“Bulan Ramadhan bergantung di antara langit dan bumi. Tidak ada yang dapat mengangkatnya kecuali zakat fithri.”

Hadits ini disebutkan oleh Al Mundziri di At Targhib Wat Tarhib (2/157). Al Albani mendhaifkan hadits ini dalam Dhaif At Targhib (664), dan Silsilah Ahadits Dhaifah (43).

Yang benar, jika dari hadits ini terdapat orang yang meyakini bahwa puasa Ramadhan tidak diterima jika belum membayar zakat fithri, keyakinan ini salah, karena haditsnya dhaif. Zakat fithri bukanlah syarat sah puasa Ramadhan, namun jika seseorang meninggalkannya ia mendapat dosa tersendiri.

Hadits 8

رجب شهر الله ، وشعبان شهري ، ورمضان شهر أمتي

“Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulan umatku.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Adz Dzahabi di Tartibul Maudhu’at (162, 183), Ibnu Asakir di Mu’jam Asy Syuyukh (1/186).

Hadits ini didhaifkan oleh di Asy Syaukani di Nailul Authar (4/334), dan Al Albani di Silsilah Adh Dhaifah (4400). Bahkan hadits ini dikatakan hadits palsu oleh banyak ulama seperti Adz Dzahabi di Tartibul Maudhu’at (162, 183), Ash Shaghani dalam Al Maudhu’at (72), Ibnul Qayyim dalam Al Manaarul Munif (76), Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Tabyinul Ujab (20).

Hadits 9

من فطر صائما على طعام وشراب من حلال صلت عليه الملائكة في ساعات شهر رمضان وصلى عليه جبرائيل ليلة القدر

“Barangsiapa memberi hidangan berbuka puasa dengan makanan dan minuman yang halal, para malaikat bershalawat kepadanya selama bulan Ramadhan dan Jibril bershalawat kepadanya di malam lailatul qadar.”

Hadist ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Al Majruhin (1/300), Al Baihaqi di Syu’abul Iman (3/1441), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Adh Dhuafa (3/318), Al Mundziri dalam At Targhib Wat Tarhib (1/152)

Hadits ini didhaifkan oleh Ibnul Jauzi di Al Maudhuat (2/555), As Sakhawi dalam Maqasidul Hasanah (495), Al Albani dalam Dhaif At Targhib (654)

Yang benar,orang yang memberikan hidangan berbuka puasa akan mendapatkan pahala puasa orang yang diberi hidangan tadi, berdasarkan hadits:

من فطر صائما كان له مثل أجره ، غير أنه لا ينقص من أجر الصائم شيئا

“Siapa saja yang memberikan hidangan berbuka puasa kepada orang lain yang berpuasa, ia akan mendapatkan pahala orang tersebut tanpa sedikitpun mengurangi pahalanya.” (HR. At Tirmidzi no 807, ia berkata: “Hasan shahih”)

Hadits 10

رجعنا من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبر . قالوا : وما الجهاد الأكبر ؟ قال : جهاد القلب

“Kita telah kembali dari jihad yang kecil menuju jihad yang besar.” Para sahabat bertanya: “Apakah jihad yang besar itu?” Beliau bersabda: “Jihadnya hati melawan hawa nafsu.”

Menurut Al Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul Ihya (2/6) hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Az Zuhd. Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Takhrijul Kasyaf (4/114) juga mengatakan hadits ini diriwayatkan oleh An Nasa’i dalam Al Kuna.

Hadits ini adalah hadits palsu. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam di Majmu Fatawa (11/197), juga oleh Al Mulla Ali Al Qari dalam Al Asrar Al Marfu’ah (211). Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (2460) mengatakan hadits ini Munkar.

Hadits ini sering dibawakan para khatib dan dikaitkan dengan Ramadhan, yaitu untuk mengatakan bahwa jihad melawan hawa nafsu di bulan Ramadhan lebih utama dari jihad berperang di jalan Allah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Hadits ini tidak ada asalnya. Tidak ada seorang pun ulama hadits yang berangapan seperti ini, baik dari perkataan maupun perbuatan Nabi. Selain itu jihad melawan orang kafir adalah amal yang paling mulia. Bahkan jihad yang tidak wajib pun merupakan amalan sunnah yang paling dianjurkan.” (Majmu’ Fatawa, 11/197). Artinya, makna dari hadits palsu ini pun tidak benar karena jihad berperang di jalan Allah adalah amalan yang paling mulia. Selain itu, orang yang terjun berperang di jalan Allah tentunya telah berhasil mengalahkan hawa nafsunya untuk meninggalkan dunia dan orang-orang yang ia sayangi.

