Selasa, 19 April 2011

Ujian Nasional : Meningkatkan Standard Lulusan VS Kebohongan Publik

Ujian Nasional : Meningkatkan Standard Lulusan VS Kebohongan Publik

Para siswa kelas 12 tingkat SLTA setidaknya sudah sedikit ‘lepas’ dari beban Ujian Nasional (UN). Pelaksanaan UN bagi mereka serentak dilakukan tanggal 22-24 April 2008 lalu. Namun, sepertinya tidak bisa pula lantas mereka melepaskan diri dari bayang-bayang beban berat UN. Kepastian kelulusan mereka masih menunggu waktu.
Sementara adik-adik kita yang duduk di kelas IX baru saja menyelesaikan pelaksanaan UN tanggal 5-8 Mei 2008 lalu. Sekarang tinggal siswa-siswi tingkat Sekolah Dasar yang masih berharap-harap cemas menanti hari penentuan menuju jenjang pendidikan lebih lanjut.
Pelaksanaan ujian akhir di berbagai tingkatan pendidikan setiap akhir tahun ajaran, seringkali memunculkan pro-kontra. kegunaannya. Perdebatan dan kritik makin gencar. Kalangan masyarakat berpendapat, pemenuhan berbagai sarana dan prasana kebutuhan pendidikan tampaknya belum terlalu dihiraukan pemerintah, khususnya Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas).


UN 2008 Memang Beda

Kontroversi pelaksanaan UN memang bukan kali pertama terjadi. Tercatat kebijakan pemerintah untuk menyelenggarakan Ujian Nasional (UN) 2005 mengundang kritik dari berbagai kelompok masyarakat, terutama komunitas pendidikan di Tanah Air.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007, tentang Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) Untuk Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah/ Sekolah Dasar Luar Biasa (SD/MI/SDLB) Tahun Pelajaran 2007/2008.
Tujuan UN memang sangat mulia. Peraturan Mendiknas No. 39 tahun 2007, pasal 2 (a) menyebutkan tujuan UASBN adalah mendorong tercapainya target wajib belajar pendidikan dasar yang bermutu. Mendiknas pun menetapkan pelaksanaan ujian nasional tahun 2008 merupakan Ujian akhir sekolah berstandar nasional. Artinya, ujian nasional dilaksanakan secara terintegrasi dengan pelaksanaan ujian sekolah/madrasah. Hasil UASBN pun menjadi sumber untuk: a. pemetaan mutu satuan pendidikan; b. dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya; c. penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan; dan d. dasar pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan (Peraturan Mendiknas No. 39 tahun 2007, pasal 3).
Pelaksanaan UN tahun 2008 dipandang semakin memberatkan para siswa. Penyebabnya, 1) Standar nilai UN naik dari 5,00 menjadi 5,25. Sementara untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, masih seperti tahun sebelumnya, tidak boleh ada nilai di bawah 4,25; 2) Materi pelajaran dalam UN pun bertambah. Siswa kelas IX mendapat tambahan pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dalam materi UN. Sementara kelas XII (SLTA) materi pelajaran UN menjadi 6 pelajaran, yaitu tambahan mata pelajaran Sosiologi, Geografi, dan Matematika IPS untuk jurusan IPS. Sedangkan, untuk jurusan IPA, yaitu mata pelajaran Fisika, Biologi, dan Kimia.
Sebagai gambaran, penulis lampirkan Prosedur Operasi Standar (POS) Ujian Nasional.
