MENGENAL LEBIH DEKAT METODE BELAJAR PESANTREN
Pesantren, suatu kata yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat
Indonesia saat ini, khususnya bagi pemeluk agama Islam. Sedikit
mengulas, pesantren merupakan sebagian dari banyaknya model lembaga
pendidikan di Indonesia. Pesantren memiliki ciri khas tersendiri yang
tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan lain di Indonesia. Mungkin yang
paling menjadi ciri khas –khususnya untuk pesantren yang masih salaf –
adalah sarung, sandal jepit, kopyah (peci), kitab kuning, dsb.
Perlu
diketahui bahwa pesantren adalah model pendidikan tertua di Indonesia
yang bersifat boarding school. Pesantren sudah ada jauh sebelum Republik
Indonesia berdiri, lebih tepatnya sebelum Bung Karno memproklamirkan
kemerdekaan RI. Pesantren mulai dirintis sejak jaman Walisongo. Sosok
yang telah berjasa dalam perintisan pesantren adalah Maulana Malik
Ibrahim (Sunan Gresik) yang juga merupakan sesepuh Walisongo.
Pesantren
ternyata tak hanya berkutat dengan kitab-kitab saja. Pada jaman
kolonial Belanda dan Jepang, pesantren ikut andil dalam perjuangan
merebut kemerdekaan Indonesia. Banyak kalangan ulama’ yang menjadi
panglima-panglima perang pada jaman penjajahan, diantaranya Pangeran
Diponegoro, Kyai Mojo, Tuanku Imam Bonjol, Hadlaratusy Syaikh KH. Hasyim
Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah, dsb. Beliau-beliau inilah yang telah
memimpin perjuangan bersama para santri berikut pengikutnya. Selain itu,
pembelajaran di pesantren ternyata luput dari campur tangan
pemerintahan kolonial Belanda. Kalau sekolah-sekolah umum pada saat itu
sangat dibatasi oleh Belanda, maka metode pengajaran pesantren yang
menggunakan bahasa arab menjadikan kaum penjajah kesulitan dalam
mengawasi gerak-gerik pesantren sehingga kaum santri lebih leluasa
menerima pengajaran dari gurunya.
Meskipun pada mulanya banyak
pesantren dibangun sebagai pusat reproduksi spiritual, yakni tumbuh
berdasarkan sistem-sistem nilai yang bersifat agama Islam, tetapi para
pendukungnya tidak hanya semata-mata menanggulangi isi pendidikan agama
saja. Pesantren bersama-sama dengan para muridnya atau dengan
kelompoknya yang akrab mencoba melaksanakan gaya hidup yang
menghubungkan kerja dan pendidikan serta membina lingkungan sekitarnya
berdasarkan struktur budaya dan sosial. Karena itu pesantren mampu
menyesuaikan diri dengan bentuk masyarakat yang amat berbeda maupun
dengan kegiatan-kegiatan individu yang beraneka ragam. Peran pesantren
telah lama diakui oleh masyarakat, terutama dalam bidang pendidikan.
Demikian
halnya dengan madrasah dan sekolah Islam misalnya tentang peradaban dan
kemajuan akhlak didikannya yang diharapkan menjadi penerus bangsa
kelak. Kepiawaian pesantren dalam memformulakan pemahaman dan
pemikirannya sehingga melahirkan kultur yang mengadabkan manusia adalah
potensi riil pesantren.
Di era global kepiawaian, kultur, dan peran
strategis itu harus menjadi lebih dimunculkan, atau dituntut untuk
dilahirkan kembali. Pesantren, madrasah dan sekolah Islam mempunyai
reputasi tersendiri sebagai lembaga yang bercirikan agama Islam, bahkan
memiliki ciri khas yang membedakannya dengan lembaga pendidikan lain.
Pada
intinya pesantren mempunyai peran sama dengan sekolah formal dalam
perannya di bidang pendidikan. Namun yang membedakan dengan sekolah
formal adalah pesantren mengajarkan ilmu dengan bungkus ajaran islam.
Selain itu, pesantren difokuskan untuk mencetak seorang penerus bangsa
dengan akhlak dan ajaran agama islam.
Dewasa ini pesantren mulai
berbenah. Awalnya pesantren mulai dipandang sebelah mata dikarenakan
masih dianggap kolot dan tidak sesuai dengan tantangan jaman. Namun, di
kemudian hari mulai menjamur pesantren modern yang tak hanya mengajarkan
tentang agama saja, melainkan seluruh aspek pendidikan, seperti
pengetahuan umum, bahasa asing, teknologi, wirausaha, dsb. Dan hasilnya
sangat luar biasa!