Hadits 11

قال وائلة : لقيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم عيد فقلت : تقبل الله منا ومنك ، قال : نعم تقبل الله منا ومنك

“Wa’ilah berkata, “Aku bertemu dengan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pada hari Ied, lalu aku berkata: Taqabbalallahu minna wa minka.” Beliau bersabda: “Ya, Taqabbalallahu minna wa minka.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Al Majruhin (2/319), Al Baihaqi dalam Sunan-nya (3/319), Adz Dzahabi dalam Al Muhadzab (3/1246)

Hadits ini didhaifkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhuafa (7/524), oleh Ibnu Qaisirani dalam Dzakiratul Huffadz (4/1950), oleh Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (5666).

Yang benar, ucapan ‘Taqabbalallahu Minna Wa Minka’ diucapkan sebagian sahabat berdasarkan sebuah riwayat:

كان أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا التقوا يوم العيد يقول بعضهم لبعض : تقبل الله منا ومنك

Artinya:
“Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya ketika saling berjumpa di hari Ied mereka mengucapkan: Taqabbalallahu Minna Wa Minka (Semoga Allah menerima amal ibadah saya dan amal ibadah Anda)”

Atsar ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Al Mughni (3/294), dishahihkan oleh Al Albani dalam Tamamul Minnah (354). Oleh karena itu, boleh mengamalkan ucapan ini, asalkan tidak diyakini sebagai hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.

Hadits 12

خمس تفطر الصائم ، وتنقض الوضوء : الكذب ، والغيبة ، والنميمة ، والنظر بالشهوة ، واليمين الفاجرة

“Lima hal yang membatalkan puasa dan membatalkan wudhu: berbohong, ghibah, namimah, melihat lawan jenis dengan syahwat, dan bersumpah palsu.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Al Jauraqani di Al Abathil (1/351), oleh Ibnul Jauzi di Al Maudhu’at (1131)

Hadits ini adalah hadits palsu, sebagaimana dijelaskan Ibnul Jauzi di Al Maudhu’at (1131), Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (1708).

Yang benar, lima hal tersebut bukanlah pembatal puasa, namun pembatal pahala puasa. Sebagaimana hadits:

من لم يدع قول الزور والعمل به والجهل ، فليس لله حاجة أن يدع طعامه وشرابه


“Orang yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya, serta mengganggu orang lain, maka Allah tidak butuh terhadap puasanya.” (HR. Bukhari, no.6057)

Demikian, semoga Allah memberi kita taufiq untuk senantiasa berpegang teguh pada ajaran Islam yang sahih. Mudah-mudahan Allah melimpahkan rahmat dan ampunannya kepada kita di bulan mulia ini. Semoga amal-ibadah di bulan suci ini kita berbuah pahala di sisi Rabbuna Jalla Sya’nuhu.

وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

***

Disusun oleh: Yulian Purnama
Muraja’ah: Ustadz Abu Ukkasyah Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id

Posted by aizuddin at 11:35 AM

A. Sekilas Tentang Kontroversi Ujian Nasional



Pelaksanaan Ujian Nasional di Indonesia telah dimulai sejak tahun 2004 silam, sebagai bagian dari rencana jangka panjang pemerintah meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Pada awal pelaksanaannya mata pelajaran yang diujikan bersifat umum meliputi bahasa Indonesia, matematika dan bahasa Inggris. Namun pada tahun 2009 jumlah mata pelajaran yang diujikan meningkat menjadi enam mata pelajaran yang disesuaikan dengan penjurusan siswa (kelas Bahasa, IPA dan IPS). Begitu pun standar nilai rata-rata ditingkatkan secara bertahap dari tahun ke tahun, mulai dari 4.1 hingga sekarang rata-rata 5.5. Jika pada awalnya UN hanya diperuntukkan pada tingkat menengah atas (SMA) sekarang meliputi juga SMP dan bahkan SD.