Berdasarkan Keputusan Badan Standar Nasional Pendidikan Nomor 984/BSNP/XI/2007, Tentang Prosedur Operasi Standar (POS) Ujian Nasional (UN) SMP, MTs, SMPLB, SMA, MA, SMA-LB, DAN SMK, Tahun Pelajaran 2007/2008, bahan ujian nasional tersebut, adalah:
a. SMP, MTs, dan SMPLB
No. Mata Pelajaran Jumlah Butir Soal Alokasi Waktu
1. Bahasa Indonesia 50 120 menit
2. Matematika 40 120 menit
3. Bahasa Inggris 50 120 menit
4. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) 40 120 menit
b. SMA Program IPA
No. Mata Pelajaran Jumlah Butir Soal Alokasi Waktu
1. Bahasa Indonesia 50 120 menit
2. Bahasa Inggris 50* 120 menit
3. Matematika 40 120 menit
4. Fisika 40 120 menit
5. Kimia 40 120 menit
6. Biologi 40 120 menit
c. SMA Program IPS
No. Mata Pelajaran Jumlah Butir Soal Alokasi Waktu
1. Bahasa Indonesia 50 120 menit
2. Bahasa Inggris 50*) 120 menit
3. Matematika 40 120 menit
4. Ekonomi 40 120 menit
5 Sosiologi 40 120 menit
6. Geografi 40 120 menit
d. SMA Program Bahasa
No Mata Pelajaran Jumlah Butir soal Alokasi Waktu
1. Bahasa Indonesia 50 120 menit
2. Bahasa Inggris 50*) 120 menit
3. Bahasa Arab 50 120 menit
4. Bahasa Jepang 50 120 menit
Sumber: Prosedur Operasi Standar, Badan Standar Nasional Pendidikan 2007/2008[download]
UPAYA PEMERINTAH MENINGKATKAN STANDARD KELULUSAN
"Rasanya capek, jenuh tiap hari dikasih soal-soal pelajaran yang diujikan dalam Ujian Nasional," demikian ungkapan perasaan Qorina Ihsana, siswa SMA 24 Jakarta Pusat tentang tambahan waktu belajar menjelang Ujian Nasional nanti, Senin (14/4). Sumber: Kompas.
Ungkapan diatas tampaknya dapat menjadi salah satu gambaran beban berat yang ditanggung para siswa yang akan menghadapi UN. Betapa tidak, tingginya standard kelulusan dan makin banyaknya pelajaran dalam UN pun semakin menambah beban psikologis mereka. Dibalik lelah dan bosannya mereka menghadapi soal-soal latihan UN, mau-tidak mau mereka tetap harus melakukannya. Pabila tidak, bukan tidak mungkin, keinginan mereka untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi harus menunggu tahun berikutnya. Kembali mengikuti UN. Bayangkan, betapa berat beban yang ditanggung siswa.
Dalam keseharian kurikulum pendidikan di Indonesia memang ‘membiasakan’ anak-anak dijejali dengan semua pelajaran. Sekolah umum memang begitu adanya. Semua anak diberikan berbagai mata pelajaran. Hal ini memang baik untuk memberi keluasan pengetahuan bagi anak didik. Namun, perlu dimengerti pula dampak negatif dibalik itu. Jejalan berbagai mata pelajaran bukan tidak mungkin membuat anak didik menjadi stres, bahkan malas sekolah. Mereka menganggap sekolah tidak lebih dari ‘penjara’ atau hantu yang mematikan kreativitas mereka. Taraf-taraf kemampuan yang dikuasai anak didik dipasung dalam kurikulum yang harus semua mereka terima. Bukankah lebih baik apabila ada penjurusan bagi anak-anak sedari dini? Model penjurusan (IPA, IPS, atau bahasa) di tingkat SLTA tampaknya terlambat. Anak-anak terlampau lama dijejali banyak pelajaran. BANYAK PELAJARAN YANG HARUS MEREKA TELAN ‘MENTAH-MENTAH’ tanpa tahu secara mendalam. Itulah dampak samping pembelajaran umum.
Menghadapi UN pun bukan saja beban berat bagi para siswa. Guru dan pihak sekolah pun dihadapkan pada beban kelulusan anak-anak didik mereka. Bisa dilihat, realita sekolah yang tidak sanggup menghadapi UN.
Secara langsung atau tidak, jumlah siswa yang berhasil lulus atau banyaknya siswa tidak lulus menjadi catatan tersendiri bagi pihak sekolah. Bukan tidak mungkin, sekolah yang jumlah anak didiknya dominan tidak lulus akan kehilangan ‘kepercayaan’ dari para orang tua murid untuk menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah tersebut. Jadi tidak salah pula, keberhasilan anak didik mereka lulus merupakan ‘HARGA MATI’ menjaga nama baik sekolah.