Ada beberapa hal penting yang merupakan strategi
belajar kaum santri yang menjadikan mereka mampu mendidik masyarakat
ketika telah ‘boyong’ dari pesantren. Diantara metode yang paling ampuh
adalah metode sorogan, bandongan, musyawarah (diskusi), dan tirakat,
selain secara autodidak tentunya.
Sorogan memang ampuh
Sorogan
berasal dari kata sorog (bahasa jawa) yang berarti menyodorkan, sebab di
sini setiap santri menyodorkan kitabnya di hadapan kyai atau
penggantinya (badal, asisten kyai). Dalam konteks kekinian, sorogan
biasa disebut dengan tutorial ataupun mentorship. Sistem sorogan ini
termasuk belajar secara individual, dimana seorang santri berhadapan
dengan seorang guru, dan terjadi interaksi saling mengenal diantara
keduanya. Dengan sistem pengajaran secara sorogan ini memungkinkan
hubungan kyai dengan santri sangat dekat, sebab kyai dapat mengenal
kemampuan pribadi santri secara satu satu persatu. Kitab yang disorogkan
kepada kyai oleh santri yang satu dengan santri yang lain tidak harus
sama.
Sistem sorogan ini terbukti sangat efektif sebagai taraf
pertama bagi seorang murid yang memiliki keinginan luhur untuk menjadi
‘alim khususnya di bidang ilmu agama Islam. Sistem ini memungkinkan
seorang guru mengawasi, menilai dan membimbing secara maksimal kemampuan
seorang santri dalam menguasai materi pembelajaran. Sorogan merupakan
kegiatan pembelajaran bagi para santri yang lebih menitikberatkan pada
pengembangan kemampuan perorangan (individual), yang tentunya tetap di
bawah bimbingan seorang kyai atau ustadz. Pelaksanaannya, santri yang
banyak itu datang bersama, kemudian mereka antri menunggu gilirannya
masing-masing, sambil mempelajari materi yang akan disorogkan.
Cara
belajar seperti ini memang terbukti cukup efektif. Dalam metode
pembelajaran di pesantren, metode sorogan adalah metode yang paling
sulit karena metode ini membutuhkan kesabaran, kerajinan dan disiplin
pribadi dari setiap peserta didik, sehingga diperkirakan bagi para
pemula yang belum memiliki pegangan ‘ilmu alat’ (nahwu dan sharaf)
terlebih dahulu, maka kemungkinan besar akan mengalami kesulitan ketika
melakukan persiapan sebelum materi disetorkan kepada kyai atau ustadz.
Intinya, sebelum diterpkan metode sorogan, sebaiknya perlu dimatangkan
dulu ‘ilmu alat’nya.
Saat ini, metode sorogan mulai diterapkan dalam
pendidikan formal ketika para pelajar menempuh ujian terutama ujian
lisan. Sehingga dapat dikatakan bahwa metode ini memang benar-benar
ampuh untuk kedekatan antara si empunya ilmu dengan pelajar dan untuk
mengetahui seberapa kemampuan si pelajar dalam menyerap ilmu-ilmu yang
telah disampaikan di sekolah.
Wetonan yang masih dilestarikan
Istilah
weton berasal dari kata wektu (bahasa jawa) yang berarti waktu, sebab
pengajian tersebut diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum
dan atau sesudah melakukan shalat fardu. Metode weton ini merupakan
metode kuliah, di mana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di
sekeliling kyai yang menerangkan pelajaran, Santri menyimak kitab
masing-masing dan membuat cacatan padanya. Istilah wetonan ini di Jawa
Barat disebut dengan bandongan.
Tetapi sekarang ini banyak pesantren
yang telah menggunakan metode pengajaran dengan memadukan antara model
yang lama dengan model pengajaran yang modern yaitu dengan memadukan
metode klasikal yang bertingkat.
Dalam pendidikan formal, khususnya
untuk jenjang sekolah, metode ini masih sangat dilestarikan dan
dipertahankan oleh para guru. Namun, ada sebagian guru yang mulai
mempraktekkan metode halaqah/musyawarah (diskusi). Mengapa begitu?
Ternyata ada beberapa kelemahan dari metode wetonan. Metode ini menuntut
para guru untuk dapat mengemas materi sedemikian rupa, sehingga para
siswa tidak gampang bosan ketika menerima pelajaran dari para guru
mereka. Nah, mungkin kasus ini hanya terjadi pada pendidikan formal.