Berdasarkan definisi awalnya UN merupakan ujian tertulis yang menjadi salahsatu faktor penentu kelulusan siswa. Sampai di sini tidak ada masalah dan telah menjadi suatu keharusan dalam sistim pendidikan modern. Permasalahan muncul ketika UN diberlakukan secara nasional dan menjadi satu-satunya faktor yang menentukan kelulusan siswa bersangkutan. Dalam argumennya pemerintah menekankan bahwa UN perlu terus dijalankan untuk meningkatkan kualitas SDM Indonesia agar tidak semakin tertinggal dari negara-negara lainnya, dan untuk kepentingan pemetaan pendidikan. Dalam catatan pemerintah juga disebutkan bahwa dari tahun ke tahun telah terjadi peningkatan jumlah kelulusan siswa, dan betapa ternyata UN juga terbukti telah meningkatkan semangat belajar siswa dan kualifikasi guru bersangkutan.

Sementara di sisi lain, sebagian budayawan dan pakar pendidikan nasional kerap mengkritisi kebijakan standarisasi UN. Megawati misalnya, dalam kapasitasnya sebagai budayawan, menilai UN sebagai anti kebhinekaan karena mengabaikan perbedaan-perbedaan kultur lokal dan geografi; sementara Winarno Surakhmad menilai UN sebagai salahsatu bentuk reduksionisme pendidikan di Indonesia. Dalam pandangannya Indonesia tidak bisa diseragamkan, harus ada pembedaan dan penekanan yang khas daerah masing-masing. Kritik lainnya menyangkut efek domino negative dari diberlakukannya standarisasi UN secara nasional, seperti: ditekannya kreativitas guru dan sekolah, terpinggirkannya ilmu akhlaq dan budaya, tersitanya waktu luang siswa untuk kegiatan mandiri sebagai akibat dari fokus siswa dan pihak sekolah terhadap UN semata.

Tujuan makalah ini pada awalnya hanyalah sekadar menjabarkan sistim pendidikan Islam di masa keemasannya (Daulah Abbasiah). Namun demikian dalam hemat penulis, deskripsi histories semata tidak memiliki arti apa-apa. Karena itu penulis coba mengkaitkannya dengan permasalahan pendidikan nasional kontemporer, dalam hal ini kontroversi seputar UN. Studi komparasi histories seperti ini sendiri penting dalam rangka, dengan meminjam istilah Mulyadhi Kartanegara, reaktualisasi tradisi ilmiah Islam. Bagaimana pun penulis sadar bahwa studi ini hanya bersifat pengantar semata, dan memerlukan lebih banyak penelitian lanjutan.



B. Pendidikan Islam di Masa Keemasan

Secara umum yang dimaksud dengan masa keemasan Islam adalah masa kekuasaan Daulah Abbasiah pada sekitar abad 8 M hingga 13 M yang diakhiri dengan hancurnya Baghdad akibat serangan bangsa Mongol. Pada masa inilah peradaban Islam mencapai masa keemasannya dengan menjadi pemimpin bagi peradaban dunia saat itu. Pada masa ini pula lahir dan berkembang sains dan filsafat dalam Islam. Di antara tokoh-tokohnya adalah: dalam bidang kedokteran seperti, Ar Razi (932 M), Ibn Sina (1037 M) dan Az Zahrawi (1009 M); dalam bidang matematika dan sains seperti, Al Khawarizmi (penemu aljabar, 846 M), Ibn Haitam (1039 M), Al Biruni (1048 M), Jabir ibn Hayyan (dalam kimia, 815 M); dalam bidang politik dan etika seperti, Al Farabi, Ibn Khaldun, Al Gozali dan Ibn Taimiyyah.

Tentunya ketika kita membahas masalah kemajuan sebuah peradaban maka tidak bisa dilepaskan dari sistim pendidikan yang berlaku pada saat itu. Mulyadhi Kartanegara dan Azyumardi Azra dalam bukunya menekankan berkali-kali bahwa pendidikan adalah factor kunci kemajuan sebuah peradaban. Secara umum sistim pendidikan yang berlaku pada masa itu dapat dibagi menjadi dua, pendidikan formal dan informal. Pendidikan formal berupa madrasah (termasuk juga jami’ah). Sedang informal meliputi perpustakaan, rumah sakit, observatorium, akademi dan halaqah.