KENAPA HARUS UN?
Lalu apa dan bagaimana seharusnya UN?
Pelaksanaan UN mendapat berbagai kecaman dari berbagai pihak, terutama dari komunitas pendidikan di Tanah Air. Apa UN relevan menjadi senjata peningkat mutu dan membentuk standardisasi pendidikan nasional? Kalangan pendidikan pun melah menganggap bahwa UN justru tidak sesuai dengan UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan berbagai program pemerintah lainnya. Pun pada tahun 2008.
Kalangan aktivis pendidikan dari Koalisi Pendidikan pun berpendapat serupa. "Penambahan mata pelajaran yang di-UN-kan semakin mencerminkan betapa pemerintah semakin besar kuasanya dalam menentukan kelulusan," ujarnya. Dia berpandangan, terjadi kekeliruan berpikir. Pemerintah berkeinginan keras untuk menerapkan UN dengan harapan dapat mengangkat kualitas pendidikan di Tanah Air. Peningkatan kualitas dianggap cukup lewat tes. Padahal, kualitas hanya dapat diperoleh lewat proses. Pemerintah justru harus melihat faktor-faktor penentu berjalannya proses dan sejauh mana itu sudah terpenuhi di sekolah.
Penerapan standard tunggal evaluasi hasil belajar dalam bentuk ujian nasional saat ini tampaknya masih sulit diterapkan di Indonesia. Sulitnya penerapan standar tunggal hasil belajar itu berkaitan erat dengan masih tingginya tingkat disparitas kualitas antarsekolah di Indonesia.
Arsip surat kabar Sinar Harapan mencatat pendapat Fuad Hassan, Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dan mantan Mendiknas, bahwa penilaian hasil belajar tidak hanya dilakukan dengan mengevaluasi hasil belajar, tetapi juga mencakup proses belajar-mengajar yang dilakukan.
”Mengacu pada PP No 28/1990 tentang Pendidikan Dasar, penilaian pendidikan tidak hanya dilakukan dengan mengevaluasi hasil belajar, tetapi juga mencakup proses belajar-mengajar dan upaya pencapaian tujuan yang dilakukan. Kalau sekarang proses belajar-mengajarnya saja masih sangat berbeda satu sama lain kualitasnya, hasilnya tentu juga akan sangat berbeda. Bagaimana mungkin kita kemudian menerapkan standar yang sama untuk menilai hasil belajarnya,” ujar Fuad.
Arena pendidikan dari wilayah yang berbeda (desa-kota, misalnya) pun menyebabkan perbedaan kualitas pendidikan.
Perbedaan sarana pendidikan di lain wilayah pun diungkapkan Ketua MPR-RI, Hidayat Nurwahid, menjadi salah satu sebab tidak tepat menjadikan ujian nasional standar kelulusan siswa. Menurutnya, hal tersebut menyebabkan dunia pendidikan menjadi pasif dan apatis. Sebab, banyak sekolah menginginkan siswanya lulus dan menempuh cara-cara curang untuk menggapainya.
Tidak aneh pula, harapan mendulang anak-anak didik lulus pun dilakukan dengan berbagai cara. Termasuk dengan melakuan kecurangan. Misalnya kasus guru yang memberi bocoran jawaban ujian. Inilah salah satu dampak samping ujian nasional. Seperti dijelaskan di bagian sebelumnya, kelulusan siswa dalam ujian nasional pun menjadi tolok ukur keberhasilan sekolah mendidik siswa-siswinya. Artinya, semakin banyak siswa yang lulus, semakin terjaga pula nama baik sekolah bersangkutan.
Pada pelaksanaan UN tingkat SLTA 2008 pun mencatat banyak kebocoran yang terjadi di berbagai daerah. Kunci jawaban UN banyak menyebar. Tidak hanya melalui selebaran kertas. Canggihnya teknologi dimanfaatkan untuk menyebarkan kunci jawaban melalui telepon genggam (handphone) dengan fasilitas short messages services (SMS).