Untuk pendidikan pesantren, siapapun pengajarnya, apapun materinya, yang
penting sami’na wa atho’na .
Tak efektif tanpa musyawarah
Halaqah,
sistem ini merupakan kelompok kelas dari sistem bandongan. Halaqah yang
arti bahasanya lingkaran murid, atau sekelompok siswa yang belajar di
bawah bimbingan seorang guru atau belajar bersama dalam satu tempat.
Dalam kamus santri yang lain, halaqah sering disebut dengan musyawarah.
Dalam istilah kaum akademis, halaqah disebut dengan diskusi atau dalam
istilah ngetrennya disebut sharing. Metode ini dimaksudkan sebagai
penyajian bahan pelajaran dengan cara murid atau santri membahasnya
bersama-sama melalui tukar pendapat tentang suatu topik atau masalah
tertentu yang ada dalam kitab kuning. Dalam metode ini, kiai atau guru
bertindak sebagai moderator. Metode diskusi bertujuan agar murid atau
santri aktif dalam belajar. Melalui metode ini, akan tumbuh dan
berkembang pemikiran-pemikiran kritis, analitis, dan logis.
Metode
ini bisa dibilang sangat ampuh karena santri dituntut untuk mampu
mencurahkan segala pemikirannya agar pendapatnya dapat diterima oleh
forum. Selain di pesantren, metode ini juga dipakai oleh kalangan
akademis seperti mahasiswa dan pakar-pakar bidang keilmuan tertentu.
Malah saat ini begitu menjamurnya forum diskusi di berbagai tempat dan
media, sehingga dapat dikatakan metode ini telah diterima oleh
masyarakat.
Bereksperimen via hafalan
Metode hafalan yang
diterapkan di pesantren-pesantren, umumnya dipakai untuk menghafal
kitab-kitab tertentu, misalnya Alfiyah Ibnu Malik. Metode hafalan juga
sering diterapkan untuk pembelajaran al-Qur’an dan al-Hadits. Dalam
pembelajaran al-Qur’an metode ini biasa disebut metode tahfidz al-Qur’an
. Biasanya santri diberi tugas untuk menghafal beberapa bait dari kitab
Alfiyah, dan setelah beberapa hari baru dibacakan atau disetorkan di
depan kyai atau ustadnya. Dalam pengembangan metode hafalan atau tahfidz
ini, pola penerapannya tidak hanya menekankan hafalan tekstual dengan
berbagai variasinya, tetapi juga harus melibatkan atau menyentuh ranah
yang lebih tinggi dari kemampuan belajar. Artinya, hafalan tidak saja
merupakan kemampuan intelektual sebatas ingatan tetapi juga sampai
kepada pemahaman, analisis, dan evaluasi. Bagaimanapun, hafalan sebagai
metode pembelajaran maupun sebagai hasil belajar tidak dapat diremehkan,
seperti yang sering terdengar dari pernyataan-pernyataan sumbang para
pengamat pembelajaran. Hafalan harus dipandang sebagai basis untuk
mencapai kemampuan intelektual yang lebih tinggi.
Banyak orang yang
mengatakan bahwa menghafal itu mudah, yang susah itu menjaga hafalan.
Statemen ini dapat dibenarkan dikarenakan begitu banyak orang yang mudah
dalam menghafalkan sesuatu, namun beberapa hari bahkan beberapa jam
kemudian sudah mulai ‘terjangkit gejala amnesia’. Oleh karena itu, dalam
praktek hafalan perlu adanya istiqomah dalam menghafal dan melalar .
Berjuang dengan tirakat
Tirakat
merupakan sebuah kelaziman bagi kalangan warga pesantren terutama
pesantren salafiyyah. Tirakat sering disebut dengan riyadloh, yakni
meninggalkan segala sesuatu yang dapat mengurangi kekhusyu’an dalam
menuntut ilmu, seperti berpuasa selama beberapa tahun , puasa mutih ,
puasa nyireh , puasa ngrowot , sholat malam, dsb. Dengan adanya metode
riyadloh/tirakat diharapkan agar santri dapat lebih mudah dalam menyerap
materi. Selain itu, efek riyadloh/tirakat dapat berimbas pada nasib
santri di masa mendatang (meski terkesan klenik). Barangsiapa yang lebih
berani melakukan riyadloh/tirakat, maka dia akan memperoleh sesuatu
yang lebih di masa mendatang. Dan barangsiapa yang kurang berani
melaksanakan riyadloh/tirakat, maka penulis hanya dapat mengatakan
wallahu a’lam.