Charles M. Stanton menganggap madrasah sebagai the higher institution of learning setaraf dengan universitas. Namun berbeda dengan universitas Eropa dan modern, madrasah lebih menekankan pada aspek pendidikan agama (fiqih dan teologi). Madrasah pertama yang didirikan secara khusus oleh Negara dan islam sunni adalah Nizhamiyyah (11 M) dan dilanjutkan dengan Muntansiriyyah (13 M) di Bagdad. Cabang-cabang dari madrasah Nizhamiyyah meliputi kota-kota besar Islam lainnya seperti Thus, Syiraz dan Nishapur. Madrasah-madrasah ini mendapat dukungan besar dari negara, bukan saja untuk biaya pendirian dan pemeliharaan, tetapi juga program beasiswa. Suasana madrasah telah menciptakan suatu atmosfer pendidikan yang khas dengan memadukan kehidupan akademik dengan kehidupan social dari orang-orang yang tinggal di dalam lingkungannya, sebuah asimilasi mahasiswa ke dalam kehidupan akademis dan dunia intelektual. Masyarakat Islam sendiri sangat menghormati kegiatan menuntut ilmu dan tidak menuntut siswa agar segera menyelesaikan satu paket kurikulum, lalu mencari pekerjaan.

Walau pun kurikulum madrasah lebih cenderung pada masalah ushuluddin, namun bukan berarti bidang lainnya tidak mendapat tempat. Berdasarkan catatan Ikhwan al Shafa pada abad 10 mengenai kurikulum madrasah, dapat diketahui bahwa selain ilmu agama juga dipelajari disiplin-disiplin ilmu lainnya seperti ilmu umum (tulis baca, jual beli, pertanian dan ilmu praktis lainnya) dan ilmu filosofis (matematika, logika dan lainnya). Metode yang umum digunakan adalah ta’liyah, atau debat tertulis dengan mengemukakan satu permasalahan yang lalu diikuti dengan jawaban (negative dan positif) serta penyelesaian yang tepat dengan sedikit rasionalisasi untuk mencapai kesimpulan (mirip dengan metode skolastik dialektika di universitas klasik Eropa). Metode lainnya adalah debat lisan (jadal) yang bersifat formal, tergantung pada aturan-aturan logika dan retorika di mana seseorang mempertahankan tesisnya menghadapi penantang yang coba membatalkan argumentasinya. Metode jadal sendiri dimulai dengan menyalin, menghafal dan lalu berdebat.

Tidak kalah pentingnya adalah peranan lembaga-lembaga pendidikan informal seperti akademi (tempat diselenggarakan kegiatan-kegiatan ilmiah) dan perpustakaan, di antaranya Baitul Hikmah di Baghdad dan Darul Hikmah di Mesir. Belum termasuk perpustakaan-perpustakaan pribadi dan toko-toko buku yang tersebar luas di kota-kota Islam. Koleksi perpustakaan Baitul Hikmah sendiri diperkirakan mencapai 600.000 jilid buku; observatorium dan rumah sakit. Observatorium sebagai sarana penelitian ilmiah informal dalam astronomi mencapai puncaknya pada abad 13 M dengan didirikannya observatorium Maraghah yang melahirkan para astronom seperti Nashirudin Thusi, Qutb al din Syirazi dan Najm al Din Qazwini. Sementara rumah sakit seperti al Abudi di Baghdad, dan al Nuri di Damaskus telah menjadi sedemikian besar dan maju hingga terdapat ruang-ruang khusus (spesialis) untuk penyakit berbeda termasuk penyakit jiwa; serta juga halaqah-halaqah sebagai pusat pengajaran esoterisme Islam yang berkembang pesat terutama paska invasi Mongol.

Satu catatan penting di sini adalah, banyak di antara pemikir Islam terkemuka saat itu yang justru mendapat pendidikan dari jalur non formal seperti ini. Dalam kasus Ibn Sina misalnya, pihak keluarga mengundang beberapa guru privat yang menjadi inspirasi bagi Ibn Sina untuk belajar lebih lanjut secara autodidak.



C. Beberapa Kritik-Historis Ujian Nasional

Penulis sadar bahwa terdapat perbedaan secara mendasar situasi dan kondisi bangsa Indonesia kontemporer dengan daulah Abbasiah masa klasik. Namun demikian bukan berarti studi komparasi histories seperti ini menjadi mustahil, mengingat salahsatu fungsi utama ilmu sejarah adalah untuk dijadikan pelajaran dalam memandang masa depan. Peranan sejarah yang seperti ini oleh Louis Gootschalk diibaratkan seperti batu permata yang diselimuti oleh lumpur kotor—bukankah batu permata justru menjadi semakin berharga karena adanya lumpur-lumpur kotor tak berharga di tempat kita mengambilnya? Lewat analogi seperti ini kiranya bisa dipahami bahwa sekali pun peradaban modern telah sedemikian majunya dalam berbagai aspek, namun bukan berarti tidak ada pelajaran-pelajaran berharga yang bisa dipetik dari sejarah Islam masa klasik.