Berbagai kecurangan tersebut menunjukkan carut-marut dunia pendidikan kita. Apa bedanya ujian nasional adalah sebuah pembohongan publik yang terencana. Entah disengaja atau tidak oleh para pemangku jabatan. Namun, kondisi seperti itulah yang terjadi.
Lalu siapa yang patut dipersalahkan dengan kondisi seperti itu? Pihak sekolah, pemerintah, atau anak-anak didik yang melakukan kecurangan? Tampaknya tidak mudak bagi kita menunjuk pihak yang perlu dipersalahkan.
Hal yang perlu dilakukan sekarang adalah bagaimana mengatur siasat agar pelaksanaan UN sesuai dengan yang diharapkan, sesuai dengan yang tercantum dalam tujuan UASBN.
KESIMPULAN
Berdasarkan gambaran di atas, perlu diperhatikan bahwa pelaksanaan UN hendaknya sebatas untuk mengetahui peta kualitas pendidikan di Indonesia. Melalui UN dapat diketahui sejauh mana kurikulum secara nasional tercapai. Bukan menjadi penentu kelulusan siswa. Peningkatan kualitas pendidikan pun perlu dibarengi dengan peningkatan kualitas guru ketika mengajar. Kualitas pembelajaran sebaiknya tidak dibebankan ke siswa dengan target nilai.
Dengan demikian, Ujian Nasional seharusnya menjadi pendorong sekolah, dalam hal ini guru-guru dan kepala sekolah, untuk lebih mengembangkan proses pendidikan dan proses pembelajaran kepada level yang diharapkan memenuhi standar yang sudah ditentukan.
Sementara itu, persoalan kelulusan anak didik sebaiknya perlu diserahkan kepada sekolah masing-masing. Petetapan standard ujian nasional sepertinya akan menyeret banyak korban. Para siswa di sekolah yang berfasilitas minim, bahkan jauh dari prasyarat pendidikan standard akan keteteran menyesuaikan diri dengan standard nasional tersebut.
Selain itu, sangat “TIDAK ADIL” menentukan kelulusan anak didik hanya dengan waktu 3 atau 4 hari saja. Berbagai pengorbanan, moril maupun materiil, selama tiga tahun di tingkat SLTP atau SLTA, bahkan anak SD selama 6 tahun, tampaknya sia-sia ketika mereka gagal memperoleh nilai ujian nasional di atas standard nasional.
Pihak sekolah yang lebih banyak mengetahui kualitas dan kemampuan siswa-siswinya seharusnya memiliki andil besar menentukan dapat-tidaknya siswa tersebut lulus.
Apa kita terbayang apa dampak dari ujian nasional bagi anak didiknya? Beruntung mereka yang lulus. Bagi yang tidak lulus, beban berat ada di pundak mereka. Rasa malu di antara teman, atau bahkan tekanan dari orang tua, menyebabkan mereka terkena dampak psikologis yang teramat berat. Paling parah, apabila di antara anak didik tersebut tidak bisa menerima dan berpikiran pendek. Frustasi dan bunuh diri, misalnya.
Kesimpulan akhir tulisan ini. Pelaksanaan ujian nasional tidak dapat meningkatkan kualitas pendidikan. Pelaksanaan ujian nasional selama beberapa hari tidak bisa dijadikan standar nasional pendidikan Indonesia, tanpa diikuti dengan peningkatan kualitas kaum pendidik dan berbagai sarana pendukung lainnya.
Inilah peran penting pemerintah dan kalangan pendidikan lainnya untuk menyusun formula paling tepat menentukan kriteria kelulusan anak didiknya. Jangan sampai frustasi mendalam dan putus asa dialami anak didik karena kerja keras mereka selama bertahun-tahun belajar musnah dalam beberapa hari saja.
Catatan: Tulisan ini pada beberapa bagian megalami perubahan. Versi aslinya dapat dilihat di http://dienim.wordpress.com/


EmoticonEmoticon