Sebenarnya persoalan keberhasilan tirakat bukan
sepenuhnya berasal dari apa yang ditirakati, namun lebih menekankan
kepada sugesti dan kedisiplinan dan ketaatan para santri untuk tidak
melanggar ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh kyai.
Yang terbaru dari muqoronah
Metode
muqoronah adalah sebuah metode yang terfokus pada kegiatan
perbandingan, baik perbandingan materi, paham, metode, maupun
perbandingan kitab. Metode ini akhirnya berkembang pada perbandingan
ajaran-ajaran agama. Untuk perbandingan materi keagamaan yang biasanya
berkembang di bangku Perguruan Tinggi Pondok Pesantren (Ma’had Ali)
dikenal istilah Muqoronatul Adyan. Sedangkan perbandingan paham atau
aliran dikenal dengan istilah Muqoronatul Madzahib (perbandingan
madzhab).
Metode ini memang sangat cocok untuk dikembangkan di
Perguruan Tinggi maupun Ma’had Aly, dikarenakan metode hanya dapat
berjalan jika sudah pernah mengenyam metode sorogan, wetonan, dan
musyawarah. Jadi, metode ini merupakan metode lanjutan dari
metode-metode yang telah disebutkan di atas.
Autodidak: jurus pamungkas
Autodidak
adalah metode belajar sendiri dengan membaca berbagai macam literatur.
Tak semua orang dapat belajar secara autodidak dikarenakan metode
belajar ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki IQ di atas
rata-rata atau minimal sudah mencapai level tinggi.
Di kalangan kaum
santri, belajar secara autodidak biasanya dilakukan oleh santri senior
dengan berbagai macam pegangan ilmu yang sudah mumpuni. Jadi, autodidak
dapat dikatakan sebagai tahap akhir dalam proses belajar.
Sebenarnya,
belajar autodidak dapat dilakukan oleh semua orang dengan syarat tetap
fokus, konsentrasi, dan selalu istiqomah dalam belajar. Banyak dari
kalangan cendekiawan yang sudah membuktikan keampuhan metode ini.
Bahkan, ada sebagian yang memiliki karakter unik dalam belajar secara
autodidak. Seperti almarhum KH. Abdurrahman Wahid atau yang lebih akrab
disapa dengan sebutan Gus Dur, ternyata beliau tak perlu membolak-balik
seluruh isi buku untuk memperoleh pengetahuan baru, melainkan hanya
cukup dengan membaca daftar isi suatu buku.
Tantangan pendidikan pesantren di masa depan
Jaman
yang semakin modern menuntut pesantren untuk mulai berbenah agar masih
diminati oleh masyarakat luas. Pesantren harus mampu menunjukkan
eksistensinya sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Pesantren
juga harus mampu menjaga nilai-nilai dan ajaran-ajaran yang telah
diwariskan oleh ulama’ terdahulu, sambil tetap mengadopsi nilai-nilai
dan ajaran-ajaran baru yang lebih baik dan tidak melenceng dari apa yang
telah diwariskan, bukan malah terseret arus perkembangan jaman bahkan
keluar dari koridor syari’at Islam.
Perkembangan akhir-akhir ini
menunjukkan bahwa beberapa pesantren ada yang tetap berjalan meneruskan
segala tradisi yang diwarisi secara turun temurun tanpa perubahan dan
improvisasi yang berarti kecuali hanya sekedar bertahan. Namun ada juga
pesantren yang mencoba mencari jalan sendiri dengan harapan mendapatkan
hasil yang lebih baik dalam waktu yang singkat. Pesantren semacam ini
adalah pesantren yang menyusun kurikulum berdasarkan pemikiran akan
kebutuhan santri dan masyarakat sekitarnya.
Maka dari pada itu
apapun motif perbincangan seputar dinamika pesantren memang harus diakui
memiliki dampak yang sangat besar. Seperti contoh semakin dituntut
dengan adanya teknologi yang canggih, pesantrenpun tak ketinggalan zaman
untuk selalu mengimbangi tiap persoalan-persoalan yang terkait dengan
pendidikan maupun sistem di dalam pendidikan itu sendiri, mulai dari
sisi mengaji ke mengkaji. Itupun merupakan sebuah bukti konkrit di
dalam pesantren itu sendiri bahwa pesantren telah mengalami perkembangan
dan pertumbuhan, karena pesantren tak akan pernah menjadi statis selama
dari tiap-tiap unsur pesantren tersebut bisa menyikapi dan merespon
secara baik apa yang paling aktual.