Berdasarkan deskripsi histories pada bab dua, penulis mengambil kesimpulan bahwa setidaknya terdapat empat factor yang cukup penting untuk diangkat di sini kaitannya dengan pelaksanaan UN: pertama masalah kreativitas guru; kedua, masalah besarnya peranan lembaga non formal; ketiga, masalah metode ta’liqah dan jadal; dan terakhir, tujuan pendidikan itu sendiri. Sebagaimana telah dijelaskan pada bab pendahuluan bahwa UN, tanpa mengabaikan efek positifnya, telah menimbulkan efek domino negative berupa dipersempitnya ruang gerak guru bersangkutan, semakin menjamurnya lembaga-lembaga non formal yang mendukung persiapan UN dan penekanan pendidikan pada aspek kognitif anak semata.

Standarisasi UN dan meningkatnya nilai minimal kelulusan siswa tidak bisa dipungkiri telah meningkatkan motivasi belajar dan focus para siswa. Namun sayangnya hanya pada mata pelajaran yang diujikan. Hal ini berarti terpinggirkannya mata pelajaran non UN seperti pendidikan akhlaq dan budaya. Begitu pun metode ajar guru terpaku pada kurikulum nasional dengan hanya memberi sedikit ruang gerak bagi kreativitas guru bersangkutan. Fakta ini jelas memprihatinkan mengingat pada masa keemasan islam, kreativitas guru telah menjadi factor yang amat penting.guru bukan sekadar berperan sebagai pengajar di depan kelas, namun terutama sebagai inspirator bagi siswa untuk belajar secara mandiri. Ibn Sina ketika membicarakan masalah pendidikan menitikberatkan pada konsep self-education seperti ini.

UN juga telah menjadikan lembaga non formal menjamur dan semakin diburu para siswa. Namun sayangnya lembaga yang marak tesebut hanya lembaga yang sekadar mengajarkan tips dan trik UN, atau lembaga pendukung lembaga formal. Hal ini menjadikan waktu luang siswa bersangkutan untuk belajar secara mandiri sesuai dengan minat dasarnya menjadi amat terkurangi. Di masa keemasan islam kita melihat bahwa lembaga pendidikan non formal yang berkembang justru tidak memiliki keterikatan dengan kurikulum lembaga pendidikan formal, dan memiliki peran sama pentingnya dengan lembaga pendidikan formal; sementara lembaga formal focus pada ilmu keagamaan, lembaga non formal justru menjadi sarana pendidikan ilmu filosofis dan praktis. UN pada akhirnya juga amat menekankan pada aspek hapalan siswa, sementara kita melihat pada masa keemasan islam metode hapalan tersebut mesti diiringi dengan debat (argumentasi) baik secara tertulis (ta’liqah) maupun lisan (jadal).

Akan halnya tujuan pendidikan pada masa keemasan islam bukanlah untuk sekadar memenuhi standar nilai semata (aspek kognitif), namun terutama dalam pembentukan karakter siswa. Tujuan pendidikan dalam islam secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, tujuan akhir dan antara. Tujuan antara meliputi tujuan individual (kaitan dengan pendidikan pribadi dan karakter siswa), tujuan social (hubungan siswa dengan masyarakat dan lingkungan) dan tujuan professional (kaitan dengan aktivitas dalam masyarakat dan tuntutan profesi). Sementara tujuan akhir nya adalah menciptakan pribadi-pribadi hamba tuhan yang bertaqwa. Sistim pendidikan ala Barat seperti standarisasi UN secara nasional dengan mengabaikan aspirasi dan keunikan budaya local, justru akan menciptakan split personalities dan marginal men yang terasing dan terkucil dari lingkungan dan masyarakat tempatnya bernaung dan mengabdi di kemudian hari.

Referensi

- Azra, Azyumardi, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1998).
- Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah, (UI-Press: Jakarta, 1986).
- Kartanegara, Mulyadhi, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, (Jakarta: Baitul Ihsan, 2006).
- Stanton, Charles M., Pendidikan Tinggi Dalam Islam, (Jakarta: Logos, 1994)
- Watt, W. Montgomery Kejayaan Islam: Kajian Kritis Dari Tokoh Orientalis, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990),
- ST Sularto, “Winarno Surakhmad, Belajar Mendengarkan” dalam harian, Kompas, (selasa, 23 Juni 2009), h. 16.


Demikian tujuan nikah menurut ajaran Islam. Sedangkan nikah mut’ah adalah nikah kontrak dalam jangka waktu tertentu, sehingga apabila waktunya telah habis maka dengan sendirinya nikah tersebut bubar tanpa adanya talak. Dalam nikah mut’ah si wanita yang menjadi istri juga tidak mempunyai hak waris jika si suami meninggal. Dengan begitu, tujuan nikah mut’ah ini tidak sesuai dengan tujuan nikah menurut ajaran Islam sebagaimana disebutkan di atas, dan dalam nikah mut’ah ini pihak wanita teramat sangat dirugikan. Oleh karenanya nikah mut’ah ini dilarang oleh Islam.


Dalam hal ini syaikh al-Bakri dalam kitabnya I’anah at-Thalibin menyatakan:


وعلى كل فهو حرام ، إنما سمي بذلك لان الغرض منه مجرد التمتع لا التوالد والتوارث اللذان هما الغرض الاصلي من النكاح المقتضيان للدوام.


“Kesimpulannya, nikah mut’ah ini haram hukumnya. Nikah ini disebut nikah mut’ah karena tujuannya adalah untuk mencari kesenangan belaka, tidak untuk membangun rumah tangga yang melahirkan anak dan juga saling mewarisi, yang keduanya merupakan tujuan utama dari ikatan pernikahan dan menimbulkan konsekwensi langgengnya pernikahan”.


Memang benar bahwa nikah mut’ah ini pernah dibolehkan ketika awal Islam, tapi kemudian diharamkan, sebagaimana dinyatakan oleh al-Imam an-Nawawi dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim:

وَالصَّوَاب الْمُخْتَار أَنَّ التَّحْرِيم وَالْإِبَاحَة كَانَا مَرَّتَيْنِ، وَكَانَتْ حَلَالًا قَبْل خَيْبَر ، ثُمَّ حُرِّمَتْ يَوْم خَيْبَر، ثُمَّ أُبِيحَتْ يَوْم فَتْح مَكَّة وَهُوَ يَوْم أَوْطَاس، لِاتِّصَالِهِمَا، ثُمَّ حُرِّمَتْ يَوْمئِذٍ بَعْد ثَلَاثَة أَيَّام تَحْرِيمًا مُؤَبَّدًا إِلَى يَوْم الْقِيَامَة، وَاسْتَمَرَّ التَّحْرِيم


“yang benar dalam masalah nikah mut’ah ini adalah bahwa pernah dibolehkan dan kemudian diharamkan sebanyak dua kali; yakni dibolehkan sebelum perang Khaibar, tapi kemudian diharamkan ketika perang Khaibar. Kemudian dibolehkan selama tiga hari ketika fathu Makkah, atau hari perang Authas, kemudian setelah itu diharamkan untuk selamanya sampai hari kiamat”.


Alasan kenapa ketika itu dibolehkan melaksanakan nikah mut’ah, karena ketika itu dalam keadaan perang yang jauh dari istri, sehingga para sahabat yang ikut perang merasa sangat berat. Dan lagi pada masa itu masih dalam masa peralihan dari kebiasaan zaman jahiliyah. Jadi wajar jika Allah memberikan keringanan (rukhshah) bagi para sahabat ketika itu.



* markus.ali's blog
* Silakan login atau daftar dulu untuk mengirim komentar

Sab, 05/12/2009 - 11:21
#1
agus pramono
User offline. Last seen 2 hari 11 hours ago. Offline
Joined: 22/08/2008

mas artikel ini bisa didownload tidak
Top

* Silakan login atau daftar dulu untuk mengirim komentar

Foto PSB

Anggota Baru
andi sulfida
Novita Dwi
Julia Safitri
Nur Fadhilah
wenni astuti
retni lisa ariyanti
Ida Fahmi H Latiefah
Dhewy Aripheetyana
Yhui ^o^
yani mulyani
Nick d'joker
Iis Rustika
kazumikha akuza
edward torangga
hadi prayitno
Rezki Hakiki Amaliah
abdul muis
Rizky Amelia


EmoticonEmoticon