Dahulu dalam bidang pendidikan,
pesantren dapat dikatakan kalah bersaing dalam menawarkan suatu model
pendidikan kompetitif yang mampu melahirkan output (santri) yang
memiliki kompetensi dalam penguasaan ilmu sekaligus skill sehingga dapat
menjadi bekal terjun ke dalam kehidupan sosial yang terus mengalami
percepatan perubahan akibat modernisasi yang ditopang kecanggihan sains
dan teknologi. Kegagalan pendidikan pesantren dalam melahirkan sumber
daya santri yang memiliki kecakapan dalam bidang ilmu-ilmu keislaman dan
penguasaan teknologi secara sinergis berimplikasi terhadap kemacetan
potensi pesantren yang kapasitasnya sebagai salah satu agents of social
change dalam berpartisipasi mendukung proses transformasi sosial bangsa.
Penutup
Betapapun pesantren berkembang dengan segala bentuknya
masing-masing, namun upaya mempertahankan tradisi salafiyyah hendaklah
terus dilakukan. Pengaruh globalisasi dan modernisasi yang merajalela
hendaklah disikapi dengan bijak, karena tanpa adanya mawas diri dengan
perkembangan yang ada dikhawatirkan akan melunturkan kemurnian prinsip
pesantren sebagai lembaga pendidikan yang telah diwariskan oleh para
Walisongo dan ulama’ terdahulu.
Pesantren yang ideal adalah
pesantren yang mampu mengantisipasi adanya pendapat yang mengatakan
bahwa alumni pondok pesantren tidak berkualitas. Oleh sebab itu, sasaran
utama yang diperbaharui adalah mental, yakni mental manusia dibangun
hendaknya diganti dengan mental membangun.
Maka dari itu, perlu
adanya pemberdayaan sumber daya para santri sejak dini. Banyak kegiatan
yang baik untuk selalu eksis mengikuti pesatnya arus perkembangan jaman.
Jangan sampai ketika telah lulus, lulusan pesantren tidak mampu berbuat
apa-apa di lingkungan masyarakat.
Semoga pesantren dapat selalu
eksis mengajarkan pendidikan agama sampai akhir jaman dan mencetak
lulusan yang berkualitas, berguna bagi agama, nusa, dan bangsa.
Aamiin...
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mukti, HA. 1986. Pondok Pesantren dalam Sistem Pendidikan Nasional. Surabaya: IAIN Sunan Ampel.
Ardi.
Efektifitas Metode Sorogan Al-Qur’an Terhadap Motivasi Hafalan Santri
Pondok Pesantren. Artikel diakses pada 10 Desember 2009 dari
http://zumardi.blogspot.com/2009/12/efektifitas-metode-sorogan-al-quran.html.
Azizi,
Ahmad Fakhri. Belajar Efektif Dengan Musyawarah. Majalah ATH-THULLAB
edisi 13 tahun 2009 halaman 23. Artikel ini juga dapat diakses di
www.ath-thullab.blogspot.com.
Dadang, Helmi. Makalah Regenerasi
Pesantren untuk Kemajuan Umat. Artikel diakses pada 12 Maret 2010 dari
http://helmidadang.wordpress.com/2010/03/12/makalah-regenerasi-pesantren-untuk-kemajaun-umat/.
Hasyim,
Abdus Sami’, KH. Pesantren Tradisional di Tengah Tantangan Modernisasi.
Artikel diakses pada 15 April 2010 dari
http://penaseorangsantri.blogspot.com/2010/04/pesantren-tradisional-di-tengah.html.
Khofifi,
Muhammad. Pola Pendidikan Santri pada Pondok Pesantren. Artikel diakses
pada 17 Januari 2010 dari
http://khofif.wordpress.com/2009/01/17/pola-pendidikan-santri-pada-pondok-pesantren/.
Masyhud, H.M. Sulthon dan Moh. Khusnuridlo. 2003. Manajemen Pondok Pesantren. Jakarta: Diva Pustaka.
Rahmat.
Pondok Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan Islam. Artikel Diakses dari
http://blog.re.or.id/pondok-pesantren-sebagai-lembaga-pendidikan-islam.htm.
http://akalcethek.blogspot.com/2011/01/mengenal-lebih-dekat-metode-belajar.html
EmoticonEmoticon